Nekara Pejeng

Revisi sejak 6 Juli 2021 12.21 oleh HsfBot (bicara | kontrib) (Bot: +{{Authority control}})

Nekara Pejeng (atau Nekara tipe-Pejeng) adalah sebuah nekara Zaman Perunggu yang produksi di seluruh Nusantara pada abad ke-1 dan ke-2 Masehi. Mereka adalah contoh terbaik nekara di Asia Tenggara.[1] Beberapa contoh nekara Pejeng yang ditemukan di Indonesia adalah Bulan Pejeng, yang merupakan nekara terbesar di dunia, mengindikasikan kemajuan teknik pengecoran logan dan perdagangan yang aktif di nusantara di milenium pertama Masehi.

Sebuah nekara tipe-Pejeng ditemukan di Jawa Timur disimpan di Asian Civilisations Museum, Singapura.

Arkeologi

 
Kepala (timpanum) dari nekara Pejang ini dicor terpisah dari badannya.

Bukti pertama penggunaan perunggu dan besi di Indonesia berasal dari tahun 500 Sebelum Masehi. Sebagian besar benda perunggu paling awal mungkin digunakan untuk upacara mis. kapak perunggu upacara dan nekara. Nekara-nekara ini datang dari Vietnam Utara dan memiliki bentuk spesifik yang dikenal dengan nama nekara Dong Son. Bersamaan dengan perdagangan di Asia Tenggara, nekara Dong Son menjadi tersebar di Kepulauan Sunda seperti di Sumatra, Jawa, Nusa Tenggara, Kepulauan Kai dan bahkan Papua. Persebaran nekara Dong Son di Indonesian menunjukkan adanya perdagangan yang luas di antara kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara selama periode tersebut. Drum perunggu lainnya yang ditemukan di nusantara mewakili variasi lokal, yang paling terkenal adalah drumnakara Pejeng.[1]

Name pejeng berasal dari nama desa Zaman Perunggu Pejeng di Bali. Nekara pejeng adalah variasi lokal dari nekara Dong Son. Drum Pejeng berbeda dari drum Dong Son karena bentuknya yang lebih memanjang dan dicor dengan dua potong terpisah (mantel dan timpanum) dan dicetak menggunakan cetakan batu. Inovasi bentuk nekara Pejeng terjadi di Indonesia dan diproduksi secara luas di Jawa dan Bali pada milenium pertama Masehi. Nekara Pejeng dari Bali adalah nekara Pejeng paling mengesankan di masa prasejarah Indonesia akhir. Bulan Pejeng yang disimpan di desa Pejeng, adalah nekara terbesar di dunia. Keberadaan dari nekara sebesar itu pasti memiliki nilai sosial yang besar bagi pemiliknya. Bali tidak memiliki pertambangan tembaga ataupun timah, bahan baku terpenting untuk pembuatan perunggu. Ini mengindikasikan bahwa perdagangan antar pulau di Indonesia sudah terjadi secara intensif di milenium prtama Masehi.[2]

Nekara Pejeng mungkin digunakan oleh raja untuk menunjukkan bahwa dirinya termasuk kedalam golongan elit internasional. Di Plawangan, sebuah nekara Pejeng ditemukan didalam kuburan, bersama dengan objek-objek berharga lainnya seperti kalung emas, dan mata tombak besi. Di Bali, Bulan Pejeng adalah nekara terbesar di dunia, dirawat di sebuah desa sampai sekarang.[2] Moko dari Alor adalah nekara tipe Pejeng yang berukuran kecil. Moko masih digunakan sebagai objek pusaka yang dipertukarkan dalam upacara perkawinan.

Bentuk dan konstruksi

 
Nekara pejeng

Nekara pejeng memiliki bentuk simetris. Bentuknya terdiri atas tiga bagian: kepala atau timpani dibagian atas, laras tengah tempat pegangan terpasang, dan alasnya. Perbedaan desain antara nekara Pejeng dan nekara Dong Son bahwa timpanum sebuah nekara Pejeng menonjol kurang lebih 25 cm keluar tubuhnya. Timpanum ini dicor secara terpisah dari badan nekara Pejeng, perbedaan lain antara nekara Pejeng dengan nekara Dong Son.[2]

Nekara Pejeng dibuat dengan cara pencetakan lilin-hilang. Model lilin benbentuk nekara diletakkan didalam sebuah inti tanah liat yang berlubang. Bentuk-bentuk figur binatang atau manusia yang sudah dibakukan dicetak kedalam lilin menggunakan cetakan batu. Cetakan pola-pola geometris ini dicetak di bagian timpanum dan di bagian samping atas nekara Pejeng.[3]

Lihat juga

Referensi

  1. ^ a b Bellwood 2001, hlm. 39.
  2. ^ a b c I Wayan Kartika 2001, hlm. 43.
  3. ^ Bellwood 2001, hlm. 38.

Bibliografi

  • Bellwood, Peter (2001). "Ceremonial Bronzes of the Pre-Classic Era". Dalam Miksic, John. Ancient History. Indonesian Heritage. Archipelago Press. ISBN 9813018267. 
  • I Wayan Ardika (2001). "Late Prehistoric Bali". Dalam Miksic, John. Ancient History. Indonesian Heritage. Archipelago Press. ISBN 9813018267.