Jailangkung
{{k halus atau entitas supernatural yang dipanggil dalam permainan Jailangkung adalah sebuah gayung air yang umumnya terbuat dari tempurung kelapa yang didandani pakaian dan bergagang batang kayu.
Sejarah
Asal penggunaan istilah "Jailangkung" diduga berhubungan dengan sebuah Kepercayaan tradisional Tionghoa yang telah punah. Ritual ini adalah tentang adanya kekuatan dewa "Poyang" dan "Moyang" (mirip istilah "nenek moyang") yaitu Cay Lan Gong ( "Dewa Keranjang") dan Cay Lan Tse yang dipercaya sebagai dewa pelindung anak-anak. Permainan Cay Lan Gong juga bersifat ritual dan dimainkan oleh anak-anak remaja saat festival rembulan.
Dalam ritual Cay Lan Gong, dewa "Poyang" dan "Moyang" dipanggil agar masuk ke sebuah boneka keranjang yang tangannya dapat digerakkan. Pada ujung tangan boneka tersebut diikatkan sebuah alat tulis, biasanya kapur. Boneka tersebut juga dihiasi dengan pakaian manusia, dikalungi kunci dan dihadapkan ke sebuah papan tulis, sembari menyalakan dupa. Saat boneka tersebut menjadi terasa berat menurut mereka menjadi pertanda bahwa boneka itu telah dirasuki dewa, dan bergerak mengangguk sebagai pertanda setuju setelah ditanyakan siap tidaknya untuk ditanyai, jawaban-jawaban dari pertanyaan yang diajukan akan dituliskan oleh dewa yang merasuki boneka tersebut pada papan tulis yang disediakan.
Ritual Cay Lan Gong sendiri telah punah di Tiongkok, namun diduga ritual dan namanya kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia, menjadi Jailangkung dan masih hidup karena hubungan negeri Tiongkok dan Nusantara yang telah berlangsung ribuan tahun. Berbeda dengan Cay Lan Gong, media yang digunakan untuk menampung dewa yang dipanggil dalam Jailangkung adalah gayung penciduk air yang diiringi dengan nyala kemenyan dan perapian. Jaman dahulu gayung terbuat dari tempurung kelapa yang digagangi kayu, sehingga dalam perkembangannya, permainan Jailangkung di Nusantara lebih dikenal dengan ritual pemanggilan dewa lewat boneka berkepala tempurung kelapa yang didandani pakaian. Tetap sebagai permainan anak, boneka ini akan dipegang oleh dua anak yang masih kecil dan dipandu oleh seorang pawang yang memanggil dewa dengan sebuah mantra. Jawaban dari semua pertanyaan akan dituliskan pada sehelai kertas, batu tulis atau kapur. Ritual ini dalam perkembangannya di Indonesia mulai digunakan untuk hal-hal selain permainan belaka, seperti untuk mencari informasi tentang diagnosa penyakit dan pengobatannya oleh praktisi kesehatan non-konvensional.
Versi Jawa
Oleh orang Jawa, permainan Jailangkung dikenal dengan sebutan "nini thowong" atau Permainan ini tidak hanya dikenal sebagai permainan tradisional anak-anak, tetapi juga dilakukan sebagai usaha menjaga keselamatan desa dan menolak bala. Untuk tujuan tersebut, ritual ini dilakukan bukan oleh anak kecil, melainkan orang yang sudah dewasa.
Versi Jawanya juga dapat dimainkan dengan menggunakan peralatan tulis jangka. Versi permainan yang berkembang di daerah-daerah khususnya di pulau jawa, umumnya dahulu dimainkan di desa-desa dengan menggunakan medium orang-orangan sawah untuk memanggil makhluk halus.
Versi Minangkabau
Ritual serupa yang dikenal orang Minangkabau disebut "Lukah Gilo". Permainan ini berkembang dalam bentuk seni pertunjukan di Desa Lumpo Timur, Kecamatan Ampek Balai Juran, Kabupaten Pesisir Selatan. Pertunjukan ini dimainkan oleh seorang pawang atau "Dukun Lukah" dan satu sampai empat orang pemain yang bertugas memegang "lukah" tersebut. "Lukah" adalah alat untuk menangkap ikan air tawar yang terbuat dari bambu yang dianyam, bentuknya menyerupai vas bunga. Keranjang "Lukah" ini digunakan untuk pertunjukan Lukah Gilo dengan mendandaninya menyerupai orang-orangan seperti halnya dalam permainan Cay Lan Gong. Tangannya dibuat dari kayu lurus atau bambu, dan kepalanya dibuat dari labu atau tempurung kelapa. "Lukah" itu juga dirias dengan kain, baju, selendang, korset, dan wajahnya dirias layaknya perempuan.
"Lukah" tersebut kemudian dibisiki mantra oleh pawangnya hingga menjadi "gila" karena bergerak kian kemari. Gerakan itu akan semakin menjadi-jadi setiap kali pawang membaca mantra. Yang menjadi tontonan dalam pertunjukan ini adalah para pemain yang memegang lukah itu. Mereka akan terbawa kian kemari seiring semakin meng"gila"nya "lukah" tersebut. Penonton pun akan menyoraki pemain agar suasana semakin ramai. Gerakan "lukah" tersebut baru akan berhenti apabila pawang berhenti memantrainya atau ada seseorang yang memasang "ijok", yaitu bagian dalam dari ekor lukah.
Pertunjukan "Lukah Gilo" ini biasanya dipertunjukkan pada acara perkawinan atau acara-acara khusus untuk yang diadakan masyarakat Minangkabau setempat. Waktu pertunjukan umumnya dilakukan pada malam hari yang diyakini lebih mudah untuk memanggil makhluk halus.
== jawab dengan alat tulis yang diikat di bawah boneka tersebut.
Mitos hantu
Karena sifatnya yang berupa ritual yang memanggil dan berkomunikasi dengan makhluk halus, permainan jailangkung yang awalnya sekadar permainan kemudian berkembang memunculkan mitos-mitos hantu atau kesurupan sebagai imbas untuk orang yang memainkan permainan ini. Mitos tersebut umumnya adalah bila permainan ini diakhiri tanpa melepas atau berpamitan dengan makhluk halus yang masuk ke dalam boneka, makhluk halus tersebut dapat menjadi marah dan dapat membuat masalah untuk para pemanggilnya.
Dalam budaya pop
Keunikan permainan Jailangkung diangkat menjadi sebuah tema dalam berbagai karya fiksi, seperti:
- Jelangkung (2001)
- Tusuk Jelangkung (2003)
- Jelangkung 3 (2007)
- Kalung Jailangkung (2011)
- Tumbal Jailangkung (2011)
- Jailangkung (2017)
- Jailangkung 2 (2018)