Akta autentik

Revisi sejak 9 Mei 2023 01.56 oleh Stef ardian arika jaya (bicara | kontrib) (menambahakan pranala luar untuk memperlengkap referensi yang ada, tentunya pranala yang dimasukkan masih sangat relevan dengan artikel yang dibahas)

Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan otentik atau dengan tulisan di bawah tangan.(vide pasal 1867 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.(“KUHPerdata”)).

Akta otentik adalah akta yang dibuat dan dipersiapkan oleh notaris atau pejabat resmi lainnya (misalnya Camat selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah) untuk kepentingan pihak-pihak dalam kontrak.[1][2]

Dalam peraturan perundang-undangan disebutkan beberapa jenis kontrak yang harus dilakukan melalui akta otentik dan yang cukup dilakukan melalui akta bawah tangan.

Surat sebagai alat pembuktian tertulis dapat dibedakan dalam akta dan surat bukan akta. Akta dapat dibedakan dalam akta otentik dan akta di bawah tangan. Sesuatu surat untuk dapat dikatakan sebagai akta harus ditandatangani, harus dibuat dengan sengaja dan harus untuk dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat itu dibuat. Sehingga surat yang tidak ditandatangani dapat dikategorikan sebagai surat bukan akta (vide Pasal 1869 KUHPerdata). Contoh surat bukan akta adalah tiket, karcis, dan lain sebagainya.[3]

Perbedaan pokok antara akta otentik dengan akta di bawah tangan adalah cara pembuatan atau terjadinya akta tersebut. Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu (seperti Notaris, Hakim, Panitera, Juru Sita, Pegawai Pencatat Sipil),di tempat akta itu dibuat.(vide Pasal 1868 KUHPerdata, Pasal 165 Herziene Indonesisch Reglemen (“HIR”), dan Pasal 285 Rechtsreglement Buitengewesten (“RBg”)). Akta di bawah tangan cara pembuatan atau terjadinya tidak dilakukan oleh dan atau di hadapan pejabat pegawai umum, tetapi cukup oleh pihak yang berkepentingan saja (vide Pasal 1874 KUHPerdata dan Pasal 286 RBg). Contoh dari akta otentik adalah akta notaris, vonis, surat berita acara sidang, proses perbal penyitaan, surat perkawinan, kelahiran, kematian, dan sebagainya, sedangkan akta di bawah tangan contohnya adalah surat perjanjian sewa menyewa rumah, surat perjanjian jual beli, dan sebagainya.

Akta mempunyai fungsi formil (formalitas causa) dan fungsi sebagai alat bukti (probationis causa) Akta sebagai fungsi formil artinya bahwa suatu perbuatan hukum akan menjadi lebih lengkap apabila dibuat suatu akta. Sebagai contoh perbuatan hukum yang harus dituangkan dalam bentuk akta sebagai syarat formil adalah perbuatan hukum disebutkan dalam Pasal 1767 KUHPerdata mengenai perjanjian hutang piutang. Minimal terhadap perbuatan hukum yang disebutkan dalam Pasal 1767 KUHPerdata, disyaratkan adanya akta bawah tangan. Fungsi akta lainnya yang juga merupakan fungsi akta yang paling penting adalah akta sebagai alat pembuktian. Dibuatnya akta oleh para pihak yang terikat dalam suatu perjanjian ditujukan untuk pembuktian di kemudian hari.

Akta otentik merupakan alat pembuktian yang sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak darinya tentang apa yang dimuat dalam akta tersebut (vide Pasal 165 HIR, Pasal 285 RBg, dan Pasal 1870 KUHPerdata). Akta otentik merupakan bukti yang mengikat yang berarti kebenaran dari hal-hal yang tertulis dalam akta tersebut harus diakui oleh hakim, yaitu akta tersebut dianggap sebagai benar selama kebenarannya itu tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya. Sebaliknya, akta di bawah tangan dapat menjadi alat pembuktian yang sempurna terhadap orang yang menandatangani serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapatkan hak darinya hanya apabila tanda tangan dalam akta di bawah tangan tersebut diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai. (vide Pasal 1857 KUHPerdata)

Referensi