Kamp pengasingan Moncongloe

Kamp pengasingan Moncongloe[1] (juga disebut kamp konsentrasi Moncongloe atau instalasi rehabilitasi Moncongloe[2]) adalah bekas kamp konsentrasi di Desa Moncongloe yang dikelola oleh pemerintah Indonesia era Orde Baru dari Maret 1969 hingga 1979. Kamp ini digunakan sebagai tempat para tahanan politik (tapol) yang dianggap dan dicurigai baik terlibat sebagai simpatisan maupun dalam gerakan Partai Komunis Indonesia. Moncongloe adalah penjara alam yang didirikan oleh pemerintah Indonesia era Orde Baru Presiden Soeharto di Pulau Sulawesi. Karena over kapasitas tahanan politik di Pulau Jawa, maka kamp pengasingan Moncongloe didirikan untuk menampung tapol. Kondisi penjara ini sangat tidak bersahabat dan digunakan untuk mengeksploitasi para tahanan politik bekerja secara paksa untuk memenuhi kebutuhan militer baik kepentingan institusi maupun kepentingan pribadi petugas instalasi rehabilitasi (inrehab). Keberadaan kamp pengasingan Moncongloe sebagai implikasi pelabelan pemerintah Orde Baru terhadap mereka yang dianggap PKI. Lokasi kamp berada di daerah perbukitan yang ditumbuhi rimbunnya pepohonan di Desa Moncongloe, Kecamatan Mandai (sekarang Kecamatan Moncongloe), Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, berada di perbatasan Kabupaten Maros dan Kabupaten Gowa, sekitar 25 km dari ibu kota Kabupaten Gowa dan 15 km dari Kabupaten Maros. Sebelumnya, kamp pengasingan Moncongloe adalah wilayah hutan belantara. Kamp ini dikelola oleh pemerintah Indonesia era Orde Baru sebagai tempat tahanan terhadap mereka yang dianggap PKI dengan kontrol militer dari Maret 1969 hingga 1979. Kamp Moncongloe bersama kamp Pulau Buru dan kamp Plantungan menjadi kamp konsentrasi atau pengasingan untuk tapol yang dicurigai simpatisan PKI.

Tapol yang menghuni inrehab Moncongloe sebanyak 911 orang yang terdiri atas 52 perempuan dan 859 laki-laki yang berasal dari berbagai daerah yang berlangsung secara bergelombang mulai 1969 sampai 1971. 250 tapol didatangkan dari penjara Makassar pada tahun 1969 dan menjelang pemilihan umum 1971, tapol didatangkan dari Majene, Mamasa, Pinrang, Parepare, Barru, Pangkep, Maros, Palopo, Tana Toraja, Bone, Gowa, Takalar, Bantaeng, Bulukumba, dan Kepulauan Selayar. Akan tetapi tidak semua penghuni Inrehab Moncongloe murni anggota PKI. Sebagian dari mereka hanya karena korban salah tangkap atau mereka yang di-PKI-kan.

Kisah para tahanan

Instalasi Rehabilitasi Moncongloe dibuka pada tahun 1969 dan resmi dibubarkan sepuluh tahun berselang. Soemiran adalah salah satu dari ribuan bekas penghuni kamp. Ia adalah lulusan Sekolah Kepolisian di Mojokerto, Jawa Timur, yang melanjutkan belajar di SMA Sawerigading, Makassar, untuk mendapatkan kenaikan pangkat itu. Soemiran saat peristiwa G30 S berlangsung dulu adalah polisi yang bertugas di Pelabuhan Makassar. Ia dijebloskan ke rumah tahanan militer karena dianggap membantu pelarian seorang tokoh PKI dengan kapal ke Jawa. Ia kemudian masuk kamp tersebut pada 1978, ketika semua tahanan politik telah dibebaskan. Kamp Moncongloe berubah menjadi tempat penahanan bagi militer. Setahun kemudian, ia dibebaskan.

Kamp Moncongloe dibuka pada Maret 1969. Tercatat sebelas tahanan politik, yang terdiri atas tujuh laki-laki dan empat perempuan, dibawa ke Moncongloe untuk mendirikan barak darurat. Setelah dua bulan kemudian, masuk 44 tahanan, yang diberi tugas menyiapkan kamp pengasingan. Salah seorang dari 44 tahanan politik, Anwar Abbas, mengisahkan kesaksiannya. Anwar Abbas menunjukkan setumpuk dokumen yang terbungkus plastik. Dokumen tersebut berisi catatan dengan tulisan dari mesin ketik, peta lokasi Moncongloe, beberapa helai foto, serta dua lembar kliping koran. Sebagai tahanan, Anwar bersama lainnya membuka hutan dan membangun kamp. Anwar dan para tahanan lainnya kemudian disebut Kelompok 44. Ia mengaku melakukan pekerjaan di bawah pengawasan ketat anggota polisi militer. Kelompok 44 kemudian membangun kompleks pengasingan dengan lima barak berukuran 120 meter persegi, dengan masjid, gereja, poliklinik, dan aula. Pada bulan Desember 1969, Kamp Moncongloe tercatat menampung tahanan politik di berbagai kota di Sulawesi Selatan. Tahanan yang dikirim dalam Kamp Moncongloe sebelumnya adalah tahanan dari berbagai kota di Sulawesi Selatan, yaitu di Majene, Tana Toraja, Palopo, Makassar, Bulukumba, sampai Selayar.

Pemindahan tahahan berlangsung hingga tahun 1971. Seorang saksi mata desa setempat, Anwar mengisahkan kesaksiannya saat ditahan di kantor polisi di kotanya pada 1965. Seorang pria sepuh tersebut adalah Ketua Pemuda Rakyat Pangkajene Kepulauan (Pangkep). Selanjutnya, Anwar diminta untuk dipindahkan ke rumah tahanan militer di Makassar, karena seorang temannya yang ditahan di sini telah dibebaskan. Anwar kemudian bebas pada tahun 1977. Kendati demikian, ia mengaku diperlakukan seperti budak oleh para penjaga kamp. Menurut Anwar, tidak ada tahanan yang sampai meninggal karena penyiksaan. Tahanan yang meninggal disebabkan karena sakit. Kebanyakan tahanan menderita hepatitis karena beratnya pekerjaan dan kurangnya asupan gizi. Bekas tahanan, M. Jufri Buape mengatakan para tahanan diharuskan menggarap lahan tentara tanpa dibayar minimal enam jam sehari. Jufri yang merupakan Sekretaris Lekra daerah Sidrap ini berusaha mengingat bentuk hukuman yang ia terima jika pekerjaan tidak sesuai dengan kemauan sang penjaga. Para tahanan juga sering disuruh tentara untuk mengambil kayu di hutan atau bambu untuk dijual. Menurutnya, mereka (tahanan) tidak mendapat bagian. Jufri masih ingat nama para penjaga kamp. "Banyak yang sudah meninggal," ujarnya. Ia mengakui bahwa saat kamp dijabat oleh Kapten Siregar dan Kapten Lubis, kekerasan fisik terhadap para tahanan sering terjadi. Diakui oleh Anwar, para tahanan perempuan sering menjadi korban pelecehan para penjaga. Para tentara yang bertugas menginterogasi tapol melakukan penyiksaan di kamp pengasingan. Selama di kamp, para tahanan politik juga merasakan kerja rodi, yaitu membangun jalan sepanjang 20 kilometer dari Moncongloe ke Daya, Makassar. Para tahanan itu kemudian dibagi dalam beberapa kelompok, yang bertugas mulai mencari batu di gunung sampai mengeraskan jalan.

Para tahanan diperlakukan laiknya budak yang segenap hidupnya diabdikan pada sang majikan. Para tahanan yang setiap hari dibebani dengan kerja membuka lahan kebun dengan menerabas lebatnya hutan untuk dipersembahkan kepada sang majikan, elit militer. Demikian kerja yang harus dilakukan oleh setiap tahanan sepanjang waktu, tanpa seorang pun yang berani melakukan perlawanan, mungkin pernah berpikir untuk melarikan diri, hanya dalam pikiran. Karena, setiap penentangan selalu berbuah tendangan sepatu laras, tamparan, dan berbagai jenis kekerasan.

Pasca Gerakan 30 September

Tragedi kemanusiaan peristiwa Gerakan 30 September 1965 menyisakan luka yang mendalam bagi mereka yang terlibat baik sebagai pelaku maupun korban. Beberapa penjara atau kamp yang bersifat sementara dibuat untuk menahan para tahanan politik baik anggota PKI maupun yang tertuduh sebagai PKI. Ketika PKI ditetapkan menjadi organisasi terlarang pasca peristiwa G30S 1966, maka implikasi politik tidak hanya mempengaruhi konstalasi elit dan hubungan partai politik, namun lebih jauh telah menyebabkan hilangnya hak-hak hidup orang-orang yang dianggap sebagai anggota PKI. Tidak semua tahanan Moncongloe adalah anggota PKI. Namun semua tahanan memiliki status sama sebagai tahanan politik mendapat perlakuan sama. Hal ini disebabkan karena metode penangkapan secara membabi buta.

Kamp Moncongloe, saksi bisu penderitaan tapol Orde Baru di Sulsel. Kamp pengasingan ini menampung hampir seribu tahanan politik. Pasca Gerakan 30 September 1965, Orde Baru melakukan "pembersihan" kader-kader Partai Komunis Indonesia. Banyak dari mereka yang bernasib nahas, di mana nyawa melayang dalam seremoni barbar penjagalan. Jumlahnya pun ditaksir mencapai jutaan orang. Hilang hingga lenyap, meninggalkan cerita-cerita sadis yang membangkitkan bulu roma.

Soeharto membangun fondasi kekuasaan otoriternya dan duduk di atas tahta berbau kekerasan selama tiga puluh dua tahun. Namun cerita miris tak berhenti sampai di bagian pembantaian massal. Orde Baru turut menangkapi orang-orang yang diduga terkait dan memiliki hubungan bahasa pemerintah waktu itu dengan PKI sebagai organisasi terlarang menurut TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966.

Salah satu upaya untuk membasmi paham Komunisme-Marxisme, pemerintah turut mendirikan kamp-kamp pengasingan di berbagai kota di Indonesia. Kamp ini digunakan sebagai tempat rehabilitasi simpatisan PKI. Namun, makna kata "rehabilitasi" yang selalu identik dengan konotasi positif justru tidak berlaku dalam hal ini. Di Sulawesi Selatan sendiri, salah satu kamp PKI terletak di Moncongloe, perbatasan Kabupaten Maros dan Gowa.

Latar belakang pemilihan kamp

Penumpasan dan penangkapan terhadap anggota dan simpatisan PKI pasca tragedi G30S jumlah tahanan politik bertambah secara drastis sehingga sel-sel tidak mampu menampung tapol dan meningkatnya biaya yang harus dikeluarkan untuk keperluan tapol. Kemudian muncul Moncongloe sebagai tempat pembinaan dalam bentuk pengasingan sehingga tapol dapat mandiri. Moncongloe dipilih karena dianggap aman dan mampu dikontrol oleh militer sebab Moncongloe dikelilingi markas militer Kodam XIV Hasanuddin.

Tahanan kamp Moncongloe didatangkan secara bertahap dari kurun waktu 1969 hingga 1971. Terletak 17 kilometer dari Makassar, Moncongloe yang memiliki arti "Tempat yang Tinggi" bisa ditempuh dengan waktu 40 menit perjalanan darat. Jauh dari hingar bingar kota, tempat ini menyimpan memori pahit. Berdasarkan buku Kamp Pengasingan Moncongloe (Desantara Foundation, 2009), wilayah ini dipilih karena dianggap aman dan mudah dikendalikan lantaran dikelilingi markas Kodam XIV Hasanuddin. Kamp seluas 150 meter persegi ini menampung 911 jiwa, dengan rincian 859 pria dan 52 wanita. Mereka berasal dari sejumlah kota di seantero Sulsel seperti Majene, Mamasa, Pinrang, Parepare, Barru, Pangkep, Maros, Palopo, Tana Toraja, Takalar, Bantaeng, Bulukumba dan Selayar. Mereka datang secara bertahap ke Moncongloe dari tahun 1969 sampai 1971. Namun seperti penghuni kamp-kamp PKI lainnya, mayoritas di antaranya adalah korban salah tangkap dan dituduh sebagai simpatisan organisasi berlambang palu-arit. Setelah mendekam beberapa lama, tapol Moncongloe harus memenuhi kebutuhannya sendiri. Akan tetapi seiring waktu, mereka pun wajib memenuhi kebutuhan militer entah itu atas nama institusi atau kepentingan pribadi para petugas. Alhasil muncullah eksploitasi berlapis. Sekadar memenuhi kebutuhan pribadi pun menjadi sukar.

Dari rimbun hutan menjadi kamp konsentrasi

Penderitaan tahanan dan pelanggaran HAM

Selama di Moncongloe, tapol tidak hanya dituntut untuk memenuhi kehidupannya tapi juga harus mampu berproduksi untuk memenuhi kebutuhan militer baik kepentingan institusi maupun kepentingan pribadi petugas instalasi rehabilitasi (inrehab). Ada beberapa pola eksploitasi tenaga tapol, pertama korve dan konsentrasi tapol di kamp inrehab, tapol dibagi dalam beberapa regu korve yang terdiri dari korve penebang pohon, korve gergaji, korve pencari batu, korve penebang bambu. Kedua, tapol dikerahkan untuk bekerja pada proyek pembangunan unit kantor kodim dan perumahan militer serta rumah pribadi anggota militer. Ketiga, tapol bekerja di rumah-rumah anggota Kiwal Kodam XIV Hasanuddin. Tapol terkadang mengalami eksploitasi berlapis adanya kepentingan pribadi petugas inrehab dan kepentingan institusi militer sehingga untuk memenuhi kebutuhan pribadi tapol sangat susah.

Eksploitasi sangat dirasakan oleh tapol karena hasil dari pekerjaan hanya dinikmati oleh petugas inrehab sehingga resistensi bukanlah hal baru yang dilakukan oleh tapol. Bentuk resistensi yang paling sederhana dilakukan adalah bermalas-malasan bekerja di kebun petugas terutama kebun yang jaraknya jauh dari lokasi inrehab sehingga pengawasan pun longgar. Bentuk resistensi lainnya adalah merusak kebun petugas secara sembunyi-sembunyi dan melakukan hal-hal yang merugikan petugas inrehab. Di waktu lain, politik akomodasi menjadi jalan untuk bertahan dengan jalan berusaha mendekati petugas secara personal dengan cara memberikan hasil hutan kepada petugas sehingga terhindar dari perlakuan keras petugas inrehab.

Pengasingan terhadap tapol berakhir pada tahun 1979 namun tidak berarti persoalan hidup mereka selesai, mereka tetap memikul berbagai hukuman kolektif, justru kehidupan mereka lebih berat, karena dikucilkan dalam pengasingan itu wajar namun dikucilkan ditengah kehidupan sosial akan mengarah pada depresi dan kehilangan kepercayaan diri. Diperlukan waktu yang cukup lama untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya, hal itu bukan perkara mudah apalagi dengan status sebagai eks Tapol yang harus menerima stigmatisasi “tidak bersih lingkungan” yang dilakukan secara intensif oleh pemerintah Orde Baru.

Pembebasan Tapol hanya merupakan perubahan pengontrolan Negara terhadap Tapol dari kontrol fisik dalam Kamp Inrehab menjadi kontrol sosial di lingkungan masyarakat, pemerintah mengeluarkan berbagai ketentuan yang membatasi dan mengontrol secara efektif ruang gerak eks Tapol. Lebih parah lagi stigma tidak bersih lingkungan tidak berhenti pada tapol itu saja tapi menjalar sampai anak dan cucuc mereka hingga melahirkan suatu bentuk pengasingan baru di tengah lingkungan masyarakat.

Sejarah komunitas Tapol Mongcongloe setidaknya telah mengantarkan kita pada kedewasaan dalam memahami perkembangan politik setelah gerakan 30 September 1965 di Sulawesi Selatan. Tapol menjadi tema Sejarah Indonesia yang penting sebab komunitas tahanan politik bukanlah suatu komunitas tanpa sejarah, tetapi mereka adalah orang-orang yang membuat sejarah sehingga perlu ditulis untuk memahami secara utuh perjalanan sejarah sosial negeri ini.

Sesuai laporan Komnas HAM tahun 2012, penghuni kamp Moncongloe mengalami berbagai perlakuan keji. Penderitaan mereka tergambar jelas dalam laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tentang Hasil Penyelidikan Pelanggaran HAM yang Berat 1965-1966 yang rilis pada 2012 silam. Dengan mewawancarai para tapol penghuninya, praktek perbudakan digambarkan secara rinci. Berdasarkan keterangan saksi-saksi, didapat petunjuk tentang adanya perbudakan dengan cara penggunaan para tahanan untuk membangun barak, pagar, WC, aula-masjid, poliklinik, pos jaga, gereja dan dapur umum. Para tahanan dipekerjakan di beberapa proyek tentara seperti membuka kebun-kebun pribadi milik tentara, yang luasnya tergantung pada pangkat yang dimiliki tentara yang bersangkutan. Luasnya berkisar 4 sampai 6 hektar. Saksi-saksi juga diperlakukan seperti budak yang diperas tenaganya dengan membuat jalan sepanjang kurang 23 km dari Moncongloe ke Daya. Untuk membuat jalan tersebut, tahanan disuruh mengambil batu dari gunung dan mengangkutnya ke jalan raya. Selain itu, tahanan disuruh menggarap tanah perkebunan, menanam sampai memanen, membangun dan memperbaiki rumah perorangan milik petugas, mengambil dan menyusun kayu-bambu yang dijual untuk kepentingan petugas kamp Moncongloe.

Kamp Moncongloe adalah satu dari sekian banyak riwayat panjang pelanggaran HAM di masa Orde Baru. Hidup di kawasan tersebut terhitung mengerikan. Tak ada pasokan air bersih hingga listrik. Ladang nanas dan singkong yang jadi tumpuan hidup acap kali dirusak oleh babi hutan dan monyet. Moncongloe yang penuh belukar dan tandus pun sudah memberi ujian hidup untuk para tapol. Ada juga pelecehan seksual dialami para tahanan wanita yang dilakukan oleh petugas kamp. Tak ada upah untuk pekerjaan mereka. Beberapa saksi yang diwawancarai Komnas HAM bahkan mengaku hanya diberi beras setengah liter sehari dan diberikan setiap satu minggu. Belum lagi menyoal banyaknya tahanan yang dijebloskan tanpa surat penahanan atau melalui proses peradilan. Laporan khusus majalah Tempo pada 2012 silam pun menyebut banyak tahanan menderita Hepatitis saking beratnya pekerjaan yang dibebankan sekaligus minimnya asupan gizi.

Sanksi sosial

Setelah para tapol keluar dari kamp pengasingan dan hidup di tengah masyarakat biasa. Kontrol militer beralih ke kontrol sosial, dimana memori kolektif masyarakat setempat yang telah dikuasai pemerintahan Orde Baru mengenai pandangan negatif terhadap tapol PKI masih sangat kuat. Keluar dari kamp para tahanan menemukan kekerasan belum selesai. Kontrol militer beralih ke kontrol sosial, label PKI adalah sebuah status sosial yang tidak memiliki tempat yang setara dengan orang lain di ruang-ruang publik, bahkan juga berlaku bagi anak cucu mereka. Ada seorang tapol Moncongloe mengisahkan drama hidupnya yang memilukan ketika harus rela menahan air mata tanpa menemui keluarga di tengah penyamaran guna menghindari kejaran para intel, meskipun akhirnya tertangkap juga. Hampir semua tapol Moncongloe adalah orang hilang dan mati. Mereka dianggap mati oleh keluarganya. Di sisi lain, mereka pun harus membuang jauh harapan untuk berkumpul kembali bersama keluarga tercinta. Komunitas tapol ini selalu terpinggirkan karena dianggap sebagai kelompok yang bertanggung jawab atas peristiwa Gerakan 30 September 1965. Kamp pengasingan Moncongloe ditutup secara resmi pada 1979, namun eks tapol di kamp ini harus mengalami diskriminasi dan trauma yang mendalam. Mulai dari stigma masyarakat yang sudah kadung melekat hingga kesulitan menemukan pekerjaan yang cocok. Komnas HAM secara jelas mengatakan ada pelanggaran HAM terjadi seperti perbudakan, perampasan, kemerdekaan dan penganiayaan.

Buku

  • Kamp Pengasingan Moncongloe, karya Taufik, Penerbit Desantara, tahun 2008
  • Tragedi di Halaman Belakang: Kisah Orang-Orang Biasa dalam Sejarah Kekerasan Sulawesi, karya Eko Rusdianto, Penerbit EA Books, tahun 2009

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Tim redaksi kebudayaan.kemdikbud.go.id (4 Juni 2014). "Kamp Pengasingan Moncongloe". kebudayaan.kemdikbud.go.id. Diakses tanggal 28 Maret 2023. 
  2. ^ Maghiszha, Dinar Fitra (21 September 2019). "G30S 1965 - Moncongloe, Kamp Tahanan Politik (Tapol) di Gowa, Sulawesi Selatan". www.tribunnewswiki.com. Diakses tanggal 28 Maret 2023.