Arya Panangsang
Arya Panangsang alias Jipang kang (keturunan putri vietnam) atau Raden Jipang ia di kenal sebagai Raja Demak V. Merupakan murid kesayangan Sunan Kudus. Memerintah pada pertengahan abad ke-16 M.
Arya Penangsang | |
---|---|
Arya Jipang | |
Sultan Demak ke-5 | |
Berkuasa | 1549–1554 |
Pendahulu | Sunan Prawoto |
Penerus | Sultan Hadiwijaya (Pendiri Kesultanan Pajang) |
Kelahiran | Arya Penangsang 1505 Jipang, Cepu, Blora, Kesultanan Demak |
Kematian | 1554 Kesultanan Demak |
Ayah | Pangeran Surowiyoto bin Raden Fatah |
Ibu | Putri Ayu Retno Panggung (Putri Adipati Jipang) |
Agama | Islam |
Silsilah
Menurut Serat dan babad, Arya Panangsang lahir di Lasem pada tahun 1505, merupakan putra pertama Pangeran Surowiyoto atau Raden Kikin atau sering disebut juga sebagai Pangeran Sekar Sedo Lepen putra dari Raden Patah raja Demak Bintoro. Ibu Raden Kikin adalah cucu dari Sunan Ampel bernama Putri Solekha anak dari pasangan P. Wironegoro Raja adipati Lasem dengan Nyi Ageng Malokha putri dari Raden Rahmat Sunan Ampel. Ibu Arya Panangsang bernama Putri Ayu Retno Panggung anak dari Adipati Jipang Ratu Ayu Retno Kumolo, anak dari Raja Majapahit Bhre Kertabhumi, isteri dari Ki Hajar Windusana, sehingga Arya Panangsang juga mewarisi kedudukan neneknya sebagai Adipati Jipang.
Sejarah
Pada tahun 1521 suami dari anak pertama Raden Patah yang bernama Pati Unus (orang Portugis menyebutnya Pate Unus, dikenal juga sebagai Pangeran Sabrang Lor) anak dari Adipati Jepara Mohammad Yunus, melakukan penyerangan ke Portugis di Malaka. Pati Unus gugur dalam perang. Dikisahkan bahwa Trenggana adik dari Pate Unus berebut takhta dengan P. Surowiyoto atau R. Kikin anak dari R. Fatah.
Pangeran Surowiyoto atau Raden Kikin memiliki dua orang putra yang bernama Raden Arya Panangsang dan R. Arya Mataram, sedangkan Trenggana memiliki putra pertama bernama Raden Mukmin atau yang disebut juga sebagai Sunan Prawoto. Mukmin dikisahkan membunuh Raden Kikin sepulang sholat Jumat di tepi sebuah sungai di Lasem dengan menggunakan keris Kyai Setan Kober yang membuat Trenggana menjadi Sultan Demak ketiga. Sejak saat itu, Raden Kikin terkenal dengan sebutan Pangeran Sekar Seda ing Lepen, artinya "Bunga yang gugur di sungai".
Sepeninggal Raden Kikin, Arya Panangsang menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Adipati Jipang. Saat itu usianya masih 16 tahun, sehingga pemerintahannya dibantu Patih Mat Ahun (Mentaun). Menurut Kitab Kapunggawan Jipang Jumenengan Arya Panangsang baru di laksanakan empat tahun kemudian yakni pada tahun 1525, saat itu Arya Panangsang berumur 20 tahun.
Trenggana naik takhta Kerajaan Demak tahun 1521. Pemerintahannya berakhir saat ia gugur di Panarukan, Situbondo tahun 1546 saat mencoba kembali menyerang Portugis meneruskan perjuangan Pati Unus. Raden Mukmin menggantikan sebagai raja keempat bergelar Sunan Prawoto. Ibukota Kerajaan Demak ia pindahkan ke Prawoto. Demak pada periode ini dikenal dengan sebutan Demak Prawoto (1546 - 1549).
Pada tahun 1549 Arya Panangsang dikisahkan oleh Babad Tanah Jawi membalas kematian Raden Kikin dengan mengirim utusan bernama Rangkud untuk membunuh Sunan Prawoto dengan Keris Kyai Setan Kober. Rangkud sendiri tewas saling bunuh dengan korbannya itu. Setelah kematian Sunan Prawoto, Arya Panangsang menjadi Penguasa Demak sebagai Sultan Demak V, ibukota Kerajaan Demak ia pindahkan ke Jipang. Periode ini dikenal dengan sebutan Demak Jipang (1549 - 1554).
Pada tahun 1554 Arya Panangsang berhasil dibunuh oleh Pasukan utusan Adipati Pajang. Dengan Gugur nya Arya Panangsang maka roboh pulalah kekuasaan Kesultanan Demak lalu berdirilah Kerajaan Pajang.
Dongeng
Dikisahkan oleh Babad Tanah Jawi dalam perjalanan pulang ke Pajang, rombongan Adipati Pajang Jaka Tingkir singgah ke Gunung Danaraja tempat Ratu Kalinyamat menyendiri setelah kematian Sunan Prawoto dan suaminya Hadlirin.[1] Ratu Kalinyamat mendesak Jaka Tingkir agar segera membunuh Arya Panangsang, dirinya yang mengaku sebagai pewaris takhta Sunan Prawoto, berjanji akan menyerahkan Demak dan Jepara jika Jaka Tingkir menang.[2]
Jaka Tingkir segan memerangi Arya Panangsang secara langsung karena merasa dirinya hanya sebagai mantu keluarga Demak. Maka diumumkanlah sayembara, barangsiapa dapat membunuh Arya Panangsang tersebut, akan memperoleh hadiah berupa tanah Pati dan Alas Mentaok (yang akan menjadi wilayah Mataram). Orangtua angkat Jaka Tingkir, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan sahabatnya Ki Panjawi dibimbing oleh Ki Juru Martani untuk mendaftar sayembara itu. Putra kandung Ki Ageng Pemanahan yang bernama Sutawijaya juga ikut mendaftar dalam sayembara dengan bekal Tombak Kyai Plered dari Jaka Tingkir.
Diceritakan dalam Babad Tanah Jawi, Ketika pasukan Pajang datang menyerang Kotaraja Jipang, saat itu P. Arya Panangsang sedang akan berbuka setelah keberhasilannya berpuasa 40 hari. Surat tantangan atas nama Hadiwijaya membuatnya tidak mampu menahan emosi. Apalagi surat tantangan itu dibawa oleh pekatik-nya (pemelihara kuda) yang sebelumnya sudah dipotong telinganya oleh Pemanahan dan Penjawi. Meskipun sudah disabarkan adik Arya Panangsang (Arya Mataram), Panangsang tetap berangkat ke medan perang menaiki kuda jantan yang bernama Gagak Rimang.
Kuda Gagak Rimang dengan penuh nafsu mengejar Sutawijaya yang mengendarai kuda betina, melompati bengawan. Perang antara Pasukan Pajang dan Jipang terjadi di dekat Bengawan Sore. Dalam perang tersebut perut Arya Panangsang robek terkena tombak Kyai Plered milik Sutawijaya. Meskipun demikian kesaktian yang dimiliki oleh Arya Panangsang membuatnya tetap bertahan. Ususnya yang terburai dililitkannya pada gagang keris yang terselip di pinggang. Arya Panangsang berhasil meringkus Sutawijaya. Saat mencabut keris Setan Kober untuk membunuh Sutawijaya, usus Arya Panangsang malah terpotong sehingga menyebabkan kematiannya. Dalam pertempuran itu Ki Matahun, patih Jipang tewas pula, sedangkan Arya Mataram dan isterinya serta beberapa kerabat berhasil meloloskan diri ke Palembang.
Referensi
- ^ de Graaf 2019, hlm. 175.
- ^ de Graaf 2019, hlm. 217.
3 ^ Kitab Kapunggawan Jipang 4 ^ PRA. Barik Barliyan Surowiyoto, SH Yayasan Keratong Djipang
Pustaka
- Olthof, W. L. (2007). Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. Yogyakarta: Narasi. ISBN 9789791681629.
- de Graff, H.J.; Pigeaud, TH. G. TH. (2019). Kerajaan Islam Pertama di Jawa: Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI, cetakan V edisi revisi. Yogyakarta: MataBangsa. ISBN 9789799471239. [pranala nonaktif permanen]
- hayati, Chusnul (2000). Peranan Ratu Kalinyamat di jepara pada Abad XVI (PDF). Jakarta: Proyek Peningkatan Kesadaran Sejarah Nasional Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan Nasional.
- Ricklefs, M.C. (2008). A History of Modern Indonesia since c. 1200. New York: Palgrave MacMillan. ISBN 9780230546868.
- Moedjianto, G. (1987). Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius. ISBN 9780230546868.
- Manuskrip Jipang
Kitab Kapunggawan
- Pra. Barik Barliyan, SH: Yayasan Keraton Djipang.
Pemegang Hak Cipta Kompilasi Data Sejarah Keraton Djipang yang dikeluarkan oleh Dirjen HAKI Kementerian Hukum dan HAM RI.