Terowongan Neyama
Terowongan Tulungagung Selatan atau biasa disebut sebagai Terowongan Neyama, adalah sebuah terowongan air yang terletak di Besuki, Tulungagung, Jawa Timur. Terowongan ini berfungsi untuk mengalirkan sebagian air dari Sungai Ngrowo ke Samudra Hindia agar tidak membentuk rawa dan menyebabkan banjir.
Sejarah
Terowongan ini memulai sejarahnya pada masa pendudukan Jepang di Indonesia. Pada masa itu, luberan Sungai Ngrowo membentuk rawa seluas 3.000 hektar yang di musim hujan dapat meluas hingga 28.000 hektar. Tentara Jepang kemudian merencanakan pembangunan terowongan untuk mengurangi luas rawa dengan cara mengalirkan sebagian air Sungai Ngrowo ke Samudra Hindia. Terowongan lalu dibangun oleh masyarakat setempat di bawah arahan tentara Jepang tanpa menggunakan mesin. Setelah selesai dibangun, terowongan tidak dirawat dengan baik, sehingga akhirnya runtuh dan hanya menyisakan sebagian terowongan di bagian belakang.[1]
Pada tahun 1956, pemerintah Indonesia pun mengemukakan ide untuk membangun sebuah saluran air guna menggantikan terowongan yang telah runtuh. Nippon Koei lalu dikontrak untuk melakukan survei dan kemudian menyimpulkan bahwa terowongan lebih cocok untuk dibangun daripada saluran air, karena tidak perlu menggali tanah dalam jumlah yang banyak. Nippon Koei mengusulkan pembangunan terowongan berdiameter 7,2 meter sepanjang 1.000 meter untuk mengalirkan sebagian air Sungai Ngrowo ke Samudera Hindia, sehingga tidak semua mengalir ke Sungai Brantas.[1]
Terowongan lalu mulai dibangun pada tahun 1959 oleh Kajima dengan menggunakan dana pampasan perang dari Jepang sebanyak US$ 2 juta. Pada tanggal 31 Agustus 1960, Asahi Shimbun memuat berita berjudul "Successful Reparations Work in Indonesia" yang menyatakan bahwa terowongan telah selesai digali pada tanggal 3 Agustus 1960 dan mulai dilapisi dengan beton. Terowongan direncanakan selesai pada bulan Maret 1961. Asahi Shimbun juga menyatakan bahwa harga tanah di sana telah naik tiga kali lipat.[1]
Setelah terowongan selesai dibangun, banjir jarang terjadi di lahan seluas 28.000 hektar yang sebelummya dapat menjadi rawa dan tidak memungkinkan untuk ditanami padi. Luas rawa juga berkurang dari 3.000 hektar menjadi hanya 1.500 hektar. Hanya setahun setelah terowongan selesai dibangun, hasil pertanian di sana juga meningkat sebesar US$2 juta. Malaria juga hampir tidak pernah terjadi lagi, sehingga meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat. Pejabat pemerintah Indonesia pun terkesan dengan teknologi yang digunakan pada pembangunan terowongan, sehingga kemudian mengarah pada pengembangan sejumlah infrastruktur lain di sepanjang Sungai Brantas.[1]