Anti-pluralisme

Revisi sejak 21 November 2017 10.12 oleh HsfBot (bicara | kontrib) (Bot: Perubahan kosmetika)

Anti-pluralisme adalah penolakan terhadap kebhinekaan.

Pada umumnya, anti pluralisme dikaitkan dengan agama. Misalnya, dalam "Argumen Islam untuk Pluralisme: Islam Progresif dan Perkembangan Diskursusnya" oleh Budhy Munawar-Rachman, halaman 106, dikatakan bahwa "dari sudut pandang fatwa MUI, pluralisme dianggap sebagai ancaman teologis terhadap Islam." Menurut Ketua Umum PP Muhammadiyah dan Mantan Sekjen MUI, Din Syamsuddin, "pengharaman MUI terhadap pluralisme agama sesungguhnya didasarkan pada anggapan bahwa hal tersebut sama dengan relativisme agama".[1] Relativisme di sini menyiratkan adanya alternatif atau pilihan lain yang dianggap sebagai ancaman terhadap keberadaan dan keberlangsungan agama itu sendiri. Walaupun setiap pemeluk agama berkeyakinan bahwa agama yang dianutnya adalah yang paling benar, jika hal tersebut mengarah pada diskriminasi, penolakan, kebencian dan permusuhan terhadap orang lain yang berbeda agama semata-mata hanya karena agama yang dianut orang tersebut berbeda, maka barulah hal tersebut dapat dikategorikan sebagai anti pluralisme.

Dalam politik, anti pluralisme tidak jarang digunakan untuk menjatuhkan lawan sekaligus menggalang dukungan publik, dan pada umumnya hal ini dilakukan secara halus dan tersamar. Dalam konteks politik Indonesia, dikotomi pri dan non-pri sudah sejak lama ada. Dikotomi dapat dengan mudah digunakan oleh penguasa untuk menarik simpati publik atau rakyat yang identik dengan kelompok mayoritas rakyat kecil. Umumnya "pri" digeneralisasikan sebagai mayoritas yang secara ekonomi lemah (rakyat kecil) sedangkan non pri, sekalipun sudah menjadi warga negara Indonesia, bagaimanapun juga tetaplah orang asing pendatang yang secara ekonomi kuat, kaya raya dan eksklusif, bahkan mampu mengendalikan perekonomian negara. Dikotomi anti pluralisme seperti ini adalah bahan bakar ampuh untuk menyulut emosi massa yang dapat dimanipulasi untuk memenuhi ambisi politik. Politikus yang menggunakan taktik ini dapat dikategorikan sebagai populis (dalam pengertian negatif). Dalam buku "What is Populism?" yang ditulis oleh Jan-Werner Mueller, ditulis di halaman 3 bahwa populis selalu anti pluralis. Populis mengklaim bahwa mereka dan mereka sajalah yang mewakili rakyat. Hal ini membahayakan demokrasi karena demokrasi mempersyaratkan pluralisme dan pengakuan perlunya hidup berdampingan dalam kemajemukan secara adil dan setara. Anti pluralisme mengusung ide bahwa rakyat adalah tunggal, homogen dan otentik (yaitu pribumi). Akan tetapi, filsuf Jürgen Habermas berpendapat bahwa hal ini adalah fantasi, dan fantasi ini berbahaya karena anti pluralisme yang dianut populis mendorong terjadinya konflik, perpecahan dan polarisasi.

Catatan kaki

  1. ^ Suhadi Cholil (ed.) Resonansi Dialog Agama dan Budaya: dari Kebebasan Beragama, Pendidikan Multikultural, Sampai RUU Anti Pornografi (Yogyakarta: CRCS, 2008