Aneka Tambang

perusahaan asal Indonesia
Revisi sejak 2 Maret 2023 11.32 oleh Ardfeb (bicara | kontrib) (Update data perusahaan, akan segera dilengkapi. Mohon ditunggu)

PT Aneka Tambang Tbk atau biasa disingkat menjadi Antam, adalah bagian dari MIND ID yang terutama bergerak di bidang pertambangan nikel, bauksit, dan emas. Untuk mendukung kegiatan bisnisnya, hingga akhir tahun 2021, perusahaan ini juga memiliki 15 butik emas yang terletak di 11 kota di Indonesia.[2][3]

PT Aneka Tambang Tbk
Antam
Perusahaan publik
Kode emitenIDX: ANTM
ASXATM
IndustriPertambangan
Didirikan5 Juli 1968; 56 tahun lalu (1968-07-05)
Kantor pusatJakarta, Indonesia
Wilayah operasi
Indonesia
Tokoh kunci
Nicolas Kanter[1]
(Direktur Utama)
F.X. Sutijastoto[1]
(Komisaris Utama)
Produk
MerekLogam Mulia
PendapatanRp 38,446 triliun (2021)[2]
Rp 2,200 triliun (2021)[2]
Total asetRp 32,916 triliun (2021)[2]
Total ekuitasRp 20,837 triliun (2021)[2]
PemilikInalum (65%)
Karyawan
2.902 (2021)[2]
Anak usahaAsia Pacific Nickel Pty., Ltd.
PT Indonesia Coal Resources
PT Antam Resourcindo
PT Emas Antam Indonesia
PT Cibaliung Sumberdaya
PT Indonesia Chemical Alumina
Situs webwww.antam.com

Sejarah

Antam, sebuah BUMN pertambangan tanggal kelahirannya ditetapkan berdasarkan terbitnya PP No. 22 Th. 1968 tentang Pembentukan PN Aneka Tambang pada tanggal 5 Juli 1968.

Peraturan pemerintah tersebut menyatakan bahwa PN Aneka Tambang dibentuk sebagai merger dari beberapa perusahaan tambang milik negara serta proyek-proyek eksplorasi di bidang mineral selain batubara dan timah, yakni BPU Pertambun, PN Perbaki, PN Tambang Mas Tjikotok, PN Logam Mulia, PT Nikel Indonesia dan berbagai proyek pertambangan yang dilakukan oleh Departemen Pertambangan yang pelaksanaan selanjutnya dilimpahkan berdasarkan SK Presidium Kabinet Dwikora tahun 1966 kepada PN Aneka Tambang.

Selain PN Aneka Tambang, Pemerintah RI juga membentuk dua buah perusahaan pertambangan lain sebagai pengelola pertambangan timah, yakni PN Timah dan pertambangan batubara milik Negara yakni PN Batubara. Keduanya adalah peralihan dari BPU Timah yang beroperasi di P. Bangka, P. Singkep, P. Belitung dan BPU Batubara yang mengelola tambang batubara di Sawahlunto, Muaraenim dan Samarinda.

Usai Pengakuan Kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949, Negara RI segera terlibat dalam berbagai upaya untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Tindakan ini tegas sebagaimana tampak pada upaya-upaya pembasmian pemberontakan yang terjadi di berbagai daerah pada masa itu yang asal muasal penyebabnya beraneka ragam. Baik karena alasan-alasan ideologis seperti DI/TII, etnis kultural seperti APRA dan RMS, bahkan hingga pada alasan-alasan ketimpangan ekonomi antara Pusat dan daerah, seperti PRRI dan Permesta.

Bahkan pada pemberontakan PRRI, gerakan tersebut mampu menguasai beberapa lapangan minyak di Riau milik Amerika Serikat (Caltex), selain juga sempat mengganggu operasional tambang bauksit di P. Bintan yang pada waktu itu dipegang oleh NV NIBEM (perusahaan Belanda yang merupakan bagian dari Billiton yang kemudian menjadi bagian dari Rio Tinto). Keadaan seperti demikian tentu menjadi bukti kuat bahwa penguasaan pengusahaan pertambangan merupakan bagian dari upaya penegakan kedaulatan Negara.

Sekitar bulan Juli 1951, seorang anggota DPRS bernama Teuku Mohamad Hassan menggalang teman-temannya sesama anggota DPRS untuk menyusun sebuah mosi pembentukan Panitia Urusan Pertambangan yang sebagai hasilnya diputuskan dalam Keputusan DPRS No. 47/K/1951. Selanjutnya tindakan legislatif tersebut lebih dikenal sebagai “Mosi Teuku Moh. Hassan dkk”.

Mosi tersebut memberikan pengaruh besar pada pengembangan industri pertambangan di Indonesia. Isinya antara lain mendesak Pemerintah RI untuk menyelidiki berbagai soal terkait tambang emas/perak di Indonesia, memberikan pertimbangan status (legalitas) yang ada dan memajukan usul-usul tentang pertambangan yang menguntungkan Negara. Selain itu Mosi tersebut juga meminta Pemerintah untuk mempersiapkan rencana undang-undang pertambangan Indonesia yang sesuai dengan keadaan pada masa tersebut.

Perkembangan pengusahaan pertambangan di Indonesia berlanjut terus dan pada sekitar 1956 hingga 1959, kita semua melihat bahwa sebelum pemberontakan PRRI/Permesta usai ditumpas, Pemerintah RI juga harus menangani akibat-akibat yang terjadi karena adanya nasionalisasi pada sekitar tahun 1957. Nasionalisasi yang terjadi sebagai akibat dari hengkangnya berbagai modal asing dari Barat karena situasi keamanan yang mereka anggap riskan pada waktu itu. Termasuk dalam berbagai perusahaan dan property milik asing yang dinasionalisasi adalah berbagai perusahaan tambang yang ada di Indonesia. Yakni tambang emas di Cikotok (NV MMZB), tambang bauksit di Bintan (NV NIBEM) serta pengolahan dan pemurnian logam mulia di Jl. Gajah Mada, Jakarta (NV Brakensiek).

Ketiga perusahaan ini, yakni NV MMZB, NV NIBEM dan NV Brakensiek diakuisisi oleh NV Perusahaan Pembangunan Pertambangan, sebuah operating vehicle milik Bank Industri Negara (cikal bakal Bapindo yang kemudian dimerger menjadi Bank Mandiri). Selanjutnya setelah upaya rehabilitasi yang dilakukan dinilai berhasil, termasuk dengan mengubah status hukum semua perusahaan ex Belanda itu menjadi milik Negara RI, maka Bank Industri Negara menyerahkan ketiga perusahaan tersebut pada Pemerintah RI untuk dikelola dalam sebuah lembaga pengelola yang lazim disebut pada waktu itu sebagai BPU (Badan Pimpinan Umum).

Pemerintah RI pada sekitar tahun 1958 hingga 1962, membentuk banyak sekali BPU sebagai pengelola perusahaan, antara lain untuk mengelola berbagai perusahaan yang dinasionalisasi dari pemilik awalnya yang pihak asing karena berbagai sebab. Umpamanya akibat dari perginya para pemilik sebelumnya yang keturunan Belanda setelah berakhirnya KMB (Konferensi Meja Bundar) tahun 1949, peristiwa yang dikenal sebagai eksodus loyalis Belanda.

Nasionalisasi juga dapat terjadi sebagai akibat dari berbagai rentetan peristiwa sesudah KMB. Seperti gangguan keamanan akibat aksi DI/TII yang menyeruak di berbagai daerah (berbagai perkebunan di P. Jawa dan P. Sumatra), akibat Kebijakan Anti Dwi Kewarganegaraan (berbagai asset bangunan, lahan dan perkebunan ex milik orang Cina yang kembali ke RRC), akibat aksi-aksi sepihak kaum komunis (berbagai perkebunan dan tambang minyak di Sumatra Utara dan Jawa Tengah) serta akibat dari pencanangan Trikora (perusahaan-perusahaan perniagaan besar, konstruksi, pabrik-pabrik dan perbankan yang kemudian menjadi BUMN).

Sebuah BPU (Badan Pimpinan Umum) pada prinsipnya berlaku sebagai holding company dari berbagai perusahaan milik negara yang dikelolanya. Berbentuk sebagai quasi-korporasi, bukan merupakan entitas bisnis penuh berbadan hukum karena sifat lembaga pemerintah masih tampak jelas dan pimpinannya harus melapor pada kementerian teknis. Ranah kewenangan sebuah BPU antara lain untuk menangani secara lebih sentralistis atas bidang logistik dan pengadaan, pendanaan dan pembiayaan, pemasaran serta masalah penelitian dan pengembangan dari berbagai perusahaan milik negara yang menjadi kewenangannya.

BPU Pertambun yang dibentuk berdasarkan PP No. 88 Th. 1961 yang dikeluarkan pada tanggal 17 April 1961, menjadi pengelola dari:

  1. PN Pertambangan Bauksit Indonesia (Perbaki) yang dibentuk berdasarkan PP No. 89 Th. 1961. Perusahaan ini adalah ex NV NIBEM (Nederland Indisch Bauxite Explotatie Matschapij) yang mengelola tambang bauksit di P. Bintan.
  2. PN Tambang Mas Tjikotok yang dibentuk berdasarkan PP No. 91 Th. 1961. Perusahaan ini adalah ex NV MMZB (Mijnbouw Matschapij van Zuid Bantam) yang mengelola tambang emas di Cikotok.
  3. PN Logam Mulia yang dibentuk berdasarkan PP No. 218 Th. 1961 jo PP No. 29 Th. 1962. Perusahaan ini adalah ex NV Brakensiek yang memiliki fasilitas pengolahan dan pemurnian logam mulia di Jl. Gajah Mada, Jakarta.
  4. PT Nikel Indonesia, yang didirikan berdasarkan Akta Notaris Mr. RE Abdulkarnen No. 32 Th. 1960 (dikeluarkan tanggal 16 Juli 1960). Perusahaan ini merupakan joint venture antara Pemerintah RI sebesar 80% dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan Tenggara sebesar 20% dan kegiatannya menambang bijih nikel di sekitar daratan Pomalaa dan P. Maniang untuk diekspor ke Jepang.

Sekitar satu tahun kemudian dasar hukum keberadaan BPU Pertambun diperkuat dengan dikeluarkannya PP No. 30 Th. 1962. Regulasi ini memberikan penugasan pada BPU Pertambun untuk melakukan kegiatan eksplorasi dengan melanjutkan berbagai pekerjaan penyelidikan yang telah dikerjakan oleh pihak kolonial Belanda sebelumnya. Berdasarkan PP ini maka BPU Pertambun melakukan kegiatan eksplorasi emas di daerah Rejang Lebong Bengkulu, eksplorasi mangaan di Tasikmalaya dan Bima, eksplorasi pasir besi di sepanjang pantai selatan P. Jawa, eksplorasi emas di Logas Riau Daratan serta eksplorasi intan di Cempaka Banjarbaru.

Beberapa dari kegiatan eksplorasi yang dilakukan oleh BPU Pertambun dapat berlanjut menjadi kegiatan eksploitasi. Sebagaimana dilakukan oleh Antam dengan menambang pasir besi lewat UBPPB Cilacap sejak tahun 1971 hingga 2004 dan pembentukan PT Galuh Cempaka pada tahun 1998, sebuah joint venture dengan MMC dari Malaysia untuk menambang intan. Meski beberapa diantaranya juga terpaksa tidak dilanjutkan lagi karena alasan bisnis, seperti halnya potensi emas di Logas Riau Daratan dan potensi mangaan di Bima serta Tasikmalaya.

Dinamika industri pertambangan di Indonesia terus berlanjut dan Perpu No. 37 Th. 1960 tentang Pertambangan digantikan oleh UU No. 11 Th. 1967 tentang Pokok-pokok Pertambangan. Begitu pula dinamika politik dan bisnis berubah pula, sehingga format BPU yang quasi-korporasi dianggap sudah tidak memadai lagi dengan perkembangan zaman sehingga harus diubah menjadi entitas bisnis sepenuhnya sebagai sebuah korporasi komersial.

Sebagai hasilnya maka dikeluarkanlah PP No. 22 Th. 1968 pada tanggal 5 Juli 1968 yang membentuk PN Aneka Tambang, sebagai merger dari berbagai perusahaan pertambangan milik Negara RI. Kebijakan Pemerintah RI ini pun masih dilengkapi lagi dengan dikeluarkannya PP No. 26 Th. 1974 tanggal 14 Juni 1974 yang mengalihkan bentuk Aneka Tambang dari PN atau Perusahaan Negara menjadi PT atau Perseroan Terbatas, yang kemudian menjadi dasar bagi keluarnya akta notaris dari Notaris Warda Sungkar Alurmei tentang anggaran dasar Aneka Tambang pada tanggal 30 Desember 1974.

Berubahnya status hukum Aneka Tambang dari PN menjadi PT menjadi dasar diperingatinya tanggal 30 Desember sebagai hari jadi Antam. Hal ini dilakukan sejak sekitar tahun 1975 hingga sekitar tahun 1996. Dan sepanjang kurun waktu tersebut juga tidak pernah ada pertanyaan perihal asal usul dimulainya perusahaan serta semua perjalanan kekaryaannya. Alih-alih adanya pertanyaan perihal apa ada perbedaannya antara tanggal 17 April 1961, 5 Juli 1968 dan 30 Desember 1974, apalagi juga tanggal 14 Juni 1974 yang menjadi dasar dari diperingatinya tanggal 30 Desember. Tanggal 30 Desember tidak ada bedanya dengan tanggal lainnya, tokoh yang penting adalah apa yang sudah dihasilkan oleh Antam.

Namun sejak sekitar awal tahun 1997, sebelum Antam masuk bursa, lingkungan internal perusahaan mulai mengubah peringatan hari jadi dari 30 Desember menjadi memperingatinya pada 5 Juli. Perubahan tersebut didasarkan pada alasan bahwa pada tanggal 5 Juli 1968 adalah hari berdirinya PN Aneka Tambang sebagai sebuah perusahaan hasil merger dari berbagai perusahaan pertambangan milik Negara RI. Sebuah persepsi baru timbul, bahwa hari jadi perusahaan adalah sejak terbentuk menjadi sebuah entitas bisnis tunggal dari sebelumnya yang merupakan semi holding dengan dipimpin oleh lembaga yang quasi-korporasi.

Perkembangan Bisnis

PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) menyatakan kegiatan penambangan emas di Cikotok, kabupaten Lebak, Banten telah berakhir. Mengutip keterbukaan informasi ke Bursa Efek Indonesia (BEI) Direktur Umum dan CSR PT Aneka Tambang I Made Surata menuturkan pertambangan emas Cikotok telah menjadi salah satu bagian dalam sejarah bangsa Indonesia saat dikuasai penjajah pada 1936 hingga akhirnya menjadi perusahaan negara pada 1960, dan menjadi bagian dari Antam pada 1968. “Setelah lebih dari 40 tahun, PT Aneka Tambang Tbk melaksanakan proses pengakhiran tambang Cikotok sebagai bagian dari implementasi praktik penambangan yang baik,” ujar Surata.[4]

Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah membentuk komite konsolidasi pertambangan. Komite tersebut akan bertugas mengkaji pembentukan induk usaha pertambangan (holding pertambangan) yang ditargetkan akan terbentuk akhir 2016. Deputi Usaha Pertambangan, Industri Strategis dan Media, Kementerian BUMN, Fajar Harry Sampurno mengatakan anggota komite konsolidasi tersebut adalah PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Timah Tbk (TINS), PT Indonesia Asahan Alumunium (Persero), dan PT Aneka Tambang Tbk (ANTM).[5]

PT Antam dan PT Inalum mendapat kepercayaan dari Kementerian Badan Usaha Milik Negara untuk membeli saham PT Freeport Indonesia sebesar 1,7 miliar dollar AS. Jika kedua perusahaan tersebut tidak mampu, maka akan dibantu PT Timah dan PT Bukit Asam sebagai bagian dari holding perusahaan tambang BUMN.[6]

Referensi

  1. ^ a b "Komisaris & Direksi". PT Aneka Tambang Tbk. Diakses tanggal 28 Februari 2023. 
  2. ^ a b c d e f "Laporan Tahunan 2021" (PDF). PT Aneka Tambang Tbk. Diakses tanggal 28 Februari 2023. 
  3. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama profil
  4. ^ http://redaksi.co.id/46021/antam-akhiri-kegiatan-tambang-emas-di-cikotok.html[pranala nonaktif permanen]
  5. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-01-27. Diakses tanggal 2016-01-23. 
  6. ^ http://redaksi.co.id/46039/perusahaan-bumn-patungan-beli-saham-freeport-indonesia.html[pranala nonaktif permanen]

Pranala luar