Macapat

Revisi sejak 13 Februari 2023 15.32 oleh Firman Mustaqim (bicara | kontrib) (Penambahan informasi & penyuntingan tanda baca.)

Macapat (bahasa Jawa: ꦩꦕꦥꦠ꧀) adalah tembang atau puisi tradisional Jawa. Setiap bait macapat mempunyai baris kalimat yang disebut gatra, dan setiap gatra mempunyai sejumlah suku kata (guru wilangan) tertentu, dan berakhir pada bunyi sajak akhir yang disebut guru lagu.[1] Macapat dengan nama lain juga bisa ditemukan dalam kebudayaan Bali,[2] Sasak,[3] Madura,[4][5] dan Sunda. Selain itu macapat juga pernah ditemukan di Palembang[6] dan Banjarmasin.[7] Biasanya macapat diartikan sebagai maca papat-papat (membaca empat-empat), yaitu maksudnya cara membaca terjalin tiap empat suku kata.[8] Namun ini bukan satu-satunya arti, penafsiran lainnya ada pula.[8] Macapat diperkirakan muncul pada akhir Majapahit dan dimulainya pengaruh Walisanga, tetapi hal ini hanya bisa dikatakan untuk situasi di Jawa Tengah.[9] Sebab, di Jawa Timur dan Bali macapat telah dikenal sebelum datangnya Islam.[9] Karya-karya kesusastraan klasik Jawa dari masa Mataram Baru, pada umumnya ditulis menggunakan metrum macapat.[10] Sebuah tulisan dalam bentuk prosa atau gancaran pada umumnya tidak dianggap sebagai hasil karya sastra namun hanya semacam 'daftar isi' saja.[10] Beberapa contoh karya sastra Jawa yang ditulis dalam tembang macapat termasuk Serat Wedhatama,[11] Serat Wulangreh,[12] dan Serat Kalatidha.[13]

Anak-anak dari Pasinaon Omah Kendheng membawakan macapat pada Festival Cipta Media Ekspresi di Taman Budaya Yogyakarta.

Puisi tradisional Jawa atau tembang biasanya dibagi menjadi tiga kategori: tembang cilik, tembang tengahan dan tembang gedhé.[14] Macapat digolongkan kepada kategori tembang cilik dan juga tembang tengahan, sementara tembang gedhé berdasarkan kakawin atau puisi tradisional Jawa Kuno, tetapi dalam penggunaannya pada masa Mataram Baru, tidak diterapkan perbedaan antara suku kata panjang ataupun pendek.[14] Di sisi lain tembang tengahan juga bisa merujuk kepada kidung, puisi tradisional dalam bahasa Jawa Pertengahan.[15]

Kalau dibandingkan dengan kakawin, aturan-aturan dalam macapat berbeda dan lebih mudah diterapkan menggunakan bahasa Jawa karena berbeda dengan kakawin yang didasarkan pada bahasa Sanskerta, dalam macapat perbedaan antara suku kata panjang dan pendek diabaikan.[14]

Etimologi

Pada umumnya macapat diartikan sebagai maca papat-papat (membaca empat-empat), yaitu maksudnya cara membaca terjalin tiap empat suku kata.[8] Namun ini bukan satu-satunya arti, penafsiran lainnya ada pula.[8] Seorang pakar Sastra Jawa, Arps menguraikan beberapa arti-arti lainnya di dalam bukunya Tembang in two traditions.[8]

Selain yang telah disebut di atas ini, arti lainnya ialah bahwa -pat merujuk kepada jumlah tanda diakritis (sandhangan) dalam aksara Jawa yang relevan dalam penembangan macapat.[8]

Kemudian menurut Serat Mardawalagu, yang dikarang oleh Ranggawarsita, macapat merupakan singkatan dari frasa maca-pat-lagu yang artinya ialah "melagukan nada keempat".[8] Selain maca-pat-lagu, masih ada lagi maca-sa-lagu, maca-ro-lagu dan maca-tri-lagu.[8] Konon maca-sa termasuk kategori tertua dan diciptakan oleh para Dewa dan diturunkan kepada pandita Walmiki dan diperbanyak oleh sang pujangga istana Yogiswara dari Kediri.[8] Ternyata ini termasuk kategori yang sekarang disebut dengan nama tembang gedhé.[8] Maca-ro termasuk tipe tembang gedhé di mana jumlah bait per pupuh bisa kurang dari empat sementara jumlah sukukata dalam setiap bait tidak selalu sama dan diciptakan oleh Yogiswara.[8] Maca-tri atau kategori yang ketiga adalah tembang tengahan yang konon diciptakan oleh Resi Wiratmaka, pandita istana Janggala dan disempurnakan oleh Pangeran Panji Inokartapati dan saudaranya.[8] Dan akhirnya, macapat atau tembang cilik diciptakan oleh Sunan Bonang dan diturunkan kepada semua wali.[8]

Sejarah macapat

Secara umum diperkirakan bahwa macapat muncul pada akhir masa Majapahit dan dimulainya pengaruh Walisanga, tetapi hal ini hanya bisa dikatakan untuk situasi di Jawa Tengah.[9] Sebab di Jawa Timur dan Bali macapat telah dikenal sebelum datangnya Islam.[9] Sebagai contoh ada sebuah teks dari Bali atau Jawa Timur yang dikenal dengan judul Kidung Ranggalawé dikatakan telah selesai ditulis pada tahun 1334 Masehi.[14] Namun di sisi lain, tarikh ini disangsikan karena karya ini hanya dikenal versinya yang lebih mutakhir dan semua naskah yang memuat teks ini berasal dari Bali.[16]

Sementara itu mengenai usia macapat, terutama hubungannya dengan kakawin, mana yang lebih tua, terdapat dua pendapat yang berbeda. Prijohoetomo berpendapat bahwa macapat merupakan turunan kakawin dengan tembang gedhé sebagai perantara.[17] Pendapat ini disangkal oleh Poerbatjaraka dan Zoetmulder. Menurut kedua pakar ini macapat sebagai metrum puisi asli Jawa lebih tua usianya daripada kakawin. Maka macapat baru muncul setelah pengaruh India semakin pudar.

Struktur macapat

Sebuah karya sastra macapat biasanya dibagi menjadi beberapa pupuh, sementara setiap pupuh dibagi menjadi beberapa pada.[10] Setiap pupuh menggunakan metrum yang sama. Metrum ini biasanya tergantung kepada watak isi teks yang diceritakan.[10]

Jumlah pada per pupuh berbeda-beda, tergantung terhadap jumlah teks yang digunakan.[10] Sementara setiap pada dibagi lagi menjadi larik atau gatra.[10] Sementara setiap larik atau gatra ini dibagi lagi menjadi suku kata atau wanda.[10] Setiap gatra jadi memiliki jumlah suku kata yang tetap dan berakhir dengan sebuah vokal yang sama pula.[10]

Aturan mengenai penggunaan jumlah suku kata ini diberi nama guru wilangan.[10] Sementara aturan pemakaian vokal akhir setiap larik atau gatra diberi nama guru lagu.[10]

Jenis metrum macapat

Jumlah metrum baku macapat ada limabelas buah. Lalu metrum-metrum ini dibagi menjadi tiga jenis, yaitu tembang cilik, tembang tengahan dan tembang gedhé. Kategori tembang cilik memuat sembilan metrum, tembang tengahan enam metrum dan tembang gedhé satu metrum.

Ada beberapa jenis tembang macapat. masing-masing jenis tembang tersebut memiliki aturan berupa guru lagu dan guru wilangan masing-masing yang berbeda-beda. Yang paling dikenal umum ada 11 jenis tembang macapat. Yaitu, Pucung, Megatruh, Pangkur, Dangdanggula, dll. Lebih lengkap nya sebagai berikut,

  1. Pangkur biasa dipakai di nama kepunggawaan dalam kalangan kependetaan jawa islam dan beberapa kebudayaan hindu seperti tercantum dalam piagam-piagam berbahasa jawa kuno. Dalam Serat Purwaukara, Pangkur berarti buntut atau ekor. Pangkur juga erat kaitannya dengan kata "mungkur" yang bermakna membelakangi, karena dalam filosofi jawa adakalanya manusia itu harus membelakangi segala hiruk pikuk dunia atau amalan yang cenderung tidak disukai Tuhan Yang Maha Kuasa. Ciri khas dari tembang jawa klasik Pangkur ini terkadang cenderung diberi sasmita atau isyarat yang di letakan di awal atau di tengah atau di akhir lagu yang ditembangkan. Contoh dari beberapa Sasmita tersebut adalah tut pungkur (mengekor), tut wuntat (mengikuti), mingkar-mingkur (bolak-balik), mingkar-mungkur (berbalik dan membelakangi sekuat tenaga), dan lain sebagainya yang masih terdapat kata yang cenderung sama bunyi atau sama istilah artinya (homofun & homonim) dengan kata Pangkur.
  2. Maskumambang berasal dari dua kata yakni "Mas" (Emas- Bahasa Jawa) dan "Kumambang" dari kata Kambang (Mengambang- Bahasa Jawa). Sementara itu dalam ritus kebudayaan hindu Mas dimaknai dari kata "Premas" yaitu punggawa dalam upacara Shaministis. Kumambang dari kata Kambang dengan sisipan – um. Kambang dari kata Ka- dan Ambang. Kambang selain berarti terapung, juga berarti Kamwang atau kembang. Ambang ada kaitannya dengan Ambangse yang berarti menembang atau mengidung. Dengan demikian, Maskumambang dapat diberi arti punggawa yang melaksanakan upacara Shamanistis, mengucap mantra atau lafal dengan menembang disertai sajian bunga. Dalam Serat Purwaukara, Maskumambang diberi arti Ulam Toya yang berarti ikan air tawar, sehingga kadang-kadang di isyaratkan dengan lukisan atau ikan berenang. Sementara itu dalam filosofi hidup orang jawa, Maskumambang identik dengan kemunculan jabang bayi yang berharga yang bersemayam dalam perut ibunya. Hal tersebut disinyalir saking berharganya kehidupan yang akan muncul hingga ditafsirkan sebagai permata berharga yakni emas/ mas. Dan kumambang ditafsirkan mengambang/ bersemayam dalam suatu tempat yakni rahim ibu yang sedang mengandung embrio bayi tersebut.
  3. Sinom ada hubungannya dengan kata Sinoman, yaitu perkumpulan para pemuda untuk membantu orang yang berpunya pesta hajatan. Pendapat lain menyatakan bahwa Sinom ada kaitannya dengan upacara-upacara keagamaan bagi anak-anak muda zaman dahulu. Pun demukian, arti dan pemaknaan Sinom yang dewasa ini dikenal dalam kebudayaan jawa adalah berasal dari kata "Si" (Sang) dan "Nom" (Muda). Dan bilamana keduanya digabung, maka berkonotasi makna "Dia Sang Pemuda" atau "Dia yang masih muda". Oleh karenanya dalam filosofi kebudayaan jawa Sinom digambarkan sebagai watak dari pemuda yang ingin banyak tahu akan perkara dunia, tak kenal takut, dan selalu ceria. Dalam Serat Purwaukara, Sinom diberi arti sekaring rikma yang berarti anak rambut. Selain itu, Sinom juga diartikan daun muda sehingga kadang-kadang diberi isyarat dengan pelukisan daun muda.
  4. Asmaradana/ Asmaradhahana berasal dari kata "Asmara" (Gejalak Asmara/ Gelora Cinta- Baasa Jawa) dan "Dhana"/ "Dhahana" (Api- Bahasa Jawa). Dalam mitologi dan kebudayaan hindu Asmara atau Hyang Asmara adalah nama dewa percintaan (pewayangan jawa-bali). Dhana berasal dari kata Dahana yang berarti api. Nama Asmaradana berkaitan denga peristiwa hangusnya dewa Asmara oleh sorot mata ketiga dewa Siwa seperti disebutkan dalam kakawin Smaradhana karya Mpu Darmaja. Dalam Serat Purwaukara, Smarandana diberi arti remen ing paweweh, berarti suka memberi. Dan dalam falsafah hidup orang jawa Asmaradana adalah suatu tembang yang menggambarkan gejolak cinta seorang pemuda yang kian membara/ berapi-api. Oleh karnanya di sepanjang pulau jawa, tembang jawa kuno Asmaradana tidak mungkin membawakan kisah kematian atau kesedihan karena bergesekan dengan pakem rasa orang jawa atau sudah menjadi selera paten orang jawa.
  5. Dandhanggula diambil dari nama kata raja Kediri, Prabu Dandhanggendis atau Rakai Prabu Dandhanggula yang terkenal sesudah prabu Jayabaya. Dalam Serat Purwaukara, Dandhanggula berarti ngajeng-ajeng kasaean (menanti-nanti kebaikan). Sementara itu dalam falsafah jawa dandhanggula bermakna panci dandhang yang berisi gula yang tentu akan mengundang semut. Merupakan suatu penggambaran apabila seseorang yang baik dalam rupa zhahir- bathin serta tingkah lakunya tentu akan dikerubungi/ diminati banyak orang.
  6. Durma dari kata jawa klasik yang berarti harimau. Sesuai dengan arti itu, tembang Durma berwatak atau biasa diguanakan dalam suasana seram. Pun demikian itu adalah beberapa versi yang kurang valid dan perlu dibuktikan kevalidannya. Kata "Durma" sangat identik dengan kata "Derma" (Memberi— Bahasa Jawa-Melayu). Dan dari penelusuran makna homofun tersebut adalah yang kian menguatkan alasan mengapa subtansi dari tembang Durma cenderung selalu petuah, nasehat, kabar menakutkan supaya taat agama, dsb. Durma ibarat, "hanya memberi tak harap kembali" atau pemaknaan yang lebih mengena adalah "anut sukur, ora anut—nyong ora rugi". Dalam falsafah jawa pun, tembang Durma ini identik ditembangkan oleh orang yang berumur kepada para pemuda supaya menjalani kehidupan dengan lebih baik dan benar serta tidak menyalahi larangan Tuhan Yang Maha Esa.
  7. Mijil dari kata Wijil (Biji - Bahasa Jawa). Mijil berarti biji yang keluar. Dalam metafora kebudayaan jawa adalah suatu pengibaratan bayi yang keluar dari gerbang rahim ibunya menuju dunia luar nan luas. Biji yang keluar adalah cikal bakal kehidupan yang berharga. Dari tidak ada kemudian diadakan hingga dilahirkan adalah suatu anugrah Tuhan yang amat besar. Oleh karena filosofi jawa-islam yang amat kental nan luhur tersebut Wijil/ Biji-bijian juga diartikan sebagai pintu/ gerbang tercatanya pahala dan lain sebagainya yang perlu dipupuk dan disemai air secukupnya hingga ia kanak-kanak dan beranjak dewasa dan siap menghadapi kehidupan.
  8. Kinanthi berarti menimang, bergandengan, berteman mesra. Dalam metafora jawa digambarkan sebagai kedua orang tua yang speechless namun bahagia sembari melihati buah hatinya setelah kelahirannya hingga sesaat sebelum ia mengalami keremajaan (ditandakan dengan aqil baligh dan munculnya romansa cinta). Yang tentunya dalam tatapan mereka berdua banyak harapan tertuang padanya supaya menjadi anak yang membanggakan & berbhakti kepada kedua orang tuanya, sukunya, bangsanya, dan tak luput juga negara dan agamanya. Sesuai dari semua arti itu, tembang Kinanthi berwatak suasana mesra dan senang penuh harap.
  9. Gambuh berarti Jumbuh (Tepat/ sêsuai sêléra hati–Bahasa Jawa). Adalah metafora dari anak berumuran SD yang cenderung lugu-polos dan punya banyak hobi serta tak suka dibantah keinginannya. Berkenaan dengan hal itu, tembang Gambuh memang berwatak suasana tidak ragu-ragu atau "ingin melakukan apa saja yang kamu inginkan sesuai katahatimu".
  10. Pucung/ Pocung adalah nama biji kepayang, yang dalam bahasa latin disebut Pengium Edule. Dalam Serat Purwaukara, Pucung berarti kudhuping gegodhongan ( kuncup dedaunan ) yang biasanya tampak segar. Kata "Cung" dalam Pucung cenderung mengacu pada hal-hal yang bersifat lucu, yang menimbulkan kesegaran, misalnya kucung dan kacung. Sehingga tembang Pucung berwatak suasana santai dan penuh keingintahuan. Dan itu sangat tepat dan presisi dalam beberapa syair tembang Pucung cenderung berisi tebak-tebakan yang sebelumnya sudah diberi klu/ petunjuk. Permainan tebak-tebakan jawa kuno cenderung menggunakan lagu Pucung sebagai pengantar petunjuknya untuk kemudian ditebak. Contohnya saja kamu disuruh menebak Gajah, Kereta, Gedung, Nama, dsb.
  11. Megatruh berasal dari awalan am, pegat dan ruh. Pegat berarti putus, tamat, pisah, cerai. Dan ruh berarti roh. Dalam Serat Purwaukara, Megatruh diberi arti "mbucalken sarwa ala" (membuang semua yang serba jelek). Pegat ada hubungannya dengan peget yang berarti istana, tempat tinggal. Pameget atau pamegat yang berarti jabatan. Samgat atau samget berarti jabatan ahli, guru agama. Dengan demikian, Megatruh berarti petugas yang ahli dalam kerohanian yang selalu menghindari perbuatan jahat (Versi Kebudayaan Hindu Bali). Sementara itu dalam sudut pandang falsafah Jawa-Islam, Megatruh adaalah penggambaran lepasnya roh dari raga yang kemudian akan disiapkan untuk kehidupan selanjutnya ("akhir perjalanan dunia—awal perjalanan akhirat"). Yakni, apakah si roh akan memasuki "Alam barzah" (alam untuk orang beramalan biasa) atau memasuki "Alam Mulkiyyah" (alam untuk orang sholeh yang berbhakti kepada Allah Swt & Rosulnya) ataukah "Alam Nur" (alam untuk para Nabi & Rosul Allah Swt) yang notabene mereka bertinggal di sana hingga sebelum kiamat berlangsung. Dalam substansinya tembang ini berisi kabar gembia nan menyenangkan adapula versi lainnya yang semua itu cenderung lekat dengan penggambaran orang meninggal apakah "husnul khothimah" (berakhir bahagia) atau yang lainnya.


Dan dalam paket kebudayaan, kebudayaan Jawa—Islam lah yang kian lekat dan pantas memiliki tembang 11 macapat ini. Karena mereka menerapkan dan menjadikannya sebagai pedoman hidup, melegitimasi dengan kepercayaan yang mereka anut, menggambarkan/ memetaforakan dengan sangat complicated dan detail, serta targeting mereka lebih mengena di hati dan akal manusia ada umumnya. Pun demikian, mereka tidak berhenti sampai disitu mereka terus berkreasi dengan pakem yang ada dan menyesuaikan dengan konten kehidupan manusia dari awal eksistensinya sebagai jabang bayi hingga berpisahnya roh dengan raga.

Kesemuaan unsur sedari historis hingga falsafah Jawa–Islam itu sudah susah lepas dalam ingatan siapa pemilik 11 tembang macapat sebenarnya. Pun demikian itu masih belum selesai. 11 lagu macapat ini ters mengalami peremajaan dan penyegaran setelah dimasukkan kedalam kurrikulum mata pelajaran Bahasa Jawa untuk SD–Perguruan Tinggi di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Sementara itu di lingkungan keraton seperti Keraton Ngayogyakarta — Yogyakarta sebagai contohnya saja, mobilitasnya lebih masif lagi dengan mengadakan event-event yang kental akan budaya.


Ada pula yang memasukkan tembang gede dan tembang tengahan ke dalam macapat. Tembang-tembang tersebut antara lain

  1. Wirangrong berarti trenyuh ( sedih ), nelangsa ( penuh derita ), kapirangu ( ragu-ragu ). Namun dalam teks sastra, Wirangrong justru digunakan dalam suasana berwibawa.
  2. Jurudemung berasal dari kata juru yang berarti tukang dan demung yang berarti nama sebuah perlengkapan gamelan. Dengan demikian, Jurudemung dapat berarti penabuh gamelan. Dalam Serat Purwaukara, Jurudemung diberi arti "lelinggir kang landep" atau "pisau yang tajam".
  3. Girisa berasal dari kata "Giris" (Ngeri- Bahasa Jawa). Dalam versi kebudayaan hindu Bali, Girisa berasal dari bahasa Sansekerta, Giriça ("c syadilag" dibaca "s") adalah nama lain Dewa Siwa yang bertahta di gunung atau Dewa Gunung, sehingga disebut Hyang Girinata. Dalam Serat Purwaukara, Girisa diberi arti "Boten sarwa wegah" (tidak serba enggan- Bahasa Jawa), sehingga mempunyai watak selalu ingat.
  4. Balabak, dalam Serat Purwaukara diberi arti kasilap atau terbenam. Apabila dihubungkan dengan kata bala dan baka, Balabak dapat berarti pasukan atau kelompok burung Bangau. Apabila terbang, pasukan burung Bangau tampak santai. Oleh karena itu tembang Balabak berwatak atau biasa digunakan dalam suasana santai.

Tabel macapat

Supaya lebih mudah membedakan antara guru gatra, guru wilangan lan guru lagu dari tembang-tembang tadi, maka setiap metrum ditata di dalam sebuah tabel seperti di bawah ini:[18]

Metrum
Gatra
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
X
Tembang cilik / Sekar alit
Dhandhanggula
10
10i 10a 7u 9i 7a 6u 8a 12i 7a
Maskumambang
4
12i 6a 8i 8a
Sinom
9
8a 8i 8a 8i 7i 8u 7a 8i 12a
Kinanthi
6
8u 8i 8a 8i 8a 8i
Asmarandana
7
8i 8i 8a 7a 8u 8a
Durma
7
12a 7i 6a 7a 8i 5a 7i
Pangkur
7
8a 11i 8u 7a 12u 8a 8i
Mijil
6
10i 6o 10é 10i 6i 6u
Pocung
4
12u 6a 8i 12a
Tembang tengahan / Sekar madya
Jurudhemung
7
8a 8u 8u 8a 8u 8a 8u
Wirangrong
6
8i 8o 10u 6i 7a 8a
Balabak
6
12a 12a 12u
Gambuh
5
7u 10u 12i 8u 8o
Megatruh
5
12u 8i 8u 8i 8o
Tembang gedhé / Sekar ageng
Girisa
8
8a 8a 8a 8a 8a 8a 8a 8a

Contoh penggunaan metrum macapat

Di bawah ini disajikan contoh-contoh penggunaan setiap metrum macapat dalam bahasa Jawa beserta terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Dijelaskan pula tokoh penciptanya menurut legenda dan watak setiap metrum

Dhandhanggula

Dhandhanggula adalah sebuah metrum yang memiliki watak luwes. Metrum ini diatribusikan kepada Sunan Kalijaga.

Contoh (Serat Jayalengkara):

Bahasa Jawa Bahasa Indonesia
Prajêng Medhang Kamulan winarni, Diceritakan mengenai kerajaan Medhang Kamulan,
narèndrâdi Sri Jayalengkara, ketika sang raja agung Sri Jayalengkara
kang jumeneng nerpatiné, yang bertahta sebagai raja
ambek santa budi alus, memiliki pikiran tenang dan berbudi halus
nata dibya putus ing niti, raja utama pandai dalam ilmu politik
asih ing wadya tantra, mengasihi para bala tentara
paramartêng wadu, sayang terhadap para wanita
widagdêng mring kasudiran, teguh terhadap jiwa kepahlawanan
sida sedya putus ing agal lan alit, berhasil dalam berkarya secara lahiriah maupun batiniah
tan kènger ing aksara. tidak terpengaruh sihir.

Maskumambang

Gereng-gereng Gathotkaca sru anangis
Sambaté mlas arsa
Luhnya marawayan mili
Gung tinamêng astanira

Sinom

Pangéran Panggung saksana
Anyangking daluwang mangsi
Dènira manjing dahana
Alungguh sajroning geni
Èca sarwi nenulis
Ing jero pawaka murub

Asmaradana

Aja turu soré kaki
Ana Déwa nganglang jagad
Nyangking bokor kencanané
Isine donga tetulak
Sandhang kelawan pangan
Yaiku bagéyanipun
Wong melek sabar narima

Kinanthi

Metrum Kinanthi ini memiliki watak gandrung dan piwulang. Metrum ini konon diciptakan oleh Sultan Adi Erucakra.

Contoh (Serat Rama gubahan Yasadipura):

Anoman malumpat sampun,
Praptêng witing nagasari,
Mulat mangandhap katingal,
Wanodyâyu kuru aking,
Gelung rusak awor kisma,
Ingkang iga-iga kêksi.

Gambuh

Sekar gambuh ping catur,
Kang cinatur polah kang kalantur,
Tanpa tutur katula tula katali,
Kadaluwarsa katutuh,
Kapatuh pan dadi awon.

Pangkur

Lumuh tukua pawarta,
Tan saranta nuruti hardengati,
Satata tansah tinemu,
Kataman martotama,
Kadarmaning narendra sudibya sadu,
Wus mangkana kalih samya,
Sareng manguswa pada ji.

(Haji Pamasa, Ranggawarsita)

Mingkar mingkuring angkara,
Akarana karenan mardi siwi,
Mangka nadyan tuwa pikun,
Yen tan mekani rasa,
Yekti sepi sepa lir asepa samun,
Samangsane pakumpulan,
Gonyak ganyuk nglelingsemi.

Durma

Damarwulan aja ngucireng ngayuda
Baliya sun anteni
Mangsa sun mundura
Lah Bisma den prayitna
Katiban pusaka mami
Mara tibakna
Curiganira nuli

(Langendriyan)

Mijil

Jalak uren mawurahan sami
Samadya andon woh
Amuwuhi malad wiyadine
Ana manuk mamatuk sasari
Angsoka sulastri
Ruru karya gandrung

(Haji Pamasa, Ranggawarsita)

Megatruh

Sigra milir kang gèthèk sinangga bajul
Kawan dasa kang njagèni
Ing ngarsa miwah ing pungkur
Tanapi ing kanan kéring
Kang gèthèk lampahnya alon

(Babad Tanah Jawi, Yasadipura)

Pucung

Pucung adalah salah satu dari 12 puisi jawa (tembang macapat) yang sangat sederhana. Pucung biasa disebut juga dengan pocung. Pucung adalah tetembangan yang digunakan untuk mengingat pada kematian, karena dekat dengan kata pocong yaitu pembungkusan mayat saat akan dikubur. Selain itu, pucung juga berarti woh-wohan (buah-buahan) yang memberikan kesegaran. Kata “cung” sendiri mengingatkan pada kuncung yang lucu. Oleh sebab itu perkembangan dari tembang ini merujuk kepada hal-hal lucu atau parikan atau bedhekan (tebakan).

Pucung sendiri memiliki watak kendur, tanpa adanya klimaks dan tujuan dalam cerita. Dalam membuat pucung tidak boleh asal-asalan karena ada aturannya.

Berikut aturan dari tembang pucung.

1. Guru gatra = 4
Artinya tembang ini memiliki 4 larik kalimat.

2. Juru wilangan = 12, 6, 8, 12
Maksudnya tiap kalimat harus bersuku kata seperti diatas. Kalimat pertama 12 suku kata. Kalimat kedua 6 suku kata. Kalimat ketiga 8 suku kata. Kalimat keempat 12 suku kata.

3. Guru lagu = u, a, i, a
Akhir suku kata dari setiap kalimat harus bervokal u, a, i, a

Berikut ini adalah contoh tembang pucung.

Ngelmu iku kelakone kanthi laku --> u
Lekase lawan kas --> a
Tegese kas nyantosani --> i
Setya budya pengekesing dur angkara --> a

Jurudemung

Ni ajeng mring gandhok wétan
Wus panggih lan Rara Mendut
Alon wijilé kang wuwus
Hèh Mendut pamintanira
Adhedhasar adol bungkus
Wus katur sarta kalilan
Déning jeng kyai Tumenggung

(Serat Pranacitra)

Cirining serat iberan
Kebo bang sungunya tanggung
Saben kepi mirah ingsun
Katon pupur lalamatan
Kunir pita kasut kayu
Wulucumbu Madukara
Paran margane ketemu

(Serat Sekar-sekaran, Mangkunegara IV)

Wirangrong

Dèn samya marsudêng budi
Wiwéka dipunwaspaos
Aja-dumèh-dumèh bisa muwus
Yèn tan pantes ugi
Sanadyan mung sakecap
Yèn tan pantes prenahira

(Serat Wulang Rèh, Pakubuwana IV)

Balabak

Byar rahina Kèn Rara wus maring sendhang
mamèt wé
Turut marga nyambi reramban janganan
antuké
Praptêng wisma wusing nyapu atetebah
jogané

(Serat Jaka Lodhang, Ranggawarsita)

Kabalabak jroning jagad gedhe ana
yektine
Jagad cilik sinorotan surya, kembar
pandhane
Soring surya ana gunung gung saguja
blegere

(Ki Padmosukoco)

Girisa

Metrum ini memiliki watak megah (mrebawani). Metrum ini diambil dari metrum kakawin dengan nama yang sama.

Dene utamaning nata, 8 a
Berbudi bawa leksana, 8 a
Lire berbudi mangkana, 8 a
Lila legawa ing driya, 8 a
Agung dennya paring dana, 8 a
Anggeganjar saben dina, 8 a
Lire kang bawa leksana, 8 a
Anetepi pangandika. 8 a

Catatan kaki

  1. ^ Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan
  2. ^ Hinzler (1994:v-vi)
  3. ^ Van der Meij 2002, hlm. 170
  4. ^ Sudjarwadi et al (1980)
  5. ^ Effendy, Moh Hafid (2021-01-30). "Nilai Religius pada Kearifan Lokal Tembang Macapat Madura". Khazanah Theologia. 3 (1): 1–12. doi:10.15575/kt.v3i1.10959. ISSN 2715-9701. 
  6. ^ Drewes (1977:198-217)
  7. ^ Koroh et al. (1977:27-29) dikutip dari Arps (1992:7)
  8. ^ a b c d e f g h i j k l m Arps 1992, hlm. 62-63
  9. ^ a b c d Pigeaud 1967, hlm. 20
  10. ^ a b c d e f g h i j Ras 1982, hlm. 309
  11. ^ Ras 1982:313
  12. ^ Ras 1982:314
  13. ^ "Ranggawarsita , serat Kalatidha - Een duistere tijd". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-04-26. Diakses tanggal 2010-05-2. 
  14. ^ a b c d Arps 1992, hlm. 14-15
  15. ^ Arps (1996:51)
  16. ^ Menurut Robson (1979:306) dan Damais (1958:55-57) yang dikutip oleh Arps (1992:14)
  17. ^ Prijohoetomo 1934, hlm. ?
  18. ^ Sesuai tabel yang diberikan oleh Ras (1982:310)

Sumber pustaka

  • (Inggris) Bernard Arps, 1992, Tembang in two traditions: performance and interpretation of Javanese literature. London: SOAS
  • (Inggris) Hedi I.R. Hinzler, 1994, Gita Yuddha Mengwi or Kidung Ndèrèt. A facsimile edition of manuscript Cod. Or. 23.059 in the Library of Leiden University. Leiden: ILDEP/Legatum Warnerianum
  • (Indonesia) Karsono H. Saputra, 1992, Pengantar Sekar Macapat. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia. ISBN 979-8184-02-5
  • (Inggris) Th. C. van der Meij, 2002, Puspakrema. A Javanese Romance from Lombok. Leiden: CNWS. ISBN 90-5789-071-2
  • (Inggris) Th. Pigeaud, 1967, Literature of Java. Catalogue Raisonné of Javanese Manuscripts in the Library of the University of Leiden and other public collections in the Netherlands. Volume I. Synopsis of Javanese Literature 900 - 1900 A.D. The Hague: Martinus Nyhoff
  • (Jawa) Poerbatjaraka, 1952, Kapustakan Djawi. Djakarta: Djambatan
  • (Belanda) Prijohoetomo, 1934, Nawaruci: inleiding, Middel-Javaansche prozatekst, vertaling vergeleken met de Bimasoetji in oud-Javaansch metrum. Groningen: Wolters
  • (Belanda) J.J. Ras, 1982, Inleiding tot het modern Javaans. Leiden: KITLV uitgeverij. ISBN 90-6718-073-4
  • (Indonesia) I.C. Sudjarwadi et al., 1980, Seni macapat Madura: laporan penelitian. Oleh Team Penelitian Fakultas Sastra, Universitas Negeri Jember. Jember: Universitas Negeri Jember.
  • Effendy, Moh Hafid (2021-01-30). "Nilai Religius pada Kearifan Lokal Tembang Macapat Madura". Khazanah Theologia. 3 (1): 1–12. doi:10.15575/kt.v3i1.10959. ISSN 2715-9701