Lambang Sumatera Barat
Artikel ini sebagian besar atau seluruhnya berasal dari satu sumber. |
Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. |
Lambang Sumatra Barat berbentuk perisai segi, menampilkan bangunan rumah gadang dengan siluet atap gonjong dan atap masjid tradisional Minangkabau bertingkat tiga, bintang, riak gelombang air laut, dan motto daerah tuah sakato.[1]
Lambang Sumatra Barat | |
---|---|
Detail | |
Digunakan sejak | 1971 |
Mustaka | Merah dengan tulisan sumatera barat Emas. |
Perisai | Hijau, Rumah Gadang warna alam, di kemuncak bintang segi lima Emas, dan di bawah gelombang air 3 lapis Putih. |
Motto | tuah sakato Merah di atas pita Kuning. |
Sumatra Barat adalah rumah dan kampung halaman bagi masyarakat Minangkabau yang membentuk mayoritas penduduk provinsi. Atap masjid dan bangunan rumah gadang melambangkan masyarakat Sumatra Barat yang teguh memegang agama dan adat. Pada puncak atap masjid, terdapat bintang yang mengambil simbol Ketuhanan Yang Maha Esa pada Pancasila. Rumah gadang sebagai tempat musyawarah bersama yang menjadi ciri khas budaya setempat. Bintang segi lima, menyimbolkan sila pertama, ketuhanan yang maha esa. Sedangkan riak gelombang laut melambangkan dinamika masyarakat Minangkabau selaku suku asli Sumatra Barat. Tulisan "Tuah Sakato" bermakna Kesepakatan untuk melaksanakan hasil musyawarah merupakan hal yang bertuah bagi masyarakat.
Lambang Sumatra Barat diperkenalkan pada 1971, melalui hasil rancangan doktor dan guru besar seni rupa Ibenzani Usman. Gagasan menampilkan atap gonjong dipengaruhi oleh berdirinya gedung Kantor Gubernur Sumatra Barat. Penggunaan identitas Minangkabau pada lambang ini dianggap sebagai bentuk pertahanan jati diri dan perlawanan terhadap tekanan pemerintah pusat setelah kota-kota di Sumatra Barat dibombardir sewaktu gejolak Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
Referensi
- ^ Arief Mudzakir, BA & Sulistiono, S.S, ed. (2003) [2003]. "35". Rangkuman Pengetahuan Umum Lengkap (RPUL) (dalam bahasa Bahasa Indonesia) (edisi ke-1). Semarang: Aneka Ilmu. hlm. viii + 296.