Deportasi orang Tionghoa oleh Uni Soviet

Revisi sejak 11 Oktober 2022 15.42 oleh Fahn21 (bicara | kontrib) (copy edit)

Selama tahun 1920an hingga 1930an, pemerintah Uni Soviet memindahkan secara paksa ribuan etnis Tionghoa yang merupakan warga Uni Soviet. Sebagian besarnya dipindahkan dari wilayah Timur Jauh Rusia ke provinsi Xinjiang dan wilayah Uni Soviet di Asia Tengah. Walaupun pada tahun 1926, terdapat sekitar 70.000 orang Tionghoa yang tinggal di wilayah Timur Jauh Rusia, selama tahun 1940an etnis Tionghoa hampir tidak ada di wilayah tersebut. Sebagian besar informasi mengenai diaspora Tionghoa yang tinggal di wilayah tersebut masih tidak ditemukan hingga kini.

Etnis Tionghoa kerap kerap diasingkan oleh masyarakat Soviet, dan menjadi sasaran aksi represif oleh rezim Soviet. Kurangnya pendidikan propaganda sosialis menjadi alasan kenapa etnis Tionghoa menjadi korban marginalisasi sosial di Uni Soviet. Selama tahun 1926 hingga tahun 1937, sekitar 12.000 orang etnis Tionghoa dipindahkan ke provinsi Xinjiang, dan sekitar 5.500 lainnya dipindahkan ke Asia Tengah. Sekitar 1.000 orang etnis Tionghoa dipenjara di kamp kerja paksa di wilayah Komi dan Arkhangelsk. Saat ini, beberapa pedesaan di Komi diberi julukan "Pecinan" karena banyaknya orang yang merupakan etnis Tionghoa keturunan dari korban kamp kerja paksa. Deportasi etnis Tionghoa dan Korea dilaksanakan oleh anggota dari Komisariat Rakyat untuk Urusan Dalam Negeri (NKVD). Selama proses deportasi dilakukan, rezim Uni Soviet juga mengadakan Kampanye Khetagurovite, dilakukan untuk mendorong perempuan lajang etnis Tionghoa untuk bermigrasi dan menetap di wilayah Timur Jauh.[1]

Latar Belakang

Asal-Usul Sinofobia

Melalui Perjanjian Aigun tahun 1858 dan Perjanjian Peking tahun 1880, Rusia memperoleh wilayah di utara Amur dan timur Ussuri dari Tiongkok dan sejak saat itu Rusia mulai melakukan kolonisasi. Setelah Rusia mengalami kekalahan oleh Jepang pada tahun 1905, Rusia menjadi terdesak untuk melakukan integrasi wilayah yang diperolehnya tersebut semenjak wilayah tersebut menjadi target Ekspansionisme Jepang. Kurangnya sumber daya manusia di bagian timur Rusia oleh karena kurangnya migrasi domestik, juga kebijakan Tiongkok untuk melakukan kolonisasi atas wilayah yang berbatasan dengan Rusia di utaranya menuntun arus masuknya buruh Tionghoa di wilayah tersebut.

Akan tetapi, populasi etnis Tionghoa dan perdagangan dengan Tiongkok yang meningkat justru menuntun kepada kekhawatiran di dalam pemerintah Rusia sendiri, mengingat bahwa imigrasi oleh etnis Tionghoa akan mengubah demografi wilayah tersebut. Sebagai hasilnya, pemerintah Rusia akhirnya mulai membatasi pengaruh Tiongkok (dan etnis Tionghoa) dalam ekonomi, khususnya setelah mereka menyadari bahwa penduduk lokal masih menganggap etnis Tionghoa sebagai pemilik wilayah tersebut terlepas dari penaklukan oleh Rusia.

Di saat yang bersamaan, diaspora Tionghoa di Rusia akhirnya membentuk komunitasnya sendiri yang mengelakkan otoritas Rusia dan mempraktekkan tradisi Tionghoa, yang kemudian memunculkan tindakan-tindakan kriminal. Buruh Tionghoa lebih murah dibandingkan dengan buruh Rusia sendiri, bahkan mereka lebih penurut dan lebih efisien, menjadikan mereka lebih populer dalam sektor bisnis Rusia. Sementara itu, kualitas ini juga menuntun masyarakat dan pemerintahan Rusia kepada suatu kekhawatiran hingga etnis Tionghoa dianggap sebagai suatu ancaman terhadap negara Rusia. Istilah Bahaya Kuning menjadi suatu istilah populer yang merujuk kepada ancaman ini di akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20. Bahkan, meskipun ada dari mereka yang lahir di tanah Rusia, etnis Tionghoa tetap dianggap sebagai sosok yang loyal terhadap tanah air leluhur mereka seperti diaspora yang lainnya.

Kampanye Anti-Tionghoa

Pada tahun 1900, gubernur militer dari wilayah Amur, Konstantin Nikolaevich Gribskii, memerintahkan untuk mengusir keseluruhan dari populasi etnis Tionghoa dalam daerah tersebut. Pasukannya mengepung lebih dari 3000 orang Tionghoa di sekitar Blagoveschensk dan memaksa mereka mundur hingga ke sungai Amur, dan hanya sebagian kecil dari mereka, sekitar beberapa ratus, yang bertahan. Sekitar satu dekade setelahnya, pada tahun 1911, Rusia melakukan deportasi terhadap ribuan orang dari etnis Tionghoa dari bagian Timur Jauh dalam nama kontrol epidemik, yang kemudian memperoleh kritik di dalam industri dan pemerintahan Rusia sendiri karena pentingnya peran yang dimainkan oleh etnis TIonghoa dalam ekonomi lokal. Lalu, pada tahun 1913, otoritas Rusia menolak untuk melakukan tindakan ekstrim terhadap etnis Tionghoa sekalipun sebagian dari anggota kongres Khabarovsk menganggap buruh TIonghoa sebagai ancaman besar terhadap perbatasan Rusia oleh karena peran mereka yang tak tergantikan dalam aktivitas komersial lokal, namun berharap untuk mendapatkan lebih banyak imigran Eropa di bagian Timur Jauh Rusia. Selama Perang Dunia yang Pertama, beberapa ribu pedagang Tionghoa dideportasi dari semua area di bawah pimpinan militer pada tahun 1914 karena Russian Army High Command mengeklaim bahwa Jerman telah merekrut beberapa mata-mata Tionghoa dari Manchuria. Sementara itu, etnis Tionghoa juga dilarang memasuki kekaisaran, terlepas dari posisi netral pemerintah Tiongkok sepanjang perang.

Percobaan untuk menghentikan imigrasi etnis TIonghoa tersebut sendiri akhirnya terganggu oleh kekurangan tenaga kerja yang terjadi di Rusia yang terjadi sebagai dampak dari perang dunia. Dengan diurungkannya larangan masuknya imigran Tionghoa, pemerintah Rusia akhirnya mulai memperkenalkan etnis Tionghoa untuk bekerja di Rusia pada tahun 1915 secara proaktif. Sebagai hasilnya, pemerintah merekrut sekitar 400,000 buruh Tionghoa untuk bekerja di seluruh bagian dari Rusia. Akan tetapi, mereka menderita dari terjadinya perang sipil lanjutan di Rusia dengan menjadi pihak yang mengalami diskriminasi dan represi dari berbagai pihak dalam perang tersebut. Sebagai percontohan, Semyonov yang didukung oleh Jepang dan rezim Kalmykov menarget pebisnis Tionghoa secara spesifik ketimbang etnis Korea. Lalu, berdasarkan kepada beberapa dokumen diplomatik Tiongkok, Pasukan Putih Rusia juga mengeksekusi orang-orang Tionghoa yang berhasil mereka tangkap dan memajang mayat-mayat tersebut di muka publik sebagai bentuk intimidasi. Sementara itu, Pasukan Merah Rusia juga bisa dikatakan adalah lebih buruk. Anggota Pasukan Merah Rusia yang tidak disiplin bahkan menjarah dan membakar pemukiman etnis Tionghoa (katakanlah Pecinan), memperkosa perempuan Tionghoa, membunuh sembarang orang Tionghoa, memenjarakan dan menyiksa laki-laki usia militer, serta mengasingkan wanita dan anak-anak. Banyak dari opsir muda Pasukan Merah Rusia yang menganggap mereka yang kesulitan (bahkan tidak bisa) berbicara bahasa Rusia sebagai mata-mata asing. Selain itu, pasukan Aliansi juga menelusuri kepemilikan pekerja Tionghoa secara acak. Mereka akan menganggap para pekerja sebagai seorang komunis bila mereka menemukan bahwa sesuatu adalah mencurigakan, lalu membunuhnya tanpa interogasi. Akhirnya, sekitar 50,000 dari pekerja Tionghoa bergabung ke dalam Pasukan Merah Soviet sementara sebagian besar dari sisanya kembali ke Tiongkok dengan bantuan dari pemerintah TIongkok, Palang Merah TIonkok, dan uni dagang Tionghoa di Rusia.

Intervensi Tionghoa

Berdasarkan kepada Perjanjian Aigun pada tahun 1858, populasi Tionghoa yang ada di bekas wilayah Tiongkok yang diserahkan kepada Rusia beranggapan bahwa mereka tetap menjadi orang Tionghoa yang memiliki hak esktrateritorial dan kekebalan dari kekuasaan Rusia. Intervensi diplomatik Tionghoa untuk melindungi hak-hak tersebut terkadang berhasil dan masih berlaku sampai terjadinya Pemberontakan Petinju. Dengan dibentuknya Republik Tiongkok (pendahulu RRT) pada tahun 1912, pemerintah republik lebih peduli menyoal warga negara Tiongkok yang ada di mancanegara ketimbang pemerintah imperial terdahulu dan mengajak warga negaranya yang ada di Rusia untuk membentuk berbagai macam kelompok dengan pemerintahannya sendiri. Kelompok-kelompok ini terdaftar bersama-sama dengan pemerintah Rusia dan Tiongkok, dengan pemimpin mereka mengirim laporan tahunan ke dan menerima mandat dari Beijing. Sementara itu, pemerintah Rusia hanya memiliki sedikit pengetahuan menyoal kedekatan kelompok ini dengan Tiongkok. Di saat yang bersamaan, masyarakat etnis TIonghoa sendiri telah menyelesaikan berbagai pertentangan internal merea, terlepas dari yurisdiksi Rusia, oleh karena lemahnya administrasi Rusia di bagian Timur Jauh.

Kebijakan Soviet yang Berkembang

Deportasi 1920an

Koletivisasi Stalinis

Konflik Sino-Soviet Tahun 1929

Deportasi 1936-38

Likuidasi Millionka

Penangkapan dan Deportasi

Reaksi Etnis Tionghoa terhadap Deportasi

Tujuan Deportasi

Warisan

Memorial

Lihat Juga

Referensi

  1. ^ Shulman, Elena (2009, September.). Stalinism on the Frontier of Empire: Women and State Formation in the Soviet Far East. H-Women. ISBN 978-0-521-89667-2. 

Bacaan Lebih Lanjut