Grand Inna Malioboro
Grand Inna Malioboro merupakan hotel di Kota Yogyakarta, Indonesia. Hotel ini terletak di Jalan Malioboro 60, serta menjadi bangunan pertama yang dapat dilihat oleh pengendara saat melewati jalan tersebut. Hotel ini dibangun pada tahun 1911 dengan nama N.V. Grand Hotel de Djokja, yang pernah bergabung ke jaringan hotel Nederlandsch-Indische Hotel Vereeniging hingga bangkrut tahun 1932. Hotel ini juga pernah dipersengketakan oleh perusahaan yang dibentuk oleh Faradj Martak, N.V. Marba, yang mengaku membeli N.V. Grand Hotel de Djokja, sebelum akhirnya dilepas ke pemerintah. Kini hotel tersebut dioperasikan oleh PT Hotel Indonesia Natour (HIN).
Grand Inna Malioboro | |
---|---|
Nama sebelumnya |
|
Jaringan hotel | Hotel Indonesia Group |
Informasi umum | |
Lokasi | Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia |
Alamat | Jalan Malioboro 60 |
Negara | Indonesia |
Koordinat | 7°47′26″S 110°22′00″E / 7.790608°S 110.36669°E |
Peletakan batu pertama | 10 September 1911 |
Dibuka | 15 September 1912 |
Manajemen | Hotel Indonesia Natour |
Data teknis | |
Jumlah lantai | 7 |
Informasi lain | |
Jumlah kamar | 240 |
Jumlah rumah makan | 5 |
Situs web | |
hig | |
Cagar budaya Indonesia Hotel Inna Garuda | |
No. Regnas | CB.181 |
No. SK | PM.89/PM.007/MKP/2011 |
Tanggal SK | 17 Oktober 2011 |
Tingkat SK | Menteri |
Pemilik | PT Hotel Indonesia Natour |
Nama sebagaimana tercantum dalam Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya |
Hotel ini terletak di sebelah tenggara Stasiun Yogyakarta, dan menurut klaim pertama yang ada di koran de Express, memerlukan waktu hanya dua menit untuk sampai di hotel.[1]
Sejarah
Hotel Inna Garuda adalah hotel dengan sejarah panjang dan tidak dapat dipisahkan dari Yogyakarta. Sejauh ini, nama hotel telah diubah enam kali: Grand Hotel de Djokja, Hotel Asahi, Hotel Merdeka, Hotel Garuda, Natour Garuda, Inna Garuda, dan sekarang Grand Inna Malioboro.
Grand Hotel de Djokja
Semenjak hadirnya jalur kereta api, Malioboro semakin ramai dan fasilitas akomodasi semakin dibutuhkan oleh wisatawan yang mengunjungi Malioboro. Sebelum Grand Hotel de Djokja dibangun, tercatat ada dua hotel yang terkenal sangat kompetitif di bagian utara Jalan Malioboro, karena letaknya strategis dekat dengan Stasiun Yogyakarta. Dua hotel tersebut adalah Hotel Toegoe dan Hotel Mataram.[2]
Karena Malioboro semakin ramai, banyak investor melirik Malioboro untuk membangun fasilitas akomodasi baru. Pada tanggal 27 Mei 1911, empat investor swasta Belanda bernama Van der Spel, Pijnacker, Hordijk, dan G. Dom menjadi komisaris di sebuah perusahaan baru bernama N.V. Grand Hotel de Djokja, untuk membangun sebuah hotel baru yang terletak di selatan rel kereta api. Bermodal ƒ300.000, mereka sepakat membeli lahan di selatan rel yang dahulunya dimiliki oleh Van Rijn.[3] Dengan kabar tersebut, hotel-hotel yang telah lama eksis di sekitar Stasiun Yogyakarta dan Jalan Malioboro bersaing untuk menyediakan pelayanan terbaiknya.
N.V. Grand Hotel menunjuk Jansen sebagai Direktur Utama pertama perusahaan. Peletakan batu pertama hotel dilaksanakan pada pagi hari tanggal 10 September 1911 oleh Arthur F. Dom, putra dari G. Dom, investor Grand Hotel. Hotel ini diarsiteki oleh firma arsitektur Harmsen & Plagge dari Semarang.[4]
Satu tahun berselang, koran de Expres tanggal 18 dan 23 September 1912 menjelaskan pembukaan Grand Hotel serta fasilitas-fasilitas yang akan dinikmati tatkala hotel beroperasi penuh. Hotel tersebut berdiri di atas lahan seluas 8.100 m2 (87.000 sq ft) dengan lebar depan 53 m. Hotel ini dibuka untuk umum (soft opening) pada tanggal 15 September 1912. Bangunan hotel ini terdiri dari lima paviliun dengan beranda, kamar duduk dan tidur, serta sudah dipasangi listrik dan bel, serta menyediakan garasi untuk mobil.[1]
Pada tahun 1917, Hotel Toegoe yang sudah lebih dulu ada terus berkompetisi dengan Grand Hotel de Djokja, sehingga pemiliknya saat itu, A. Herscheit, menawarkan hotel kepada N.V. Grand Hotel de Djokja sebesar 176.000 gulden. Ia bermaksud menawarkannya karena Grand Hotel selalu penuh terutama selama puncak liburan. Pembelian disepakati pada 30 Januari.[5][6]
Pada 6 Juni 1921, Nederlandsch-Indische Hotel Vereeniging (Perhimpunan Hotel Hindia Belanda/NIHV), yang mengoperasikan Hotel Tosari, Nongkodjadjar, Tjisoeroepan, serta Ngamplang, mengakuisisi N.V. Hotel Toegoe dan N.V. Grand Hotel de Djokja.[7][8]
Seiring berjalannya waktu, Grand Hotel de Djokja pun semakin terkenal dan diminati wisatawan karena masakan rijstaffel-nya yang sangat nikmat.[9] Pertemuan-pertemuan di Yogyakarta diselenggarakan di hotel tersebut. Pada 1925, sebuah organisasi dibentuk untuk menghimpun pemilik, pengelola, pengurus, direktur, dan komisaris perusahaan hotel besar pada masa itu, Algemeene Bond Hotelhouders in Nederlandsch-Indië (ABHINI). Tujuannya adalah untuk membantu meningkatkan peran industri hotel dan penginapan dalam rangka mewujudkan pariwisata yang berkelanjutan di Hindia Belanda. Gagasan tersebut berasal dari pemilik Hotel Homann, Hotel der Nederlanden, serta Hotel Dibbets Bogor.[10]
Karena kebutuhan wisatawan akan kamar terus meningkat, pada tanggal 10 April 1929, Grand Hotel mengumumkan akan merenovasi hotelnya. Proses renovasi tersebut direncanakan mulai bulan Juni dengan mengganti bangunan lamanya yang masih seperti bangunan hotel pondok menjadi bangunan bertingkat. Dalam proses renovasi ini, Grand Hotel kemudian menyewa sebuah bangunan di Kadasterstraat (Jalan Pangurakan) untuk paviliun/kamar tambahan.[11] Akan tetapi, proses renovasi ini sempat tertunda karena Raja Siam (Thailand), Rama VI Vajiravudh melawat ke Yogyakarta dan menginap di Grand Hotel pada tanggal 7–12 September 1929. Saat tiba di hotel, sang Raja memberikan penghargaan berupa gelar kehormatan kepada direksi dan karyawan Grand Hotel. Sementara itu, Nyonya Stigters menerima bros mutiara.[12]
Pada 27 Juni 1930, Grand Hotel mengumumkan bahwa sayap kanan sudah selesai dibangun dan dilanjutkan dengan sayap kiri. Gedung baru hotel direncanakan akan dibuka kembali pada September 1930.[13][14] NIHV terus menjadi induk dari perusahaan hotel tersebut hingga akhirnya bangkrut tahun 1932. Agar tetap beroperasi, manajemen mengangkat J.J. Stigter yang menjadi direktur Grand Hotel sebagai Direktur ad interim Hotel Toegoe.[15][16]
Beberapa tokoh lainnya yang pernah menginap di Grand Hotel de Djokja antara lain:
- Charlie Chaplin, aktor Inggris. Pada tahun 1932, Chaplin berkunjung ke Hindia Belanda; salah satu kota yang dikunjunginya adalah Yogyakarta. Ia beserta rombongan dan saudaranya Sydney Chaplin datang ke Yogyakarta dengan kereta api dan sempat mengunjungi Borobudur.[17]
- Pangeran Siam, dalam perjalanannya mengelilingi Jawa dan Bali. Menetap di Bandung setelah dibuang dari Siam.[18]
- Sultan Deli, Tuanku Amaluddin Al Sani Perkara Alamsyah. Pada saat itu, sistem pemerintahan zelfbestuurders (pemerintahan terbatas kepala daerah lokal di bawah pengawasan Pemerintah Kolonial) diperkenalkan.[19]
- Vicki Baum, penulis Amerika Serikat, saat berkunjung ke Yogyakarta ditemani agennya dari Metro-Goldwyn-Mayer.[20]
- Anton Philips, pendiri perusahaan elektronik Philips. Ia menghadiahkan sebuah radio kepada Sultan Yogyakarta dan Adipati Pakualaman.[21]
Hotel Asahi dan Hotel Merdeka
Pada masa pendudukan Jepang, Grand Hotel de Djokja disita oleh tentara Jepang. Nama hotel ini berubah menjadi Hotel Asahi. Pengelola hotel, Nyonya Trutenau, diusir paksa oleh tentara Jepang. Begitu Jepang diusir dan Indonesia merdeka, Grand Hotel berubah menjadi aset negara. Seorang PNS eselon 1 Kementerian Perhubungan bernama Rachim mulai mengelola hotel tersebut dan menamainya, Hotel Merdeka.[22]
Pada Desember 1948, kekuasaan Republik Indonesia di Yogyakarta berakhir karena telah diduduki Belanda. Hotel Merdeka diserahkan kembali kepada N.V. Grand Hotel de Djokja, dengan Nyonya Trutenau kembali sebagai manajernya. Pada 27 Juni 1949, Belanda ditarik dari Yogyakarta dan Nyonya Trutenau memilih untuk tidak lagi tinggal di Yogyakarta. Grand Hotel kembali dikelola oleh Kementerian Perhubungan. Untuk melaksanakan kontrak pengelolaan Grand Hotel, Rachim membentuk N.V. Honet (Hotel Negara & Tourisme) dengan 3 investor: Rachim, Tjipto Roeslan, dan Djody S.H.[22]
Sengketa bermula ketika perusahaan milik keturunan Arab-Indonesia, Faradj Martak dan Ali Badjened, N.V. Marba, mengklaim kepemilikan hotel tersebut. Pada 15 Agustus 1949, Departemen Perhubungan mengesahkan pendirian perseroan terbatas N.V. Marba untuk membeli seluruh saham N.V. Grand Hotel de Djokja, sehingga Marba berhak mempertahankan hak milik atas hotel tersebut. Pada saat yang sama N.V. Honet juga mengklaim bahwa Hotel Merdeka dikelola oleh N.V. Honet, bukan Marba.[22]
Begitu Marba kaget melihat Hotel Merdeka sudah dijalankan oleh Honet, A. Loebis datang ke Hotel Merdeka pada 20 Agustus untuk mencabut nama Hotel Merdeka dan menggantinya menjadi Grand Hotel tetapi Honet menolak.[22] Sengketa terus berlanjut hingga akhir Desember 1950. Pengadilan menetapkan bahwa N.V. Marba adalah pemilik sah Hotel Merdeka, karena Kementerian Perhubungan mengaku telah menjual Hotel Merdeka kepada N.V. Marba. Per tanggal 31 Desember 1950, nama hotel berubah menjadi Hotel Garuda.[23]
Hotel Garuda/Natour Garuda/Inna Garuda
N.V. Marba mengganti nama Hotel Merdeka menjadi Hotel Garuda per tanggal 31 Desember 1950.[23] Baru tiga tahun berselang, N.V. Marba memutuskan untuk menjual hotelnya ke Pemerintah Kota Yogyakarta karena telah bosan mengelola hotel. Pemerintah membeli hotel tersebut senilai Rp3,5 juta. Balai Kota kemudian dipindah ke area hotel.[24]
Pada tahun 1975, terbit Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1975. Peraturan tersebut memberikan perintah kepada PT Natour (Persero) untuk mengelola Hotel Garuda. Namanya pun berubah menjadi Natour Garuda dan kelas hotel masih bintang dua.[25]
Pada tahun 1982, Natour ditugasi oleh pemerintah untuk merenovasi Hotel Garuda.[26] Renovasi ini membutuhkan biaya sekitar sembilan miliar rupiah dan selesai pada akhir tahun 1984. Untuk menjaga nilai historis hotel, bangunan sayap utara dan selatan tetap dipertahankan, dengan bangunan pusat dibangun tujuh lantai di belakangnya. Hotel Natour Garuda yang berstatus BUMN, melakukan upacara percobaan dengan upacara agung grand opening pada tanggal 29 Juni 1985, bertepatan dengan Sabtu Legi. Pada acara tersebut hotel secara resmi dibuka oleh Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwana IX.[26] Pada tahun 1987, Hotel Natour Garuda secara resmi dinyatakan oleh pemerintah melalui Departemen Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi sebagai hotel bintang empat. Bersama dengan pengembangan pariwisata di Indonesia, khususnya di Yogyakarta, PT Natour memperluas hotel dengan menambahkan jumlah kamar menjadi 240 kamar. Perluasan hotel tersebut diresmikan oleh Paku Alam VIII pada 29 Juni 1991.[27]
Pada bulan Maret 2001, PT Natour, yang telah bergabung dengan PT Hotel Indonesia International, sehingga membentuk PT Hotel Indonesia Natour (Persero), memperkenalkan nama dagang Inna. Dengan demikian, hotel ini berubah namanya menjadi Inna Garuda.[27]
Grand Inna Malioboro
Pada tahun 2016, sebuah virtual holding BUMN hotel bernama Hotel Indonesia Group (HIG) dibentuk atas perintah Rini Soemarno. Tujuan dari pembentukan holding tersebut adalah untuk mengkonsolidasikan hotel-hotel BUMN dengan operator berbeda.[28] Pada tanggal 15 Maret 2017, HIG meresmikan nama baru untuk Inna Garuda, Grand Inna Malioboro.[29]
Pada tahun 2023, Grand Inna Malioboro ditutup karena mendapatkan renovasi untuk mendapatkan merek barunya, "Meru", dan dinaikkan statusnya menjadi hotel berbintang lima.[30]
Referensi
- ^ a b "Grand Hotel de Djocja: Voorziening in een Behoefte". de Expres. 18 September 1912.
- ^ Wright, A., ed. (1909). Twentieth Century Impressions of Netherlands India. London: Lloyd's Greater Britain Publishing Company. hlm. 595.
- ^ "Djokjasche Hotel-plannen". De Preanger-Bode. 27 Mei 1911.
- ^ "Gemengd". De Locomotief. 12 September 1911. hlm. 5.
- ^ "Hotelwezen". Bataviaasch nieuwsblad. 30 Januari 1917. hlm. 6.
- ^ "Verspreide berichten". De nieuwe vorstenlanden. 31 Januari 1917. hlm. 2.
- ^ "Uitbreiding van de hotel-trust". Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië. 16 Juni 1921. hlm. 3.
- ^ "N.I. Hotel Vereeniging" (PDF). Sin Po. 4 Juni 1924. hlm. 2.
- ^ Rahman, Fadly (2016). Rijsttafel: budaya kuliner di Indonesia masa kolonial 1870-1942. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. hlm. 58. ISBN 978-602-03-3603-9.
- ^ "De ABHINI: de bond van hotelhouders". De Locomotief. 21 Januari 1925.
- ^ "Verbouwing Grand Hotel". Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indië. 10 April 1929.
- ^ "Het bezoek van den Koning van Siam aan de Vorstenlanden". Soerabaijasch handelsblad. 13 September 1929.
- ^ "Grand Hotel de Djokja". Soerabaijasch handelsblad. 22 Maret 1930.
- ^ "Nieuws van Djocja - Hotel uitbreiding". Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië. 27 Juni 1930.
- ^ "Hotelbedrijf Failiet: N.I. Hotel Vereeniging zal faillissement aanvragen". De Locomotief. 29 Agustus 1932. hlm. 9.
- ^ "Leiding Hotel Toegoe". Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indië. 7 September 1932. hlm. 2.
- ^ "Charley Chaplin". Soerabaijasch handelsblad. 1 April 1932.
- ^ "Siameesch Prinsenbezoek". Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indië. 22 Mei 1933.
- ^ "De Sultan van Deli te Semarang". De locomotief. 27 September 1934.
- ^ "Vicky Baum naar Jogja". De Locomotief. 29 Maret 1935.
- ^ "Dr. Philips te Jogja". De Locomotief. 5 Maret 1938.
- ^ a b c d "De geschiedenis van een hotel: Hotel "Merdeka" in Djokja, werd weer "Grand Hotel"". de Vrije Pers. 29 Agustus 1950. hlm. 3.
- ^ a b "Verende stuurwielen". De Nieuwsgier. 5 Januari 1951.
- ^ "Jogja koopt het Hotel Garuda". De Locomotief. 5 Februari 1953.
- ^ Sejarah dan pembangunan pariwisata, pos, dan telekomunikasi. Jakarta: Departemen Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi RI. 1990.
- ^ a b Artha, A.T. Yogyakarta tempo doeloe sepanjang catatan pariwisata. Bigraf Pub. hlm. 27. ISBN 9789798680502.
- ^ a b Yogyakarta, Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi D. I. (2023-03-31). "Hotel Inna Garuda". Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-07-25.
- ^ Audriene, Dinda. "Hotel Indonesia Group jadi Embrio Holding BUMN Perhotelan". ekonomi. Diakses tanggal 2023-07-24.
- ^ Media, Harian Jogja Digital. "Hotel di Sudut Malioboro Ini Pernah Disinggahi Charlie Chaplin dan Jadi Kantor Jenderal Sudirman". Harianjogja.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-07-24.
- ^ Home; Terkini; News, Top; Terpopuler; Nusantara; Nasional; Terkini, Jogja; Politik; Peristiwa (2023-01-07). "Grand Inna Malioboro tutup sementara untuk renovasi menuju brand bintang 5". Antara News Yogyakarta. Diakses tanggal 2023-07-24.