Kesultanan Buton

kerajaan di Asia Tenggara
Revisi sejak 19 Desember 2022 02.23 oleh InternetArchiveBot (bicara | kontrib) (Rescuing 1 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.9.2)

Kesultanan Buton terletak di Kepulauan Buton (Kepulauan Sulawesi Tenggara) Provinsi Sulawesi tenggara, di bagian tenggara Pulau Sulawesi. Pada zaman dahulu memiliki kerajaan sendiri yang bernama kerajaan Buton dan berubah menjadi bentuk kesultanan yang dikenal dengan nama Kesultanan Buton. Nama Pulau Buton dikenal sejak zaman pemerintahan Majapahit, Patih Gajah Mada dalam Sumpah Palapa, menyebut nama Pulau Buton.

Kesultanan Buton

1332–1960
Bendera Buton
Bendera
Ibu kotaBaubau
Bahasa yang umum digunakan
Agama
Islam
PemerintahanKesultanan
Sara Pangka (Eksekutif), Sara Gau (Legislatif), Sara Bitara (Yudikatif), Sultan 
Sejarah 
• Didirikan
1332
• Dibubarkan
1960
Didahului oleh
Digantikan oleh
Majapahit
kslKesultanan
Melaka
Indonesia
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini
Berkas:Detik IMG 4284.JPG
Salah satu istana Sultan Buton yang masih dapat dijumpai di Kota Baubau
Kraton Buton pada tahun 1910-1940

Sejarah Awal

Mpu Prapanca juga menyebut nama Pulau Buton di dalam bukunya, Kakawin Nagarakretagama. Sejarah yang umum diketahui orang, bahwa Kerajaan Bone di Sulawesi lebih dulu menerima agama Islam yang dibawa oleh Datuk ri Bandang yang berasal dari Minangkabau sekitar tahun 1605 M. Sebenarnya Sayid Jamaluddin al-Kubra lebih dulu sampai di Pulau Buton, yaitu pada tahun 815 H/1412 M. Ulama tersebut diundang oleh Raja Mulae Sangia i-Gola dan baginda langsung memeluk agama Islam. Lebih kurang seratus tahun kemudian, dilanjutkan oleh Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani yang dikatakan datang dari Johor. Ia berhasil mengislamkan Raja Buton yang ke-6 sekitar tahun 948 H/ 1538 M.

Riwayat lain mengatakan tahun 1564 M. Walau bagaimanapun masih banyak pertikaian pendapat mengenai tahun kedatangan Syeikh Abdul Wahid di Buton. Oleh itu dalam artikel ini dirasakan perlu dikemukakan beberapa perbandingan. Dalam masa yang sama dengan kedatangan Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al- Fathani, diriwayatkan bahwa di Callasusung (Kulisusu), salah sebuah daerah kekuasaan Kerajaan Buton, didapati semua penduduknya beragama Islam.

Selain pendapat yang menyebut bahwa Islam datang di Buton berasal dari Johor, ada pula pendapat yang menyebut bahwa Islam datang di Buton berasal dari Ternate. Dipercayai orang-orang Melayu dari berbagai daerah telah lama sampai di Pulau Buton. Mengenainya dapat dibuktikan bahwa walaupun Bahasa yang digunakan dalam Kerajaan Buton ialah bahasa Wolio, namun dalam masa yang sama digunakan Bahasa Melayu, terutama bahasa Melayu yang dipakai di Malaka, Johor dan Patani. Orang-orang Melayu tinggal di Pulau Buton, sebaliknya orang-orang Buton pula termasuk kaum yang pandai belayar seperti orang Bugis juga.

Orang-orang Buton sejak lama merantau ke seluruh pelosok dunia Melayu dengan menggunakan perahu berukuran kecil yang hanya dapat menampung lima orang, hingga perahu besar yang dapat memuat barang sekitar 150 ton.

Raja Buton Masuk Islam

Kerajaan Buton secara resminya menjadi sebuah kerajaan Islam pada masa pemerintahan Raja Buton ke-6, iaitu Timbang Timbangan atau Lakilaponto atau Halu Oleo. Bagindalah yang diislamkan oleh Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani yang datang dari Johor. Menurut beberapa riwayat bahwa Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani sebelum sampai di Buton pernah tinggal di Johor. Selanjutnya bersama isterinya pindah ke Adonara. Kemudian dia sekeluarga berhijrah pula ke Pulau Batu atas yang termasuk dalam pemerintahan Buton.

Berkas:Rajaterakhir4.jpg
Sultan Buton ke 38, Muhamad Falihi Kaimuddin bersama Presiden RI Pertama Soekarno

Di Pulau Batu atas, Buton, Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani bertemu Imam Pasai yang kembali dari Maluku menuju Pasai (Aceh). Imam Pasai menganjurkan Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani pergi ke Pulau Buton, menghadap Raja Buton. Syeikh Abdul Wahid setuju dengan anjuran yang baik itu. Setelah Raja Buton memeluk Islam, Baginda langsung ditabalkan menjadi Sultan Buton oleh Syeikh Abdul Wahid pada tahun 948 H/1538 M.

Mengenai tahun tersebut, masih dipertikaikan karena sumber lain menyebutkan bahwa Syeikh Abdul Wahid merantau dari Patani-Johor ke Buton pada tahun 1564 M. Sultan Halu Oleo dianggap sebagai Sultan Buton pertama, bergelar Sultan atau Ulil Amri dan menggunakan gelar yang khusus yaitu Sultan Qaimuddin. Maksud perkataan ini ialah Kuasa Pendiri Agama Islam.

Dalam riwayat yang lain menyebut bahwa yang melantik Sultan Buton yang pertama memeluk Islam, bukan Syeikh Abdul Wahid tetapi guru dia yang sengaja didatangkan dari Patani. Raja Halu Oleo setelah ditabalkan sebagai Sultan Kerajaan Islam Buton pertama, dinamakan Sultan Murhum.

Ketika diadakan Simposium Pernaskahan Nusantara Internasional IV, 18 - 20 Julai 2000 di Pekanbaru, Riau, salah satu kertas kerja membicarakan beberapa aspek tentang Buton, yang dibentang oleh La Niampe, yang berasal dari Buton. Hasil wawancara saya kepadanya adalah sebagai berikut:

  1. Syeikh Abdul Wahid pertama kali sampai di Buton pada tahun 933 H/1526 M.
  2. Syeikh Abdul Wahid sampai ke Buton kali kedua pada tahun 948 H/1541 M.
  3. Kedatangan Syeikh Abdul Wahid yang kedua di Buton pada tahun 948 H/1541 M bersama guru dia yang bergelar Imam Fathani. Ketika itulah terjadi pengislaman beramai-ramai dalam lingkungan Istana Kesultanan Buton dan sekaligus melantik Sultan Murhum sebagai Sultan Buton pertama.

Maklumat lain, kertas kerja Susanto Zuhdi berjudul Kabanti Kanturuna Mohelana Sebagai Sumber Sejarah Buton, menyebut bahwa Sultan Murhum, Sultan Buton yang pertama memerintah dalam lingkungan tahun 1491 M - 1537 M. Menurut Maia Papara Putra dalam bukunya, Membangun dan Menghidupkan Kembali Falsafah Islam Hakiki Dalam Lembaga Kitabullah, bahwa Kesultanan Buton menegakkan syariat Islam ialah tahun 1538 Miladiyah.

Berkas:Kesultanan Buton.jpg

Jika kita bandingkan tahun yang saya sebutkan (1564 M), dengan tahun yang disebutkan oleh La Niampe (948 H/1541 M) dan tahun yang disebutkan oleh Susanto Zuhdi (1537 M), berarti dalam tahun 948 H/1541 M dan tahun 1564 M, Sultan Murhum tidak menjadi Sultan Buton lagi karena masa dia telah berakhir pada tahun 1537 M. Setelah meninjau pelbagai aspek, tampaknya kedatangan Syeikh Abdul Wahid di Buton dua kali (tahun 933 H/1526 M dan tahun 948 H/1541 M) yang diberikan oleh La Niampe adalah lebih meyakinkan.

Yang menarik pula untuk dibahas ialah keterangan La Niampe yang menyebut bahwa kedatangan Syeikh Abdul Wahid yang kedua kali di Buton pada tahun 948 H/1541 M itu bersama Imam Fathani mengislamkan lingkungan Istana Buton, sekaligus melantik Sultan Murhum sebagai Sultan Buton yang pertama. Apa sebab Sultan Buton yang pertama itu dilantik/dinobatkan oleh Imam Fathani? Dan apa pula sebabnya sehingga Sultan Buton yang pertama itu bernama Sultan Murhum, sedangkan di Patani terdapat satu kampung bernama Kampung Parit Murhum.

Kampung Parit Murhum berdekatan dengan Kerisik, iaitu pusat seluruh aktivitas Kesultanan Fathani Darus Salam pada zaman dahulu. Semua yang tersebut itu sukar untuk dijawab. Apakah semuanya ini secara kebetulan saja ataupun memang telah terjalin sejarah antara Patani dan Buton sejak lama, yang memang belum diketahui oleh para penyelidik.

Namun walau bagaimanapun jauh sebelum ini telah ada orang yang menulis bahwa ada hubungan antara Patani dengan Ternate. Dan cukup terkenal legenda bahwa orang Buton sembahyang Jum'at di Ternate.

Jika kita bandingkan dengan semua sistem pemerintahan, sama ada yang bercorak Islam maupun sekular, terdapat perbedaan yang sangat kental dengan pemerintahan Islam Buton. Kerajaan Islam Buton berdasarkan Martabat Tujuh. Daripada kenyataan ini dapat diambil kesimpulan bahwa kerajaan Islam Buton lebih mengutamakan ajaran tasawuf daripada ajaran yang bercorak zahiri. Namun ajaran syariat tidak diabaikan.

Semua perundang-undangan ditulis dalam Bahasa Wolio menggunakan huruf Arab, yang dinamakan Buri Wolio seperti kerajaan-kerajaan Melayu menuliskan bahasa Melayu menggunakan Abjad Arab-Melayu. Huruf dan bahasa tersebut selain digunakan untuk perundang-undangan, juga digunakan dalam penulisan silsilah kesultanan, naskah-naskah dan lain-lain. Tulisan tersebut mulai tidak berfungsi lagi menjelang kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945.

Berkas:Bangsawan Buton.jpg
Bangsawan Buton

Pemerintahan

Kerajaan Buton berdiri tahun 1332 M. Awal pemerintahan dipimpin seorang perempuan bergelar Ratu Wa Kaa Kaa. Kemudian raja kedua pun perempuan yaitu Ratu Bulawambona. Setelah dua raja perempuan, dilanjutkan Raja Bataraguru, Raja Tuarade, Raja Rajamulae, dan terakhir Raja Murhum. Ketika Buton memeluk agama Islam, maka Raja Murhum bergelar Sultan Murhum.

Kerajaan Buton didirikan atas kesepakatan tiga kelompok atau rombongan yang datang secara bergelombang. Gelombang pertama berasal dari kerajaan Sriwijaya. Kelompok berikutnya berasal dari Kekaisaran Cina dan menetap di Buton. Kelompok ketiga berasal dari Kerajaan Majapahit. Sistem kekuasaan di Buton ini bisa dibilang menarik karena konsep kekuasaannya tidak serupa dengan konsep kekuasaan di kerajaan-kerajaan lain di nusantara. Struktur kekuasaan kesultanan ditopang dua golongan bangsawan: golongan Kaomu dan Walaka. Wewenang pemilihan dan pengangkatan sultan berada di tangan golongan Walaka, namun yang menjadi sultan harus dari golongan Kaomu. Jadi bisa dikatakan kalau seorang raja dipilih bukan berdasarkan keturunan, tetapi berdasarkan pilihan di antara yang terbaik.

Kelompok Walaka yang merupakan keturunan dari Si Panjonga memiliki tugas untuk mengumpulkan bibit-bibit unggul untuk dilatih dan dididik sedemikian rupa sehingga para calon raja memiliki bekal yang cukup ketika berkuasa nanti. Berdasarkan penelitian, Ratu Waa Kaa Kaa adalah proyek percobaan pertama kelompok Walaka ini Selain sistem pemilihan raja yang unik, sistem pemerintahannya juga bisa dikatakan lebih maju dari jamannya. Sistem pemerintahan kerajaan/kesultanan Buton dibagi dalam tiga bentuk kekuasaan. Sara Pangka sebagai lembaga eksekutif, Sara Gau sebagai lembaga legislatif, dan Sara Bhitara sebagai lembaga yudikatif. Beberapa ahli berani melakukan klaim kalau sistem ini sudah muncul seratus tahun sebelum Montesquieu mencetuskan konsep trias politica Peraturan hukum diterapkan tanpa diskriminasi, berlaku sama bagi rakyat jelata hingga sultan. Sebagai bukti, dari 38 orang sultan yang pernah berkuasa di Buton, 12 di antaranya diganjar hukuman karena melanggar sumpah jabatan. Dan hukumannya termasuk hukuman mati majelis rakyat Kesultanan Buton adalah lambang demokrasi Kesultanan Buton. di sini dirumuskan berbagai program kesultanan dan juga tempat untuk melaksanakan proses pemilihan sultan berdasarkan aspirasi masyarakat Buton.

Pembagian kelompok di majelis yang diatur dalam UU yang disebut Tutura ini adalah sebagai berikut:

  1. Eksekutif = Sara Pangka
  2. Legislatif = Sara Gau
  3. Yudikatif = Sara Bitara

Ada 114 anggota majelis Sara buton yang terdiri dari 3 fraksi

  1. Fraksi rakyat = Beranggotakan 30 menteri/bonto ditambah 2 menteri besar yang juga mewakili pemukiman-pemukiman di wilayah Buton.
  2. Fraksi pemerintahan = Pangka, Bobato, lakina Kadie yang mewakili pemerintahan.
  3. Fraksi Agama = Diwakili oleh pejabat lingkungan sarakidina/sarana hukumu yang berkonsentrasi di masjid agung kesultanan Buton.

Birokrasi Kesultanan

Wilayah Kesultanan Buton yang berawal dari empat negeri tersusun dalam suatu sistem tata pemerintahan dimana tiap-tiap wilayah besar dan kecil menempatkan dirinya sesuai dengan sejarah dan tradisinya masing-masing. Wilayah Kesultanan Buton tersebut lerdiri alas Wilayah Inti, Moronene dan Barata. Dalam perkembangannya setelah agama Islam menjadi agama resmi bagi masyarakat Kerajaan Buton. Wilayah Kesultanan ya meliputi pulau Buton secara keseluruhan, pulau Muna bagian selatan, kepulauan Tukang Besi, pula Wawonii dan Jazirah Tenggara daratan pulau Sulawesi. Undang-undang "Murtabat Tujuh Kesultanan Buton" ditetapkan sejak tahun 1610 di masa pemerintahan Sultan Dayanu Iksanuddin (1579- 1631). Undang-undang tersebut mengenal tiga tingkatan pemerintahan.

  • Pertama: Pemerintahan Pusat "Sarana Wolio" meliputi tiga unsur yaitu; (1) Sultan, (2) Badan Sarana Wolio yang terdiri atas Pasopitumatana, Siolimbona, Sarana Hukumu dan (3) Staf khusus kesultanan.
  • Kedua: Pemerintahan Wilayah "Sarana Kadie" meliputi para Bobato, Bonto, Parabela, Akanamia, Kaosa dan Talombo.
  • Keliga: Pemerintahan Barata "Sarana Barata", meliputi Lakina/ Kepala Barata, sapati, Kanepulu, Bonto Ogena, Kapatilau, dan Lakina Agama.

Dengan susunan dan tingkatan seperti demikian maka jabatan tertinggi adalah Sultan. Pada tingkat pemerintahan wilayah (Kadie) 27 dipimpin Babato atau Bonto dan pada tingkat pemerintahan Barata dipimpin oleh Lakina Barata.

Pemerintahan Pusat "Sarana Wolio"[1]

  1. Sultan, adalah kepala Negara yang memimpin pemerintahan, pemimpin umat dan keagamaan yang memegang kebijaksanaan dan keadilan tertinggi. Dalam rangka mengemban tugas yang mengabdi kepada kepentingan dan kemaslahatan rakyat lahir dan bathin. Sultan menjalankan kekuasaan Eksekutif dan Yudikatif.
  2. Pasopitumatana yang berfungsi sebagai Kabinet Kesultanan yang membantu tugas-tugas Sultan. Dewan Kabinet ini terdiri dari : Sapati, Kenepulu, Kopitalao, Bontoogema, Lakina Sarawalio dan Lakina Ba'adia. Adapun tugas masing-masing pejabat (pangka) ini adalah sebagai berikut :
    • Sapati, adalah jabatan yang dipegang oleh golongan bangsawan (Kaomu), sebagai Ketua Dewan Kabinet atau Perdana menteri yang mengurusi pemerintahan, berfungsi sebagai pelindung Sultan dan rakyat. Dalam melaksanakan tugas bertindak tegas terhadap pelanggar hukum adat.
    • Kanepulu, adalah jabatan yang dipegang oleh golongan bangsawan (Kaomu) dengan tugas utamanya adalah menampung aspirasi rakyat dan diteruskan kepada Dewan Sara, disamping bersama-sama Sapati membantu Sultan.
    • Kapitalao atau Kapitaraja adalah jabatan untuk golongan bangsawan (Kaomu), Kapitalao dipegang dua orang sebagai menteri pertahanan dan panglima perang.
    • Bonto Ogena, jabatan ini untuk golongan Walaka yang terdiri dari dua orang. Dalam Dewan Kabinet Pasopitumatana sebagai lembaga Eksekutif, Bonto Ogena adalah salah satu anggota kabinet. Sedang dalam Dewan Siolimbona sehagai badan Legislatif, Bonto Ogena sebagai Ketua Dewan yang anggotanya adalah manteri-manteri (Bonto Siolimbona). Tugas yang diemban oleh Bonto Ogena dalam pemerintahan kesultanan adalah mengawasi dan mamajukan kesejahteraan rakyat dan memperhatikan usul serta kehendak rakyat.
    • Lakina Agama (Kadhi) adalah Jabatan untuk golongan bangsawan (Kaomu). Dalam Dewan Kabinet Pasopitumatana ia sebagai anggota, sedangkan dalam Sarana Hukumu (Lembaga Keagamaan) ia sebagai Kepala.
    • Lakina Sarawolio dan Lakina Baadia, (Kepala Wilayah/ Raja Daerah Khusus), adalah jabatan yang diberikan kepada golongan bangsawan (Kaomu), sebagai penguasa daerah khusus ibu kota (Keraton Wolio) bertugas melancarkan pelaksanaan pusat pemerintahan Kesultanan, tugas utamanya adalah mengawasi keamanan dan ketentraman umum.
  3. Siolimbona; Sio = Sembilan, Limbo= Kampung/kadie. Bonto Siolimbona, adalah sembilan Kepala-Kepala Wilayah pemerintahan Daerah. Siolimbona ini dapat dipandang sebagai Badan Perwakilan Rakyat (Legislatit). Jabatan ini diberikan kepada golongan "Walaka" yang dipimpin oleh Bonto Ogena (Mantri Besar). Siolimbona juga merupakan Dewan Sarana Wolio atau dewan kesultanan.
  4. Sarana Hukumu; adalah hadan yang bertugas mengurusi dan mengawasi masalah-masalah yang berhuhungan dengan pelaksanaan ajaran Islam dan masalah-masalah ibadah. Badan Sarana Hukumu ini dipimpin oleh Lakina Agama.
  5. Staf khusus kesultanan.
    • Bantoynunca atau Staf Istana
    • Bontona Lencina Kanjawari, selaku staf khusus yang berkaitan dengan tugas-tugas tertentu.
    • Staf lainnya seperti Juru Basa (juru bahasa), Sabandara, Talombo, dan Pangalasa

Pemerintahan Wilayah "Sarana Kadie"

Pemerintahan kadie adalah bagian wilayah yang mempunyai hukum adat dan majelis sendiri yang disebut "Sarana kadie". Kedudukannya dalam organisasi pemerintahan adalah wilayah-wilayah yang terdiri dari 72 Kadie yang mempunyai hukum adat. hak atas tanah dalam wilayahnya masing-masing, penggunaannya atas dasar hak pakai. Pemerintahan kadie juga diberi kekuasaan penuh oleh pemerintah pusat mempertahankan tanah dan wilayah kekuasaannya, berkewajiban mengatur penggunaan tanah. menguasai hutan dan pengambilan hasil hutan.

Pemerintahan Barata "Sarana Barata"

Penjelasan mengenai Sarana Barata akan dikemukakan secara khusus dalam 4 Barata Kesultanan Buton sebagai sistem pemerintahan dan pertahanan.

Politik

Masa pemerintahan Kerajaan Buton mengalami kemajuan terutama bidang Politik Pemerintahan dengan bertambah luasnya wilayah kerajaan serta mulai menjalin hubungan Politik dengan Kerajaan Majapahit, Luwu, Konawe, dan Muna. Demikian juga bidang ekonomi mulai diberlakukan alat tukar dengan menggunakan uang yang disebut Kampua (terbuat dari kapas yang dipintal menjadi benang kemudian ditenun secara tradisional menjadi kain). Memasuki masa Pemerintahan Kesultanan juga terjadi perkembangan diberbagai aspek kehidupan antara lain bidang politik dan pemerintahan dengan ditetapkannya Undang-Undang Dasar Kesultanan Buton yaitu “Murtabat Tujuh” yang di dalamnya mengatur fungsi, tugas dan kedudukan perangkat kesultanan dalam melaksanakan pemerintahan serta ditetapkannya Sistem Desentralisasi (otonomi daerah) dengan membentuk 72 Kadie (Wilayah Kecil).

Masyarakat

Masyarakat Buton terdiri dari berbagai suku bangsa. Mereka mampu mengambil nilai-nilai yang menurut mereka baik untuk diformulasikan menjadi sebuah adat baru yang dilaksanakan di dalam pemerintahan kerajaan/kesultanan Buton itu sendiri. Berbagai kelompok adat dan suku bangsa diakui di dalam masyarakat Buton. Berbagai kebudayaan tersebut diinkorporasikan ke dalam budaya mereka. Kelompok yang berasal dari Tiongkok diakui dalam adat mereka. Kelompok yang berasal dari Jawa juga diakui oleh masyarakat Buton. Di sana terdapat Desa Majapahit, dan dipercaya oleh masyarakat sekitar bahwa para penghuni desa tersebut memang berasal dari Majapahit. Mereka sampai di sana karena perdagangan rempah-rempah. Dengan membuat pemukiman di sana, mereka dapat mempermudah akses dalam memperoleh dan memperdagangkan rempah-rempah ke pulau Jawa. Beberapa peninggalan mereka adalah berupa gamelan yang sangat mirip dengan gamelan yang terdapat di Jawa.

Imam-imam yang menjabat di dalam dewan agama juga dipercaya merupakan keturunan Arab. Mereka dengan pengetahuan agamanya diterima oleh masyarakat Buton dan dipercaya sebagai pemimpin di dalam bidang agama. Berbagai suku dan adat tersebut mampu bersatu secara baik di dalam kerajaan/kesultanan Buton. Apabila kita melihat kerajaan/kesultanan lain, perbedaan itu sering kali memunculkan konflik yang berujung kepada perang saudara, bahkan perang agama. Sedangkan di Buton sendiri tercatat tidak pernah terjadi perang antara satu kelompok dengan kelompok lain, terutama bila menyangkut masalah suku dan agama.

Dapat dikatakan bahwa seluruh golongan di buton merupakan pendatang. Mereka menerapkan sistem yang berdasarkan musyawarah. Para perumus sistem kekuasaan atau sistem adat di Buton juga berasal dari berbagai kelompok suku dan agama. Ada yang berasal dari semenanjung Malaysia, Si Tamanajo yang berasal dari Kerajaan Pagaruyung. Ada pula yang berasal dari Jawa yaitu Sri Batara dan Raden Jutubun yang merupakan putra dari Jayanegara.

Seluruh golongan tersebut berasal dari kerajaan yang otoriter dan menerapkan sistem putera mahkota. Hampir semua peralihan kekuasaan tersebut dilakukan dengan kudeta. Di kerajaan Buton hal tersebut tidak pernah terjadi. Asumsinya, berdasarkan pengalaman pahit dalam jatuh-bangunnya pemerintahan tersebut, maka mereka yang berkumpul di tanah Buton tersebut merumuskan suatu sistem yang mampu melakukan peralihan kekuasaan tanpa harus melalui pahitnya kudeta maupun perang saudara.

Mereka berkumpul di tanah Buton sejak Gajah Mada mengumumkan sumpah palapa-nya. Pada masa itu Kerajaan Sriwijaya mengalami kemunduran. Begitu juga Kerajaan Singosari. Seluruh raja-raja dan panglima yang tidak takluk pada Kerajaan Majapahit akan dijadikan budak. Pilihan mereka adalah dengan melarikan diri menuju tempat yang aman. Pulau Buton menjadi salah satu lokasi dimana beberapa pelarian tersebut singgah dan menetap.

Perekonomian

Wilayah kerajaan/kesultanan Buton sangat strategis. Pedagang dari India, Arab, Eropa maupun Cina lebih memilih untuk melalui jalur selatan Kalimantan untuk mencapai kepulauan rempah-rempah di Maluku. Bila melalui Utara Sulawesi dan selatan kepulauan Filipina, para pedagang akan berhadapan dengan bajak laut yang banyak berkeliaran di sana. Selain itu, angin di selatan Kalimantan lebih kencang daripada di sebelah utara Sulawesi. Masyarakat Buton telah menggunakan alat tukar uang yang disebut Kampua. Kampua Sehelai kain tenun dengan ukuran 17,5 kali 8 sentimeter. Pajak juga telah diterapkan di negeri ini. Tunggu Weti sebagai penagih pajak di daerah kecil ditingkatkan statusnya menjadi Bonto Ogena disamping sebagai penanggung jawab dalam pengurusan pajak dan keuangan juga mempunyai tugas khusus selaku kepala siolimbona (saat ini hampir sama dengan ketua lembaga legislatif).

Hukum

Hukum dijalankan sangat tegas dengan tidak membedakan baik aparat pemerintahan maupun masyarakat umum. Hal ini terlihat dari ke 38 orang sultan yang memerintah di Buton, 12 orang menyalahgunakan kekuasaan dan melanggar sumpah jabatan dan satu di antaranya yaitu Sultan ke - VIII Mardan Ali, diadili dan diputuskan untuk dihukum mati dengan cara leher dililit dengan tali sampai meninggal yang dalam Bahasa Wolio dikenal dengan istilah digogoli.

Bahasa

Etnik/Suku Buton sebutan bagi masyarakat yang berasal dari Kerajaan dan Kesultanan Buton, memiliki sejumlah bahasa yang berbeda tiap wilayah. Secara umum, setidaknya ada 4 bahasa yg digunakan oleh 4 kelompok/etnik masyarakat yakni Bahasa Muna, Bahasa Cia-Cia, Bahasa Pulo (Wakatobi), dan Bahasa Moronene. Selain 4 bahasa tersebut masih terdapat pula beberapa bahasa yang digunakan oleh kelompok masyarakat yang lebih kecil, seperti bahasa Laompo/Batauga, Bahasa Barangka/Kapontori, Bahasa Wabula, Bahasa Lasalimu, Bahasa Kulisusu, Bahasa Katobengke dan sebagai bahasa pemersatu digunakan Bahasa Wolio. Bahasa Wolio ini merupakan bahasa resmi kesultanan.

Bidang Pertahanan

Bidang Pertahanan Keamanan ditetapkannya Sistem Pertahanan Rakyat Semesta dengan falsafah perjuangan yaitu:

“Yinda Yindamo Arata somanamo Karo” (Harta rela dikorbankan demi keselamatan diri)

“Yinda Yindamo Karo somanamo Lipu” (Diri rela dikorbankan demi keselamatan negeri)

“Yinda Yindamo Lipu somanamo Sara” (Negeri rela dikorbankan demi keselamatan pemerintah)

“Yinda Yindamo Sara somanamo Agama” (Pemerintah rela dikorbankan demi keselamatan agama)

Disamping itu juga dibentuk sistem pertahanan berlapis yaitu empat Barata (Wuna, Tiworo, Kulisusu dan Kaledupa), empat matana sorumba (Wabula, Lapandewa, Watumotobe dan Mawasangka) serta empat orang Bhisa Patamiana (pertahanan kebatinan).

Selain bentuk pertahanan tersebut maka oleh pemerintah kesultanan, juga mulai membangun benteng dan kubu–kubu pertahanan dalam rangka melindungi keutuhan masyarakat dan pemerintah dari segala gangguan dan ancaman. Kejayaan masa Kerajaan/Kesultanan Buton (sejak berdiri tahun 1332 dan berakhir tahun 1960) berlangsung ± 600 tahun lamanya telah banyak meninggalkan warisan masa lalu yang sangat gemilang, sampai saat ini masih dapat kita saksikan berupa peninggalan sejarah, budaya dan arkeologi. Wilayah bekas Kesultanan Buton telah berdiri beberapa daerah kabupaten dan kota yaitu: Dengan wacana p embentukan Diarsipkan 2015-05-27 di Wayback Machine. Provinsi Kepulauan Buton Diarsipkan 2015-05-27 di Wayback Machine. yang terdiri dari Kabupaten Buton, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Buton Utara, Kota Bau-Bau, Kabupaten Buton Selatan, dan Kabupaten Buton Tengah. Serta tiga daerah yang masuk dalam Provinsi Sulawesi Tenggara Kabupaten Konawe Kepulauan, Kabupaten Bombana, Kabupaten Muna.

Daftar Sultan Kesultanan Buton

3) Daftar sultan / List of sultans

1) 1491-1537: Sultan Murhum

2) 1545-1552: Sultan La Tumparasi

3) 1566-1570: Sultan La Sangaji

4) 1578-1615: Sultan La Elangi

5) 1617-1619: Sultan La Balawo

6) 1632-1645: Sultan La Buke

7) 1645-1646: Sultan La Saparagau

8) 1647-1654: Sultan La Cila

9) 1654-1664: Sultan La Awu

10) 1664-1669: Sultan La Simbata

11) 1669-1680: Sultan La Tangkaraja

12)1680-1689: Sultan La Tumpamana

13) 1689-1697: Sultan La Umati

14) 1697-1702: Sultan La Dini

15) 1702: Sultan La Rabaenga

16) 1702-1709: Sultan La Sadaha

17) 1709-1711: Sultan La Ibi

18) 1711-1712: Sultan La Tumparasi

19) 1712-1750: Sultan Langkarieri

20) 1750-1752: Sultan La Karambau

21) 1752-1759: Sultan Hamim

22) 1759-1760: Sultan La Seha

23) 1760-1763: Sultan La Karambau

24) 1763-1788: Sultan La Jampi

25) 1788-1791: Sultan La Masalalamu

26) 1791-1799: Sultan La Kopuru

27) 1799-1823: Sultan La Badaru

28) 1823-1824: Sultan La Dani

29) 1824-1851: Sultan Muh. Idrus

30) 1851-1861: Sultan Muh. Isa

31) 1871-1886: Sultan Muh. Salihi

32) 1886-1906: Sultan Muh. Umar

33) 1906-1911: Sultan Muh. Asikin

34) 1914: Sultan Muh. Husain

35) 1918-1921: Sultan Muh. Ali

36) 1922-1924: Sultan Muh. Saifu

37) 1928-1937: Sultan Muh. Hamidi

38) 1937-1960: Sultan Muh. Falihi Qaimuddin Khalifatul Khamis

39) La Ode Muhammad Djafar

40) Sultan La Ode Muhammad Izat Manarfa (Sekarang)

Pranala luar

Daftar Pustaka

  • Aceaux, J.C., 2004, Wolio Dictionary (Wolio-English-Indonesian). Holand: Foris Publication.
  • Azra, Azyumardi, 2004, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII dan XVIII akar Pembaruan Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media.
  • B, Burhanuddin, dkk., 1977, Sejarah Daerah Sulawesi Tenggara. Kendari: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. 1977.
  • Berg, E.J. van den, 1939, “Adatgebruiken in verban met de sultansinstallatie in Boeton”, TBG 79:469-528.
  • Bruinesen, Martin van, 1995, Kitab Kuning Pesanren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam Indonesia. Bandung: Mizan.
  • Couvreur, J., 2001, Sejarah dan Kebudayaan Kerajaan Muna. Penerjemah Rene van den Berg. Kupang: Artha Wacana Press.
  • Djamaris, Edwar, 1983, Khabar Akhirat Dalam Hal Kiamat. Jakarta: Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
  • Hasaruddin, 2005, Kabanti Paiasa Mainawa; Sebuah Kajian Filologi. Tesis Magister PPs Unpad. Bandung.
  • Ikram, Achadiati, 2001, Katalog Naskah Buton Koleksi Abdul Mulku Zahari. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
  • Ligtvoet, A., 1878, “Beschrijving en Geschiedenis van Buton”, BKI Vol. 26. “s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.
  • Munawwir, A.W., 2002, Kamus Al-Munawwir Arab – Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progresif.
  • Muthahhari, 1986, Sejarah Perkembangan Islam di Nusantara. Jakarta: Gramedia.
  • Poerwadarminta, W.J.S., 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
  • Sabirin, Falah, 2011, Tarekat Sammaniyah di Kesultanan Buton Kajian Naskah-Naskah Buton. Tangeran: YPM.
  • Sangidu, 2003, Wahdatul Wujud: Polemik Pemikiran Sufistik Antara Hamzah Fanshuri dan Syamsuddin as-Samatrani dengan Nuruddin ar-Arniri., Yogyakarta: Gama Media.
  • Schoorl, J.W., 1985, “Power, Ideology and Change in The Early State of Buton”. Makalah. Disajikan pada saat kongres Indonesia-Belanda yang ke-5. Gravenhag. Belanda.
  • Suryadi, 2005, “Surat-Surat Sultan Buton XXVI Muhyuddin Abdul Gafur Kepada Kompeni Belanda”. Makalah disajikan pada Simposium Internasional IX. Bau-Bau, Sulawesi Tenggara, Indonesia.
  • Tahir Al-Haddad Al-Habib Alwi bin, 1995, Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh. Penerjemah Shahab S. Dhiya. Jakarta: Lentera.
  • Yunus, Abdul Rahim, 1995, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton Dalam Abad Ke-17. Jakarta: INIS.
  • Zaenu, La Ode, 1985, Buton Dalam Sejarah Kebudayaan. Surabaya: Suradipa.
  • Zahari, A.M, 1977, Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni. Jakarta: Balai Pustaka.
  • Zuhdi, Susanto, 1999, “Labu Rope Labu Wana: Sejarah Butun Abad XVII-XVII”. Disertasi dalam bidang Ilmu Pengetahuan Budaya. Universitas Indonesia, Jakarta.
  • Zuhri, Saifuddin, 1965, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia. Al Ma’arif. Bandung.
  1. ^ Zuhdi dkk, Susanto (1996). Kerajaan tradisional sulawesi tenggara kesultanan buton (PDF). Jakarta: Proyek lnventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional (CV. Defit Prima Karya). hlm. 26–32.