Khilafah
Artikel ini terlalu bergantung pada referensi dari sumber primer. |
Bagian dari seri |
Islam |
---|
Bagian dari seri Politik |
Bentuk dasar dari pemerintahan |
---|
Portal Politik |
Khilafah (bahasa Arab: الخلافة, Al-Khilāfah) Khilafah adalah sebuah gerakan keagamaan yang dipahami sebagai konsep tentang kenegaraan yang berdasarkan syariat Islam dan pemimpinnya disebut Khalifah. Konsep tersebut mengandaikan seluruh dunia Islam disatukan ke dalam satu sistem kekhalifahan atau pemerintahan yang tunggal. Islam. Istilah Khilafah sering disalahgunakan oleh kelompok mengatasnamakan Islam untuk mendistorsikan sejarah.[1]
Pada kenyataannya, dunia Islam dihiasi dari banyak sistem pemerintahan, seperti Kerajaan, kesultanan, ke-emiratan, Khanate dll.[2]
Dalam teks keagamaan, yakni dalam hadist dijelaskan perihal Khilafah sebagai berikut:
“Khilafah di tengah umatku selama 30 tahun. Kemudian setelah itu diganti kerajaan.” (HR. Ahmad 22568, Turmudzi 2390 dan sanadnya dihasankan Syuaib al-Arnauth).
Yang artinya sesuai hadist ini adalah, tidak adalagi Khilafah setelah 30 tahun kepemimpinan khulafaur Rasyidin, Khilafah diganti dengan kerajaan, hal ini dikarenakan, peralihan kepemimpinan dari Sayyidina Hassan ra. ke Muawiyah mengubah tatacara pemilihan pemimpin melalui keturunan, yakni sistem kerajaan.
Diyakini 30 tahun Khilafah ini adalah masa Khulafaur Rasyidin yakni pemerintahan Islam dibawah kepemimpinan sahabat Nabi yang utama yakni Sayyidina Abu Bakar ra, sayyidina Umar ra, sayyidina Utsman ra, dan Sayyidina Ali ra. Ulama lainnya berpendapat Sayyidina Hassan ra menggenapkan usia Khilafah menjadi tepat 30 tahun.
Merujuk ke sumber hadist tentang 5 fase kehidupan yg diriwayatkan oleh Imam Ahmad Khilafah akan kembali di masa Imam Mahdi, sebagai berikut:
“Akan datang kepada kalian masa kenabian, dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Kemudian, Allah akan menghapusnya, jika Ia berkehendak menghapusnya.
Setelah itu, akan datang masa kekhilafahan ‘ala Minhaaj al-Nubuwwah; dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Lalu, Allah menghapusnya jika Ia berkehendak menghapusnya.
Setelah itu, akan datang kepada kalian, masa raja menggigit (raja yang dzalim), dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Lalu, Allah menghapusnya, jika Ia berkehendak menghapusnya.
Setelah itu, akan datang masa raja diktator (pemaksa); dan atas kehendak Allah masa itu akan datang; lalu Allah akan menghapusnya jika berkehendak menghapusnya.
Kemudian, datanglah masa Khilafah ‘ala Minhaaj al-Nubuwwah (Khilafah yang berjalan di atas kenabian). Setelah itu, Beliau diam,” (HR. Imam Ahmad).
merujuk ke hadist ini, sepeninggal Khulafaur Rasyidin, bukanlah lagi Khilafah, melainkan kerajaan biasa.
Definisi
Khilafah berasal dari kata خلف (kha-la-fa), yang berarti menggantikan. Kata Khalifah diambil berdasarkan Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 30.
"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".” (QS. Al-Baqarah [2]: 30)
Ayat ini tidak merujuk pada Khalifah selayaknya raja, namun ayat ini adalah sebuah ayat informasi mengenai akan diciptakannya manusia yang memiliki sifat atau potensi untuk menumpahkan darah dan pembuat kerusakan. jadi Khalifah dalam ayat ini merujuk pada manusia secara umum, bukan khusus kepada seorang penguasa (raja).
Kekhalifahan non-politik
Beberapa penganut Tarekat Sufi dan Gerakan Ahmadiyah[3] menganggap pihak mereka sebagai kekhalifahan. Pemimpin merekapun juga seringkali dikenal sebagai "Khalifah".
Kekhalifahan Sufi
Dalam Sufisme, Tarekat atau pemerintahan dipegang oleh seorang imam ataupun yang memiliki ilmu lebih dalam agama (khilafah ruhaniyyah). Khalifah utama menunjukkan Khalifah di suatu daerah bawahan untuk memerintah suatu Dayah (bahasa Arab: زاوية, translit. zāwiyah).[4]
Kekhalifahan Sufi hanya bertujuan untuk menjaga silsilah dalam mengajarkan Sufisme dan juga Tarekat.
Khalifatul Masih (1908–sekarang)
Khalifatul Masih atau seringkali disebut sebagai Kekhalifahan Ahmadiyah adalah gerakan kebangkitan Islam yang memproklamirkan diri pada tahun 1889. Gerakan ini didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad dari Qadian, India, yang mengaku sebagai Mesias dan Mahdi yang dijanjikan, yang ditunggu-tunggu oleh umat Islam. Dia juga mengaku sebagai pengikut nabi Islam, Muhammad. Kelompok ini dikecam oleh kebanyakan Muslim.[5]
Setelah Hakeem Noor-ud-Din, selaku khalifah pertama, gelar khalifah Ahmadiyah berlanjut ke Mirza Mahmud Ahmad, yang memimpin komunitas tersebut selama lebih dari 50 tahun. Kemudian digantikan oleh Mirza Nasir Ahmad, dan selanjutnya Mirza Tahir Ahmad yang masing-masing adalah khalifah ketiga dan keempat. Khalifah saat ini adalah Mirza Masrur Ahmad, yang tinggal di London.[6][7]
Kritik
Sarjana Mesir Ali Abdur Raziq menerbitkan bukunya 1925 Islam dan Dasar-Dasar Pemerintahan. Argumen buku ini telah diringkas sebagai "Islam tidak menganjurkan bentuk pemerintahan tertentu".[8] Dia memfokuskan kritiknya baik pada mereka yang menggunakan hukum agama sebagai larangan politik kontemporer dan pada sejarah penguasa yang mengklaim legitimasi oleh kekhalifahan.[9] Raziq menulis bahwa penguasa masa lalu menyebarkan gagasan pembenaran agama untuk kekhalifahan "sehingga mereka dapat menggunakan agama sebagai perisai yang melindungi takhta mereka dari serangan pemberontak".[10]
Buku ini sempat menggoncangkan dunia Islam, karena isinya yang kontroversial. Menurut penulisnya, syariat Islam tidak memberi aturan tentang negara. Pandangan ini memang dianggap sangat radikal, sehingga berbagai reaksi terhadap buku tersebut terus menggema sejak dipublikasikannya tahun 1925 sampai sekarang.[11] Tidak sedikit orang yang memuji isinya karena dianggap mengandung pemikiran-pemikiran baru. Namun, banyak juga yang mencelanya karena isinya dianggap hanyalah kumpulan kekeliruan.
Pokok-pokok pikiran Ali Abdul Raziq tentang Khilafah dikritik habis-habisan oleh Dhiyauddin al-Rais. Menurut Dhiyauddin, wajibnya menegakkan Khilafah merupakan ijma’ (konsensus) para sahabat dan kaum muslimin, pengakuan syara’ terhadap prinsip ijma merupakan pengakuan terhadap aspirasi ummat secara menyeluruh, seperti yang dinyatakan oleh para mujtahid, sepanjang Khilafah itu telah ditetapkan dengan prinsip ijma’, maka tidak perlu untuk membicarakannya melalui prinsip lain, sebab prinsip ijma’ itu sendiri sudah tentu berdasarkan Alquran dan hadis serta selamanya berkaitan dengan keduanya. Dengan demikian, menurut Dhiyauddin bahwa Ali Abdul Raziq tidak memahami makna prinsip ijma’ yang telah ditetapkan para ulama Islam.[12]
Perbedaan pendapat antara Ali Abdul Raziq dan Dhiyauddin disebabkan perbedaan pandangan mereka tentang ijma’. Ali Abdul Raziq memahami bahwa umat Islam sama sekali tidak pernah mencapai konsensus dalam memilih khalifah yang mana pun dan juga pada masa kapan pun.[13] Namun Dhiyauddin memandang ijma’ yang dimaksud adalah kesepakatan para sahabat dan kaum muslimin terhadap wajibnya menegakkan kekhilafahan.[14] Dengan demikian, ijma’nya berhubungan dengan kekhilafahan, bukan atas siapa orang yang akan dipilih.
Catatan
Referensi
- ^ http://graduate.uinjkt.ac.id/?p=17529#:~:text=Khilafah%20adalah%20sebuah%20gerakan%20keagamaan,kekhalifahan%20atau%20pemerintahan%20yang%20tunggal.
- ^ https://mui.or.id/berita/32245/jihad-dan-khilafah-dalam-konteks-nkri-ini-pandangan-resmi-mui/
- ^ Taggart, Steve (10 Juli 2014). "Islamic Caliph condemns ISIS' act of 'Un-Islamic terror'". The London Economic.
- ^ Desplat, Patrick A.; Schulz, Dorothea E. (2014). Prayer in the City: The Making of Muslim Sacred Places and Urban Life. Verlag. hlm. 82. ISBN 978-3-8394-1945-8.
- ^ Esposito, John L. (2004). The Oxford Dictionary of Islam. Oxford University Press. hlm. 11. ISBN 978-0-19-975726-8. Diarsipkan dari versi asli tanggal 17 Januari 2023. Diakses tanggal 20 November 2019.
Rejected by the majority of Muslims as heretical since it believes in ongoing prophethood after the death of Muhammad. Currently based in Pakistan, but forbidden to practice, preach, or propagate their faith as Islam or their places of worship as mosques.
- ^ "Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih V". The Review of Religions. Islamic Publications. Mei 2008. ISSN 0034-6721. Diarsipkan dari versi asli tanggal 27 Juli 2011. Diakses tanggal 9 March 2011.
- ^ Linderman, Juliet (14 Juni 2017). "The Ahmadiyya Muslim Community celebrates its new cultural outpost in Kenner". NOLA.com. Advance Local Media LLC. Diarsipkan dari versi asli tanggal 17 June 2018. Diakses tanggal 12 Maret 2019.
- ^ Elizabeth Suzanne Kassab. Contemporary Arab Thought: Cultural Critique in Comparative Perspective. Columbia University Press, 2010. ISBN 9780231144896 p.40
- ^ Bertrand Badie, Dirk Berg-Schlosser, Leonardo Morlino (eds). International Encyclopedia of Political Science, Volume 1. SAGE, 2011. ISBN 9781412959636 p.1350.
- ^ Kemal H. Karpat. The Politicization of Islam: Reconstructing Identity, State, Faith, and Community in the Late Ottoman State. Studies in Middle Eastern History. Oxford University Press, 2001 ISBN 9780195136180 pp.242-243.
- ^ Dhiyauddin al-Rais, al-Islam wa al-Khilafah fi al-‘Ashr al-Hadits, diterjemahkan oleh Afif Muhammad dengan judul, Islam dan Khilafah, Kritik Terhadap Buku Khilafah dan Pemerintahan Dalam Islam, Ali Abdul Raziq, (Bandung: Pustaka, 1985), h. vii.
- ^ ibid, h. 172-173.
- ^ Ali Abdul Raziq, al-Islam wa Ushul al-Hukm, (Cet. III; Kairo: Syirkah Mahammiyah Mishriyah, 1344 H./1925 M), h. 35
- ^ Dhiyauddin al-Rais, op. cit., h. 174.
Pranala luar
- The Caliph – film dokumenter tiga bagian oleh Al Jazeera English
- The return of the caliphate, The Guardian.
- Islamists urge caliphate revival, BBC News.