Pakande-Kandea
Artikel ini sebatang kara, artinya tidak ada artikel lain yang memiliki pranala balik ke halaman ini. Bantulah menambah pranala ke artikel ini dari artikel yang berhubungan atau coba peralatan pencari pranala. Tag ini diberikan pada Oktober 2022. |
Pakande-Kandea adalah tradisi asli budaya Buton berupa pesta adat makan bersama yang bertujuan untuk menyambut tamu. Tradisi yang juga disebut dengan kande-kandea kabolosi ini merupakan sebuah permainan rakyat yang terikat adat serta memiliki norma tertentu yang hingga saat ini masih dijalankan dalam kehidupan masyarakat Buton. Selain acara makan bersama, tradisi ini juga melibatkan unsur hiburan dan ritual, serta terdapat interaksi sosial, politik, dan budaya di dalamnya.[1]
Tradisi Pakande-kandea juga dilaksanakan oleh etnis Cia-Cia, Muna (Pancana), dan Wolio, dengan penamaan dengan bahasa etnisnya masing-masing, misalnya etnis Muna (Pancana) menyebut kafoma-foma’a, etnis Cia-Cia menyebut maataa, dan etnis Wolio menyebut peka kande-kandea.[1]
Tradisi kande-kandea melambangkan kesatuan mistis dan sosial masyarakatnya, dengan cara menghadirkan arwah-arwah leluhur di tengah-tengah mereka. Pada tradisi ini juga terdapat nilai-nilai kebudayaan seperti: [2]
- Pobhinci-bhinciki kuli (Arti harafiah saling mencubit)
- Poma-masiaka (saling menyayangi)
- Popia-piara (saling menjaga)
- Pomae-maeaka (saling menanggung rasa malu),
- Poangka-angkataka (saling menghormati) dan
- Silaturahmi
Pada 20 Oktober 2019 di kota Baubau, tradisi Pakande-kande memecahkan rekor dengan "Sajian Pekande-kandea pertama mengelilingi Benteng" oleh Museum Rekor Dunia-Indonesia. Acara ini dilaksanakan sebagai bagian dari Festival Keraton dan Masyarakat Adat ASEAN (FKMA) ke VI-Polima.[3]
Sejarah
Tradisi Pakande-Kandea dalam bahasa Buton juga disebut sebagai Bongkaana Tao ini awalnya adalah sebagai syukuran, namun berkembang menjadi tradisi menyambut para prajurit dari medan perang dan hingga kini menjadi tradisi menyambut para tamu yang datang ke Buton.[4]
Upacara adat tradisional Pakande-kandea dimulai dari saat datangnya mia pata miana atau para pendatang, yang dibuktikan atas adanya acara yang disebut Katambi ade di Waborobo. Dalam pelaksanaan acara tersebut terdapat acara Pakande-kandea yang bertujuan untuk perkenalan silaturahmi antara Sara dan masyarakat Waborobo dengan para pendatang.[5] Dikarenakan terdapat perkembangan pemikiran dan semakin bertambah pula di tingkat kehidupan masyarakat kerajaan Buton, akhirnya diputuskan sebuah upacara adat tradisional Pakande-kandea pada setiap panen kebun sebagai syukuran kepada Tuhan yang maha Esa atas adanya rezeki yang melimpah pada masyarakat setiap tahun.[6]
Setelah perkembangan tersebut, maka kehidupan mengalami dinamika dari luar seperti gangguan atau perang dari luar kesultanan, maka raja dan masyarakat bermusyawarah untuk mengadakan upacara adat tradisioanal Pakande-kandea, untuk menerima para pahlawan kerajaan yang telah membawa kemenangan yang dipimpin oleh La Bolontio pada masa pemerintahan raja Mulae sebagai raja Buton kelima. Pakande-kandea yang dilaksanakan pada masa itu ada tiga acara intinya, yaitu :
- Pembacaan Wore, yang dilakukan oleh prajurit yang telah ditunjuk. Wore berasal dari bahasa cia-cia yang berarti bentuk kegembiraan masyarakat karena acara Pakande-kandea ini akan segera dimulai.
- Persembahan tari Maniu, oleh beberapa orang prajurit yang telah ditunjuk. Perlu dijelaskan bahwa pemain tari Maniu tersebut sambil menarikan tari perang, juga menggigit telinga orang yang dibunuh pada saat perang. Bila kepala tersebut keadaannya telah membusuk, maka kepala tersebut disimpan dalam Kambisa. Kemudian mereka mengigit telinga kambisa sambil memainkan tari perang. Apabila dalam perang tidak ada bagian tubuh yang dibawa pulang, maka mereka memainkan tari maniu sambil memegang harta rampasan berupa senjata atau benda lain.
- Pelaksanaan Sipo dan Tompaang yang didahului dengan lagu Kadandio.
Pelaksanaan Pakande-kandea saat itu, yang menjaga talang adalah laki-laki. Sedangkan isi talangnya sangat sederhana, danyang lebih dahulu diutamakan untuk duduk dan diberikan makanan adalah para prajurit yang kembali dari medan perang, baru setelah itu rakyat biasa.
Prosesi tersebut bertahan pada masa Buton menjadi sebuah kesultanan Butuni, dan tidak mengalami perubahan pada Sultan pertama, kedua, ketiga, namun pada masa pemerintahan sultan keempat yaitu Sultan Dayanu Ikhsanudin, maka sistem Pakande-kandea diubah. Hal ini terjadi berdasarkan musyawarah mufakat dari pemerintahan Kadie, Barata, dan Sara matana Sorumba yang memutuskan bahwa Pakande-kandea diubah menjadi media pertemuan jodoh dengan alasan selama masa Kesultanan Butuni mendalami Islam, timbul keraguan tentang para gadis bahwa jangan sampai mereka sulit memperoleh jodoh disebabkan terbatasnya kesempatan bertemu antara para wanita remaja dan remaja putera.[7]
Saat ini tradisi Pakande-kandea telah menjadi ikon dan festival budaya di Buton serta diselenggarakan setiap tahun yang biasanya sepuluh hari setelah Hari Raya Idulfitri.[8] Namun, juga bisa diadakan dalam rangkaian peringatan ulang tahun kabupaten atau hari jadi sebuah kota, seperti di 2022 yang dilaksanakan dalam peringatan hari ulang tahun Kabupaten Buton dan hari jadi kota Pasarwajo.[9]
Prosesi
Bagi masyarakat adat Baruta Analalaki (nama komunitas adat di desa Baruta, kecamatan Sangia Wambulu, kabupaten Buton Tengah) acara ini dilaksanakan secara sederhana, bersifat ritual dan dilaksanakan tertutup di rumah adatnya. Tradisi ini hanya dapat dihadiri oleh masyarakat adat dari sejumlah desa, yaitu desa Tolandona, Baruta Analalaki, Baruta, dan Tampuna. Konon mereka merupakan kelompok masyarakat bangsawan Buton yang bermukim di wilayah pesisir.[1]
Prosesi Kande-kandea akan meliputi lima rangkaian ritual yaitu ziarah Fompua dan Dampu, Powintahano lima, Kande-kandeano fompu’a, Kande-kandeano kabolosi dan Kadandio. Konsep ritualnya adalah masyarakat mempersembahkan makanan kepada arwah leluhur dan dimakan secara bersama-sama, seperti selamatan pada masyarakat Jawa.
Adapun aturan tradisi Kande-kandea yang berlaku sejak zaman Kerajaan Buton sampai kepada Sultan Butuni, dan berkelanjutan hingga masa kini adalah ketika acara akan dimulai akan didahului oleh penampilan dua oranglaki-laki untuk mengucapkan Wore,[5] sebagai satu pertanda bahwa acara Pekakande-Kandea siap dimulai, selanjutnya disusul dengan irama Kadandio dan Dounauna dengan pantun awal :
“ Maimo sapo lapana puuna gau “
“ Katupana Mia bari ‘ amatajamo “
Selanjutnya dipersilahkan bagi masyarakat untuk duduk menghadapi talam. kemudian talam dibuka oleh Pande sipo. Disitulah para pemuda akan menyampaikan isi hatinya melalui irama lagu berupa pantun dan sambil menunggu, akan dilaksanakan tompa oleh para remaja putra. Kemudian sebagai tanda terima kasih, sang pemuda akan memberikan hadiah kepada sang remaja putri yang memberikan sipo atau suapan kepadanya. Dalam rangkaian acara ini seringkali terjadi kontak mata atau perkenalan antara kedua insan remaja, berupa proses adat tanah leluhur yang berbentuk pinangan.
Setelah acara makan-makan selesai biasanya ada acara hiburan yang ditampilkan berupa tarian Buton dan nyanyian adat. Tarian yang biasa ditampilkan adalah tarian Mangaru yang menceritakan kisah kesultanan Buton dan para pahlawan yang melakukan perlawanan terhadap penjajah. Begitu juga dengan nyanyian adat tradisional yang menceritakan tentang keadaan kota Baubau.
Kelengkapan
Dalam memulai acara Pakande-kandea, ada beberapa hal yang harus disiapkan untuk mengurangi hal buruk seperti pertentangan antar keluarga, yang meliputi:
Puna Guna
Puna Guna adalah orang tua atau ruan rumah Pakande-kandea yang mempunyai atau memiliki fasilitas secara umum misalnya memiliki anak gadis minimal satu orang Kabua-bua yang belum mempunyai tunangan secara resmi.
Antona Tala
Antona tala adalah semua isi konsumsi yang dipersiapkan, termasuk tala koae, panamba, palako, serta semua makanan dan minuman saat berlangsungnya acara Pakande-kandea yang menjadi tanggung jawab dari Puna Gau.
Pande sipo
Pande sipo adalah anak gadis yang duduk menjaga talam yang memenuhi beberapa persyaratan, antara lain sebagai berikut:
- Berstatus kabua-bua atau gadis yang belum nikah
- Belum mempunyai ikatan tunangan yang sudah resmi
- Memiliki kepribadian yang prima
- Tidak malu-malu melayani pemuda yang akan duduk tompa, dan berlaku sama bagi semua orang yang akan tompa.
- Berlaku sopan ketika memberikan sipo atau suapan kepada siapa saja yang tompa.
Pande Wore
Pande wore adalah orang yang melakukan wore pada saat pelaksanaan Pekande-kandea yang berjumlah dua orang pemuda atau orang tua. Mereka berpakaian adat "pakaian baju-baju‟dan masing-masing memegang botol air minum. Keduanya akan menyanyikan lagu wore yang berupa pantun berbalasan dalam cara bergantian. Setelah selesai menyanyikan lagu wore, keduanya akan berangkulan dan botol minuman yang dipegang masing-masing ditempelkan kemulut temannya untuk diminum, demikian pula sebaliknya sampai selesai.
Pande Tompa
Pande tompa adalah orang yang duduk dan menghadapi talam dengan maksud untuk disipo oleh gadis yang duduk menghadapi talam. Sebelum melakukan tompa, pemuda tersebut harus menyanyikan lagu "dhonauna‟ lebih dahulu dan apabila gadis yang dimaksud memakai gelang dua bentuk di setiap lengannya, maka pande tompa harus menyanyikan lagu "kadandio‟.
Pande Lagu
Pande lagu adalah orang yang harus menyanyikan lagu kadandio dan dhonauna, di mana hampir setiap kelompok menyediakan pande lagu.
Pande jagani
Pande jagani adalah pemuda yang telah dipersiapkan oleh setiap kelompok peserta Pakande-kandea sebanyak dua sampai tiga orang yang bertugas untuk mengawasi gadis yang duduk menghadap talam di kelompoknya, jangan sampai ada pande tompa bersikap tidak sopan.
Pande kilikilimata
Pande kilikilimata adalah seorang wanita tua yang menjadi pembantu rumah tangga peserta pakande-kandea dan duduk di dekat gadis penjaga talam. Pande kilikilimata ini bertugas untuk membantu gadis menghadapi talam, menambah dan mengisi talam yang telah berkurang isinya, atau membantu untuk mengambil yang perlu diambil oleh gadis pande posipo. Tugasnya yang kedua adalah untuk melihat respon si gadis tentang pemuda yang duduk tompo danmakna pantun yang dinyanyikannya.
Talam
Dalam tradisi Pakande-kandea, disajikan beraneka kuliner tradisional yang diletakkan di atas sebuah Tala koae atau talam besar yang terbuat dari kuningan atau perak dan di tutup dengan Panamba atau tudung saji bosara. Kuliner yang di sajikan berupa makanan khas seperti lapa-lapa, waje, dodolo, baruasa, onde-onde, bolu, sanggara kaowi - owi, cucuru dan setiap talam dijaga oleh seorang gadis berpakaian adat kamba wolio. Puncak dari acara ini adalah ketika semua tamu yang diundang akan mengawali acara makan bersama dengan cara disuapi makanan oleh remaja-remaja putri yang berpakaian adat dan duduk bersimpuh di sebelah talam.[4]
Namun, terdapat perbedaan dalam hal isi talam yang dibawakan, apakah acara tersebut merupakan pakande-kandea biasa atau dalam rangkaian acara meninggalnya seseorang. Isi alang pada tradisi Pakande-kandea yang dilakukan sesudah lebaran Idul-Fitri berjumlah genap dan paling sedikit 8 macam makanan. Sedangkan Pakande-kandea yang biasa dilakukan ketika ada masyarakat yang meninggal berjumlah ganjil dan paling sedikit 7 macam makanan.
Jumlah dan makanan tradisional ini merupakan simbol yang melambangkan organ tubuh manusia, diantaranya:
- Baruasa yang berarti pipi,
- Pisang yang artinya lidah,
- Ubi yang artinya jari-jari tangan,
- Onde-onde yang artinya mata,
- Kinande yang artinya nasi,
- Surabi yang artinya lutut dan
- Waje yang artinya isi perut.
Melalui makanan–makanan terdapat pesan tersirat bahwa kehidupan halnya sama seperti makanan yang akan habis di makan, begitupula dengan hidup manusia yang akan habis dimakan waktu atau akan menemui ajalnya di dunia ini.[5]
Lihat juga
Referensi
- ^ a b c Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (2019). "Kande-kandea". Kemdikbud.go. Diakses tanggal 2022-08-20.
- ^ Hasan, Muh; Mokalu, Benedicts; Lumintang, Juliana (2022). "Peran Tokoh Adat Dalam Melestarikan Nilai Budaya Pekande-Kandea Di KelurahanTolandona Kecamatan Sangia Wambulu Kabupaten Buton Tengah". Jurnal Ilmiah Society. 2 (1).
- ^ "Pekande-Kandea FKMA Catat Rekor Dunia-MURI. Baubau Juga Terima Swastisaba Wiwerda di Jakarta". Diakses tanggal 2022-08-20.
- ^ a b "Tradisi Pesta Adat Pakande-Kandea". Suarakendari.com. 2022-04-12. Diakses tanggal 2022-08-20.
- ^ a b c Ramadhana, Sri (2014). PESAN-PESAN DAKWAH DALAM TRADISI PAKANDE-KANDEA DI KELURAHAN LIPU KECAMATAN BETOAMBARI KOTA BAU-BAU (PDF). Makassar: FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR.
- ^ Fahimuddin, Mu'min (2011). Menafsir ulang Sejarah dan Budaya Buton. Baubau: Respect.
- ^ Anwar (2007). Sejarah dan Kebudayaan Buton. Baubau: Trijaya.
- ^ "Kande-kandea, Festival Budaya Buton yang Jadi Ajang Mencari Jodoh". kumparan. Diakses tanggal 2022-08-20.
- ^ Arrozaq, Mizwat (2022-07-04). "Ribuan Warga Padati Acara Pekande-kandea, Rangkaian Hari Puncak HUT Kabupaten Buton". ButonSatu. Diakses tanggal 2022-08-20.