Syekh Nahrawi Al Banyumasyi
Syekh Nahrawi Al-Banyumasi adalah seorang ulama asal Indonesia yang sangat mahsyur di tanah Arab. beliau lahir lahir di Purbalingga pada tahun 1860. Nama aslinya adalah Kiai Mukhtarom. Kemudian tafa’ulan kepada gurunya sehingga namanya menjadi Nahrawi. Nama lengkap beliau adalah "Ahmad Nahrawi Mukhtarom bin Imam Raja Al-Banyumasi Al-Jawi". Biografinya terdapat di kitab A’lamul Makiyyin yang ditulis oleh Syekh Abdullah Muallimi. Ada di entri nomor 1431 halaman 964,” ujar penulis buku Mahakarya Islam Nusantara itu.[1]
Syekh Nahrawi wafat pada tahun 1926 pada usia 86 tahun dan dimakamkan Ma’la di Makkah. Meski demikian kiprah dakwahnya di tanah air tidak pernah terputus. Dakwah terus bersambung dilanjutkan keluarganya di Purbalingga.
Kehidupan
Pendidikan
Masa kecil Nahrowi dilewatinya dengan belajar Al-Qur’an dan ilmu agama kepada ayahnya, Kyai Haji Harja Muhammad yang juga dikenal dengan Imam Masjid Darussalam Purbalingga.
Syekh Nahrawi dan saudaranya, Kyai Haji Abu ‘Ammar melanjutkan pembelajaran di Makkah. Saat itu, usia Syekh Nahrawi baru 10 tahun. Namun, Syekh Nahrawi telah memperoleh surat izin mengajar di Masjidil Haram karena ketekunannya dalam mencari ilmu. Beliau bahkan sempat menjadi seorang hakim agung.
Saat itu juga Makkah menjadi pusat peradaban ilmu dengan guru-guru ulama yang sangat mumpuni seperti Syekh Muhammad al-Maqri a-Mishri al-Makki, Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasballah, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, mufti madzab Syafi’iyah di Makkah, Syekh Ahmad An-Nahrawi al-Mishri al-Makki, Sayyid Muhammad Shalih al-Zawawi al-Makki, salah seorang guru di Masjid Nabawi dan lain-lain.
Kakak Syekh Nahrawi
Sejak itu, Syekh Nahrawi tidak kembali ke Nusantara. Beliau memilih berkarier di Makkah dan guru yang ulung. Berbeda dengan sang kakak, Abu ‘Ammar. Ia pulang ke tanah air dan menjadi Imam Masjid Agung Purbalingga. Kyai Haji Abu ‘Ammar pulang dari Makkah langsung menghidupkan dan memakmurkan Masjid Agung Purbalingga. Masjid tersebut merupakan peninggalan Mbah Abu ‘Ammar dan keluarganya. Sebab, tanah wakaf itu atas nama Kyai Haji Hardja Muhammad yang tidak lain adalah ayah Mbah Abu ‘Ammar .
Kyai Haji Abu ‘Ammar juga dikenal dengan kelapangan dan luwes dalam bergaul. Hal itu dibuktikan dengan kedekatan Mbah Abu ‘Ammar dengan tokoh lintas organisasi, seperti Kyai Haji Hasyim Asy’ari (NU) dan Kiai Ahmad Dahlan (Muhammadiyah) pernah datang dan berdiskusi di Masjid Kauman semasa Mbah Abu ‘Ammar. Bahkan Syekh Syurkati, pendiri Al Irsyad Al Islamiyah dari Makkah dikabarkan juga pernah bertandang. Kyai Haji Abu ‘Ammar adalah seorang intelektual muslim yang sangat disegani tidak saja pada regional Banyumas akan tetapi juga nasional. Kancah KH. Abu ‘Ammar di tingkat nasional bisa ditelusur ketika berteman akrab dengan seorang hakim Belanda yang sangat terkenal yaitu Prof. Terrhar. Diskusi yang intens Kyai Haji Abu ‘Ammar ini dengan Terrhar ini kemudian memunculkan perlunya sebuah peradilan bagi kaum inderland tersendiri yang terpisah dengan landrat yang ada ketika itu. Peradilan ini hanya diberlakukan buat kaum inderlands yang berhubungan dengan hukum-hukum perdata (Begerlijc Wetbook). Sektor yang diurus oleh peradilan ini meliputi pernikahan, perceraian, hukum waris. Peradilan ini kemudian dikenal dengan Pengadilan Agama. Peradilan agama ini telah berkembang sekarang sampai keseluruh persada nusantara. Dalam sejarah peradilan di Indonesia, pengadilan agama ini telah menjadi salah satu dari empat peradilan di Indonesia. Pengadilan Agama telah sama kedudukannya dengan pengadilan umum serta dibawah satu atap Mahkamah Agung. Bahkan kewenangan Pengadilan Agama kini telah meluas tidak saja hal-hal yang berkenaan denngan hukum Perdata tapi juga menerima sengketa pidana yang bersifat syariah.
Menjadi Guru di Makkah
Sementara Syekh Ahmad Nahrowi Mukhtarom Al Banyumasi tidak mau pulang ke tanah Jawa. Bahkan oleh Pemerintah Saudi Syekh Ahmad Nahrowi Mukhtarom diangkat menjadi guru mengajar santri dari berbagai Negara. Beliau Banyak mempunyai murid dan bahkan menjadi hakim agung di Arab Saudi (lihat; Islam transformasi; Azyumardi Azra; Gramedia; 1997).
Tidak satupun pengarang kitab di Haromain; Makkah-Madinah, terutama ulama-ulama yang berasal dari Indonesia yang berani mencetak kitabnya sebelum ada pengesahan dari Syekh Ahmad Nahrowi Mukhtarom Al Banyumasi. Sehingga bisa dipastikan waktu Syekh Ahmad Nahrowi Mukhtarom al Banyumasi ini habis untuk mengkoreksi dan mentahshih ratusan kitab karya ulama-ulama Nusantara yang pada waktu itu terkenal sangat produktif menulis karya. Seperti Syekh Mahfudz Al Tremasi, Syekh Soleh Darat, Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Kholil Al Bangkalani, Syekh Junaid Al Batawi dan lain-lain. Syekh Nahrowi iabaratnya adalah editor handal dari kitab-kitab klasik ulama-ulama Nusantara pada masa itu.
Syekh Nahrawi banyak mengoreksi ratusan kitab karya ulama-ulama Nusantara seperti Syekh Mahfudz Al Tremasi dan Syekh Nawawi Al Bantani. Kala itu, para pengarang kitab, terutama yang berasal dari Indonesia, enggan mencetak karyanya sebelum diberi rekomendasi atau taqrizh oleh Syekh Nahrawi.
Beberapa karya tersebut adalah Fathul Majid Syarh Jauharatut Tauhid karya Syekh Husain bin Umar Palembang dan fatwa Al-Ajwibatul Makkiyah ‘alal As’ilatil Jawiyyah oleh Syekh Abdullah bin Abdurrahman Siraj. Nah, menurut Syekh Nahrawi, kitab yang ditulis Syekh Abdullah berisi jawaban atas beragam persoalan di Nusantara seperti tradisi tahlil, mauludan, dan ziarah kubur.
pada Juli 2017 lalu, Komunitas Pegon di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Tengah menemukan karya tulis Syekh Nahrawi. Karya tersebut ditemukan saat mereka memeriksa kardus-kardus berisi kitab peninggalan Kiai Faqih Cemoro. Kitab sepanjang delapan halaman itu merupakan catatan atau taqliq dari Risalah Iti’arat karya Syekh Ahmad bin Zaini Dahlan Al-Makki, seorang mufti Mekah yang menjadi guru Syekh Nahrawi.
Menjadi Mursyid Thariqah
Selain mengasas kitab, Syekh Ahmad Nahrowi juga menjadi Mursyid Thariqah Syadziliyah. Thariqah Syadziliyah muncul secara Besar-besaran di tanah Jawa baru di abad 19 ketika para santri Jawa yang sebelumnya berbondong-bondong belajar di Makkah dan Madinah pulang ke tanah air
Generasi awal adalah KH. Idris, pendiri Pesantren Jamsaren, Solo, yang mendapatkan ijazah kemursyidannya dari Syekh Muhammad Shalih, seorang mufti Madzhab Hanafi di Makkah. Sementara guru-guru mursyid Syadziliyyah Jawa yang lain belajar pada generasi sesudah Syekh Shalih, yakni Syekh Ahmad Nahrawi Mukhtarom yang seangkatan dengan Kyai Idris Jamsaren saat berguru kepada Syekh Muhammad Shalih.
Ulama-ulama Jawa yang berguru thariqah Syekh Nahrowi antara lain KH. Muhammad Dalhar Watucongol, Muntilan, dan Kiai Siroj, Payaman, Magelang; KH. Ahmad Ngadirejo, Klaten; Kiai Abdullah bin Abdul Muthalib, Kaliwungu, Kendal; dan Syekh Abdul Malik, Kedungparuk Mersi, Purwokerto, Banyumas. Dari Mbah Dalhar, ijazah kemursyidan itu turun kepada putranya KH. Ahmad Abdul Haqq (Mbah Mad Watucongol), Abuya Dimyathi (Cidahu, Pandeglang) dan Kiai Iskandar (Salatiga).
Perlu diketahui, Thariqah Syadziliyyah adalah thariqah yang didirikan oleh Syekh Abu al-Hasan Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar Asy-Syadzili Al Hasany, ulama kelahiran Ghamarah. Yakni sebuah kampung di wilayah al-Maghrib al-Aqsha yang sekarang dikenal dengan Maroko. Beliau lahir pada tahun 593 H (1197 M) dan wafat di Humaitsara, Mesir pada tahun 656 H (1258M)
Beliau adalah seorang sufi pengembara yang mengajarkan bersungguh-sungguh dalam berdzikir dan berfikir di setiap waktu, tempat dan keadaan untuk mencapai fana’ (ketiadaan diri di hadapan Allah). Beliau juga mengajarkan bersikap zuhud pada dunia dan iqbal (perasaan hadir di hadapan Allah). Beliau mewasiatkan agar para muridnya membaca kitab Ihya’ Ulumuddin dan kitab Qutul Qulub.
Manakib Syekh Ahmad Nahrowi al Banyumasi https://karyakarsa.com/AjiSetiawan1/syekh-ahmad-nahrowi-al-banyumasi
Referensi
- ^ "Jejak Peninggalan Syekh Nahrawi Banyumas". www.nu.or.id. 2017-10-02. Diakses tanggal 2021-05-18.
[2] Manakib Syekh Ahmad Nahrowi al Banyumasi, [[1]]