Rumah Honai

rumah tradisional di Indonesia
Revisi sejak 14 Juni 2022 17.34 oleh Saripah NuRA17 (bicara | kontrib) (Proses pembuatan honai)

Rumah honai atau rumah bulat merupakan rumah tradisional masyarakat Papua Barat khususnya Suku Dani.[1] Rumah Honai berbentuk bulat sederhana dengan pintu kecil dan tidak dilengkapi jendela. Tinggi rumah sekitar 2,5 meter yang terbagi menjadi dua bagian yaitu lantai bawah dan lantai atas. Lantai bawah biasa digunakan untuk tidur, sedangkan lantai atas digunakan untuk menjalankan aktivitas sehari-hari seperti makan, bersantai dan membuat kerajinan. Pada lantai bawah, dibagian tengah terdapat hipere yaitu tempat api unggun yang dipergunakan untuk memasak atau sekadar menghangatkan tubuh. [2]

Foto Komplek Rumah Tradisional Papua

Kesederhanaan rumah honai bukanlah tanpa tujuan, struktur rumah yang kecil memberikan efek hangat. Selain itu rumah honai yang sederhana memudahkan pemiliknya untuk berpindah-pindah. Terdapat tiga jenis rumah honai, yaitu rumah Honai(khusus laki-laki), rumah Ebai(khusus perempuan), dan rumah Wamai(khusus binatang)[2]

Sejarah Honai

Dahulunya suku Dani tidak tinggal di dalam rumah hunian, melainkan berlindung di bawah pohon-pohon besar. Namun, berlindung di pohon besar membuat mereka kedinginan ketika hujan turun belum lagi jika ada angin kencang. Pada suatu hari, suku Dani memperhatikan burung-burung yang membuat sarang. Burung-burung tersebut mengunpulkan ranting kayu dan rerumputan kering. Kemudian ranting-ranting dan reremputan kering dibentuk bulat. Dari pengamatan itulah suku Dani terinspirasi membuat Honai untuk mereka berlindung.[3]

Fungsi dan Filosofi Rumah

Selain berfungsi sebagai hunian, rumah honai memiliki beberapa fungsi dan filosofi tersendiri. Pertama, rumah honai berfungsi sebagi tempat menyimpan peralatan perang dan peralatan warisan leluhur. Selain itu di rumah honai juga para anak lelaki diajarkan tentang strategi perang. Kedua, rumah honai dijadikan tempat untuk menyimpan umbi-umbian dan hasil ladang. Terdapat pula honai yang didirikan khusus untuk pengasapan mumi, honai tersebut dapat ditemukan di Desa Aikima di lembah Baliem.[4]

Ada pun filosofi yang terkandung dari rumah honai sebagai berikut:

Pertama mengajarkan nilai persatuaan dan kesatuan yang tinggi antar sesama suku serta mempertahankan warisan budaya yang diwariskan para leluhur.[4]

Kedua, nilai kerja sama dalam mengerjakan pekerjaan yang mengajarkan antar sesama harus sehati, sepikir dan satu tujuan. Hal tersebut tercermin dari awal pendirian rumah honai. Dimana orang yang akan membuat rumah honai akan memanggil keluarga untuk membantu membuat runah honai kemudian makan bersama.[4]

Material Rumah

Berikut bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat Honai:

a. Papan cincang, papan cincang merupakan papan yang kedua ujungnya runcing seperti tombak. Ujung runcing ini memudahkan proses pentacapan papan ke dalam tanah. Nantinya papan-papan tersebut menjadi dinding honai.

b. Balok kayu, balok kayu berfungsi menjadi tiang utama penahan atap honai

c. Kayu buah yang digunakan sebagai penutup atap honai

d. Lokap/pinde merupakan sejenis bambu kecil yang dijadikan alas untuk lantai

e. Rumput alang-alang untuk atap honai

f. Tali rotan atau akar pohon yang digunakan sebagai pengikat.

Rumah honai pada awalnya tidak menggunakan paku, namun sekarang ada beberapa rumah yang menggunakan pake. Beberapa perubahan pun terjadi pada rumah honai, misalnya sekarang rumah honai menggunakan jendela untuk memperbaiki sirkulasi udara. Lebih jauh ada ada rumah honai yang menggunakan seng untuk atap.[3]

Proses Pembuatan Honai

Untuk mendirikan honai, biasanya keluarga pembuat akan mengundang kerabat-kerabatnya untuk membantu mendirikan honai. Selama proses pembuatan, mereka akan melakukan bakar batu, yaitu makan bersama. Ada pun proses pembuatannya sebagai berikut

a. Tahapan pertama yang dilakukan adalah menggali tanah untuk metancapkan tiang utama honai. Tiang ini diletakan tepat di tengah-tengah rumah.

b. Selanjutnya, sebuah batu besar berbentuk datar diletakan di bawah galian. Fungsi batu ini ialah mencegah tiang cepat rapuh karena resapan air.

c. Tahap selanjutnya menggali tanah berbentuk lingkaran mengelilingi tiang. Luas lingkaran disesuaikan dengan kebutuhan.

d. Setelah galian selesai, waktunya memasang papan runcing mengikuti bentuk galian lingkaran. Agar antar papan runcing membentuk dinding yang kokoh, setiap papan perlu ditali rotan.

e. Proses selanjutnya adalah memasang rangka atap honai. Rangka honai dipasangkan dengan cara mengikat kayu buah dengan tiang utama dan juga dinding honai. Kayu buah tersebut disusun melingkar menyerupai payung.

f. Di samping itu alang-alang yang dikumpulkan perlu diikat seperti lidi kemudikan diasapi agar lebih awet.

g. Setelah alang-alang siap, alang-alang diikat ke atap. Setelah bagian ini honai hampir selesai

h. Untuk melengkapi honai, dibuatlah tikar dari anyaman pinde/lokop

i. Terakhir, proses membuat tungku api dan membuat saluran air di sekitar luar honai.

Honai dapat bertahan sekitar 4-5 tahun.

Catatan Kaki

  1. ^ Selayang Pandang Papua. Klaten: Intan Perwira. 2018. hlm. 41–42. ISBN 978-979-28-2501-5. 
  2. ^ a b Utami, Rizky (2021). Ensiklopedia Rumah-Rumah Adat Nusantara. Bandung: CV. Angkasa. hlm. 133. ISBN 978-623-340-133-3. 
  3. ^ a b Trifena, Fangnania (2018). Rumah Bundar. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. hlm. 3–5. ISBN 978-602-437-217-0. 
  4. ^ a b c "Rumah Honai Kekayaan Arsitektur Hijau dari Papua". indonesia.go.id. Diakses tanggal 2022-06-14.