Vagueness

Revisi sejak 22 Januari 2023 16.29 oleh Arya-Bot (bicara | kontrib) (clean up, added orphan tag)


Vagueness atau kekaburan makna dalam linguistik dan filsafat , berkaitan dengan predikat kabur/ samar (vague) yang terjadi pada saat menetapkan batas-batas suatu definisi. Misalnya, kata sifat "tinggi" definisinya kabur ketika diterapkan pada seseorang yang memiliki postur "tinggi sedang". Sebaliknya, bilangan "prima" tidak kabur karena setiap bilangan pasti prima atau bukan. Kekaburan makna biasanya didiagnosis dengan kemampuan predikat untuk memunculkan kondisi paradoks Sorites . Kekaburan makna berbeda dengan ambiguitas, yaitu ekspresi yang memiliki banyak arti. Misalnya "bank" dalam bahasa Inggris yang dapat berarti tepi sungai atau lembaga keuangan. Akan tetapi tidak ada kasus batas di antara kedua interpretasi tersebut.

Kekaburan makna adalah topik utama penelitian dalam logika filsafat yang telah menjadi tantangan potensial bagi logika klasik. Kajian semantik formal dilakukan untuk menyajikan semantik tersusun bagi ekspresi kabur dalam bahasa. Kajian dalam filsafat bahasa telah membahas implikasi kekaburan dalam teori makna, sementara ahli metafisika mempertimbangkan bahwa realitas itu sendiri bersifat kabur.

Arti penting

Konsep kekaburan makna memiliki arti penting dalam filsafat. Misalnya ketika seseorang ingin mengetahui definisi "benar" dalam pengertian moral. Ia menginginkan sebuah definisi yang mencakup tindakan yang jelas benar dan mengecualikan tindakan yang jelas salah; tetapi bagaimana dengan kasus batas? Beberapa filsuf mengatakan bahwa untuk kasus-kasus batas seseorang harus mencoba membuat definisi sementara meskipun tidak jelas, khusus untuk kasus-kasus terkait. Yang lain mengatakan bahwa andai memungkinkan ada seseorang yang mampu membuat definisi secara lebih tepat dibanding bahasa atau konsep biasa; mereka merekomendasikan orang tersebut untuk membuat definisi tepat tingkat lanjut.[1]

Dalam hukum

Kekaburan makna juga muncul dalam masalah hukum. Pada beberapa kasus, hakim harus melakukan arbitrase untuk membuat pembatasan hal-hal yang memenuhi atau tidak memenuhi ketika menghadapi definisi yang kabur. Contohnya antara lain; kecacatan (berapa banyak kehilangan penglihatan yang diperlukan sebelum seseorang menjadi buta secara hukum?), kehidupan manusia (pada titik mana dari pembuahan hingga lahir seseorang dianggap sebagai manusia menurut undang-undang), dewasa (dalam hal melakukan tindakan legal untuk mengemudi, mengkonsumsi minuman beralkohol, mengikuti pemilihan umum, seks konsensual, dll.), ras (bagaimana mengklasifikasikan seseorang yang memiliki ras campuran), dll. Bahkan konsep yang tampaknya tidak ambigu seperti gender dapat menjadi subyek kekaburan, tidak hanya dari transisi gender transseksual tetapi juga dari kondisi genetik tertentu dengan sifat biologis campuran laki-laki dan perempuan (lihat interseks ).

Dalam sains

Banyak konsep ilmiah yang samar, misalnya spesies dalam biologi tidak dapat didefinisikan secara tepat dalam kasus spesies cincin. Meskipun demikian, konsep spesies dapat diterapkan dengan jelas dalam sebagian besar kasus. Seperti yang diilustrasikan dalam contoh berikut, untuk mengatakan bahwa suatu definisi "samar" tidak mesti memerlukan penilaian kritis. Perhatikan hewan-hewan di Alaska yang merupakan hasil persilangan anjing husky dan serigala: apakah mereka termasuk anjing? Tidak jelas, mereka merupakan kasus batas pada spesies anjing. Hal ini berarti konsep anjing secara umum tidak cukup jelas untuk diambil sebagai pedoman pengambilan kesimpulan dalam kasus tadi.

Pendekatan

Pertanyaan filosofis tentang apa perlakuan teoretis terbaik untuk kekaburan makna terkait dengan masalah paradoks tumpukan atau paradoks Sorites —telah menjadi bahan perdebatan filosofis.

Logika fuzzy

Artikel utama: Fuzzy logic

 
Dalam konsep fuzzy logic, misalnya predikat dingin, hangat, dan panas berlaku secara bertahap (sumbu vertikal, 0 dan 1 yang berarti "tidak" dan "ya") menuju suhu tertentu (sumbu horizontal).

Pendekatan teoretis logika fuzzy atau logika samar, dikembangkan matematikawan Amerika, Lotfi Zadeh.Teori ini mengusulkan transisi bertahap antara "kesalahan sempurna", misalnya, pernyataan " Bill Clinton botak", hingga "kebenaran sempurna", untuk, katakanlah, " Patrick Stewart botak". Dalam logika biasa, hanya ada dua nilai kebenaran: "benar" dan "salah". Perspektif samar berbeda dengan memperkenalkan konsep jumlah nilai kebenaran tak terbatas di sepanjang spektrum antara kebenaran sempurna hingga kepalsuan sempurna. Jika kebenaran sempurna diwakili oleh "1", dan kepalsuan sempurna dengan "0", kasus batas dianggap memiliki "nilai kebenaran" antara 0 dan 1 (misalnya, 0,6). Pendukung pendekatan logika samar termasuk KF Machina (1976)[2]  dan Dorothy Edgington (1997).[3]

Supervaluasionisme

Artikel utama: Supervaluationism

Pendekatan teoretis lain dikenal sebagai " supervaluasionisme ". Pendekatan ini dipertahankan oleh Kit Fine dan Rosanna Keefe. Fine berpendapat bahwa penetapan batas dari suatu predikat kabur bukanlah benar atau salah, melainkan merupakan kondisi yang berada dalam "kesenjangan nilai kebenaran ". Dia membela sistem semantik kabur yang menarik dan rumit, berdasarkan gagasan bahwa predikat kabur mungkin dapat "dibuat tepat" dengan banyak cara alternatif. Sistem ini memiliki konsekuensi bahwa kasus batas istilah yang kabur akan menghasilkan pernyataan yang bukan benar atau salah.[4]

Dalam semantik supervaluasionis, seseorang dapat mendefinisikan predikat "supertrue" sebagai arti "benar pada semua presisifikasi (proses membuat pernyataan menjadi lebih tepat)".[5] Predikat ini tidak akan mengubah pernyataan semantik atomis (misal: "Frank botak", di mana Frank adalah kasus batas kebotakan), tetapi memiliki konsekuensi bagi pernyataan-pernyataan yang kompleks secara logis. Secara khusus, tautologi logika kalimat, seperti "Frank botak atau Frank tidak botak", akan menjadi supertrue, karena pada setiap kondisi kebotakan, "Frank botak" atau "Frank tidak botak" akan menjadi benar. Karena masalah penetapan batas makna tampaknya mengancam prinsip-prinsip seperti ini (tidak termasuk tengah), fakta bahwa supervaluasionisme dapat "menyelamatkan" mereka dipandang sebagai sebuah kebajikan.

Subvaluasionisme

Artikel utama: Dialetheism

Subvaluasionisme adalah pasangan logis dari supervaluasionisme, yang dikemukakan oleh Dominic Hyde (2008) dan Pablo Cobreros (2011). Jika supervaluasionis mencirikan kebenaran sebagai 'supertruth', subvaluasionis mencirikan kebenaran sebagai 'subtruth',  atau "benar pada setidaknya beberapa presifikasi".[6]

Teori subvaluasionisme mengusulkan bahwa penetapan batas dari istilah yang kabur adalah benar dan salah. Dengan demikian ia memiliki "kelimpahan nilai-kebenaran". Menurut teori ini, pernyataan kabur adalah benar jika benar pada setidaknya satu presifikasi dan salah jika salah pada setidaknya satu presifikasi. Jika sebuah pernyataan kabur menjadi benar di bawah satu presifikasi dan salah di bawah yang lain, berarti pernyataan itu benar sekaligus salah. Subvaluasionisme pada akhirnya nyaris persis dengan klaim bahwa kekaburan adalah fenomena kontradiktif.[7] Dari kasus batas "pria botak" , pernyataan akan benar dan salah untuk mengatakan bahwa dia botak, dan juga benar dan salah untuk mengatakan bahwa dia tidak botak.

Pandangan ahli epistemis

Artikel utama: Epistemicism

Pendekatan keempat, dikenal sebagai " pandangan ahli epistemis ", dikemukakan Timothy Williamson (1994),[8]  R. A. Sorensen (1988)[9]  dan (2001),[10] dan Nicholas Rescher (2009).[11] Mereka berpendapat bahwa predikat kabur memang menghendaki adanya batas-batas yang tepat, tetapi orang tidak dapat mengetahui di mana letaknya. Kebingungan seseorang tentang apakah beberapa kata kabur berlaku atau tidak dalam sebuah kasus terjadi karena ketidaktahuan dirinya. Misalnya, dalam pandangan epistemis, ada fakta masalah, untuk setiap orang, bahwa orang-orang tidak tahu apakah dia itu termasuk tua ataukah tidak.

Sebagai properti objek

Satu kemungkinan lain yaitu bahwa kata-kata dan konsep seseorang sangat tepat, tetapi objeknya sendiri adalah kabur. Pertimbangkan contoh awan Peter Unger (dalam makalahnya yang terkenal tahun 1980, "The Problem of the Many"): letak batas awan itu tidak jelas. Untuk setiap butir uap air, orang bisa berdebat apakah itu bagian dari awan atau bukan; dan untuk seberapa banyak uap air disebut awan, orang tidak tahu bagaimana cara menjawabnya. Jadi istilah 'awan' bagi seseorang adalah tepat meski objeknya adalah kabur. Strategi ini tidak diterima dengan baik, sebagian karena makalah singkat Gareth Evans "Can There Be Vague Objects?" (1978).[12]  Argumen Evans tampaknya menunjukkan bahwa identitas kabur itu tidak ada (misal "Princeton = wilayah Princeton "), tetapi seperti yang dijelaskan oleh Lewis (1988), Evans menerima begitu saja identitas-identitas yang sebenarnya kabur, dan bahwa bukti apa pun yang bertentangan tidak ia anggap benar. Karena bukti yang dikemukakan Evans mengandalkan asumsi bahwa istilah bisa secara tepat menunjukkan objek yang kabur; implikasinya adalah bahwa ketika asumsinya salah, maka pandangan terhadap objek yang kabur itu pun menjadi keliru.

Masih terkait, beberapa filsuf yang ingin mempertahankan konsep kekaburan ontologis sebagai fenomena metafisik, menganjurkan aturan-aturan deduksi alternatif melibatkan hukum Leibniz atau aturan-aturan lain untuk validitas. Mereka antara lain yaitu, Peter van Inwagen (1990),[13]  Trenton Merricks dan Terence Parsons (2000).[14]

Prinsip hukum

Dalam sistem hukum biasa, kekaburan berarti kemungkinan pembelaan legal melawan hukum dan peraturan lainnya. Asasnya adalah bahwa kekuasaan yang didelegasikan tidak dapat digunakan lebih luas dari yang dimaksudkan oleh delegator. Oleh karena itu, suatu peraturan mungkin cukup jelas untuk mengatur bidang-bidang di luar apa yang diperbolehkan oleh undang-undang. Sementara, beberapa peraturan mungkin akan "tidak berlaku karena kekaburan" sehingga tidak dapat diterapkan. Prinsip ini terkadang digunakan untuk mengakali peraturan yang melarang penjualan konten "eksplisit" atau "tidak menyenangkan" di kota tertentu. Pengadilan kerap menemukan bahwa ungkapan seperti itu terlalu luas sehingga memberikan keleluasaan kepada inspektur kota di luar apa yang diizinkan oleh undang-undang. Di AS ini dikenal sebagai doktrin kekaburan dan di Eropa sebagai prinsip kepastian hukum.

Lihat juga

Referensi

  1. ^ Williamson, T (1994). Vagueness. London: Routledge. 
  2. ^ Machina, K. F (1976). "Truth, belief, and vagueness". Journal of Philosophical Logic. 5: 47–78. 
  3. ^ Edgington, Dorothy (1997). Vagueness by Degrees. MIT Press. hlm. 294–316. 
  4. ^ Fine, Kit (2002). The Limits of Abstraction. 
  5. ^ "precisification". wordsense. Diakses tanggal 07/12/2021. 
  6. ^ Cobreros, Pablo (2011). "Paraconsistent Vagueness:". Synthese (183): 211–227. 
  7. ^ Hyde, Dominic; Colyvan, Mark (2008). "Paraconsistent Vagueness: Why Not?". Australasian Journal of Logic 6: 107–121. 
  8. ^ Williamson, T. Vagueness. London: Routledge. 
  9. ^ Sorensen, R. A (1988). Blindspot. Oxford: Clarendon Press. 
  10. ^ Sorensen, R. A. (2001). Vagueness and Contradiction. Oxford: Oxford University Press. 
  11. ^ Rescher, Nicholas (2009). Unknowability. Lexington Books. Menggunakan predikat pengembara untuk mengurangi masalah. 
  12. ^ Evans, Gareth (1978). "Can there be vague objects?". Analysis. 38 (4): 208. doi:10.1093/analys/38.4.208. 
  13. ^ Van Inwagen, Peter (1990). Material Beings. Ithaca, NY: Cornell University Press. 
  14. ^ Parsons, Terence (2000). Indeterminate Identity - Metaphysics and Semantics. Oxford: Clarendon Press. 

Daftar pustaka

Menimbang kekaburan makna sebagai aspek yang bermanfaat dan sekaligus tak terhindarkan dalam kehidupan sehari-hari hingga dunia komputer.

  • Keefe, R; Smith, P., eds. (1997). Vagueness: A Reader. MIT Press.

Pendahuluan dari editor memberikan pandangan yang jernih dan bermanfaat seputar teori kekaburan makna dan dilengkapi koleksi makalah klasik yang terkait.

  • Keefe, R. 2000. Vagueness. Cambridge: Cambridge University Press.

Hal teknis dijaga seminimal mungkin untuk menyajikan paparan yang jelas dan bermanfaat untuk mahasiswa dan peneliti.

  • Rick Nouwen; Robert van Rooij; Uli Sauerland; Hans-Christian Schmitz, eds. Jul (2009). International Workshop on Vagueness in Communication (ViC, held as part of ESSLLI). LNAI. 6517. Springer. ISBN 978-3-642-18445-1
  • Ronzitti, Giuseppina (ed.), Vagueness: A Guide. Logic, Epistemology, and the Unity of Science, Springer, Dordrecht, 2011.

Pranala luar