Stoikisme

aliran filsafat
Revisi sejak 17 April 2023 12.39 oleh Rvy09 (bicara | kontrib)

Stoikisme, juga disebut Stoa (bahasa Yunani: Στοά) adalah sebuah aliran atau mazhab filsafat Yunani kuno yang didirikan di kota Athena, Yunani, oleh Zeno dari Citium pada awal abad ke-3 SM.[1][2][3][4] Ada pula yang mencatat stoikisme baru resmi muncul pada tahun 108 SM.[5] Setelah Zeno, orang yang paling berjasa mempertahankan sekolah stoa adalah Kleanthes dari Assos dan Chrysippus dari Soli.[3] Cleanthes menyumbangkan gagasan tentang hubungan etika dengan iman atau teologi.[3] Chrysippus menuliskan 705 buku (90%) literatur sebagai doktrin stoikisme, yaitu telaah tentang perbintangan astronomi.[6]

Patung setengah badan Zeno dari Citium dalam Koleksi Farnese, Napoli. Foto oleh Paolo Monti, 1969.

Ajaran sekolah atau mazhab stoa sangat luas dan beragam, tetapi dapat disimpulkan bahwa pijakannya adalah meliputi perkembangan logika (terbagi dalam retorika dan dialektika), fisika, dan etika (memuat teologi dan politik)[5] Pandangan yang mencolok tentang etika adalah bagaimana manusia memilih sikap hidup dengan menekankan apatheia, hidup pasrah atau tawakal menerima keadaannya di dunia.[5] Sikap tersebut merupakan cerminan dari kemampuan nalar manusia, bahkan kemampuan tertinggi dari semua hal.[5]

Stoikisme populer hingga kurang lebih lima abad (3 SM-3 M), selanjutnya mempengaruhi banyak pemikir Kristen, baik dalam dunia akademis maupun sikap hidup.[3] Fokus filsafat stoikisme adalah dalam bidang etika.[3] Stoa memiliki perbedaan tajam dengan gagasan intelektual tua lainnya, yaitu epikureanisme dan skeptisisme. Stoikisme merupakan aliran filsafat yang paling berhasil dan sangat berpengaruh dalam aliran Filsafat Yunani Kuno karena relevansinya terhadap sikap manusia dan sistem pemerintahan saat itu.[1]

Terminologi

Stoik berasal dari bahasa Yunani stōïkos, yang berarti "dari stoa [serambi, atau beranda]". Hal ini mengacu pada Stoa Poikile, atau "Beranda Berlukis", di Athena, dimana filsuf stoik Zeno dari Citium yang berpengaruh besar terhadap stoikisme pernah mengajar.[7][8] Dalam istilah awam stoikisme kadang-kadang disebut sebagai "menderita dalam kesunyian", dan etika yang terkait dengan hal itu.[9]

Tokoh-tokoh Stoikisme

Semenjak Zeno dari Citium mendirikan aliran Stoa atau Stoikismenya, muncul beberapa filsuf lainnya yang menjadi tokoh Stoa, misalnya Chrisippus dari Soli, Cleanthes dari Assos, Seneca Muda, Cicero, Epictetus, dan Marcus Aurelius.[1][3] Dalam Kamus Filsafat Cambridge, tokoh dan pandangan Stoa dibagi menjadi tiga:[4]

  1. Stoa Awal, terdiri dari Zeno (334-262SM), Chrisipus (280-206), dan Cleanthes (331-232).[4]
  2. Stoa Perantara (Middle Stoicsm), dikembangkan oleh Panaetius (185-110 SM) dan Posidonius (135-50 SM) dari Rhodes, yang mempengaruhi Cicero (106 SM -43 M).[4]
  3. Stoa Akhir Stoa Romawi (Roman Stoicsm) terdapat Cicero (106 SM -43 M), Seneca Muda (1-65M), Epictetus (55-135M), dan Marcus Aurelius (121-180M).[4]
Marcus AureliusEpictetusSeneca the YoungerCiceroPosidoniusPanaetiusAntipater of TarsusDiogenes of BabylonChrysippusCleanthesZeno of Citium

Sebagai catatan: tahun-tahun hidup dari tokoh Stoa tidak sama dalam beberapa buku, misalnya jika dibandingkan dalam buku the Stoics, terpapar masa hidup Cleanthes (303-233SM), Epictetus (60-117M), dan Seneca Muda (4SM-65M).[3]

Rupanya Zeno muda telah terinspirasi oleh ajaran etika Socrates, khususnya keberanian Socrates dalam menempuh jalan kematian dengan sukarela.[3] Tindakan ini seolah menjadi gambaran ajaran Stoa dalam etika, bahwa seseorang tidak perlu terbawa emosi negatif (pathos), takut misalnya, tetapi bahagia dengan kemerdekaan penuh, termasuk menerima cara kematian.[2]

Prinsip dan ajaran Stoikisme banyak mempengaruhi pemikiran para teolog Kristen dan filsuf di sepanjang abad, bahkan hingga saat sekarang, dan warisan yang menyolok dari filsafat Stoikisme adalah tentang hidup etis dengan moralitas yang baik, seperti diwarisi oleh beberapa pemikir, yaitu Baruch Spinoza, Joseph Butler, Immanuel Kant,[1] dan Helmut Richard Niebuhr.[10] Menurut filsuf Jerman bernama Dilthey, Stoikisme adalah filsafat terkuat dan terlama yang dapat diterima ketimbang filsafat lainnya.[11]

Tokoh Etika Masa Kini yang sangat Stoik

Tokoh etika terkenal dari Amerika yang sangat dipengaruhi oleh cara berpikir Stoa misalnya H. Richard Niebuhr.[10] Selain Niebuhr membangun diskursus etika yang sangat radikal mengakui peran Ilahi dalam berbagai peristiwa kehidupan dunia yang tampak dalam salah satu karyanya berjudul Radical Monotheism, Niebuhr juga sangat menekankan tindakan manusia untuk tidak secara dikotomis memisahkan unsur-unsur alam secara bertentangan, yang kemudian hanya akan melahirkan permusuhan antar manusia.[10] Niebuhr mengajak manusia menyelaraskan diri terhadap perubahan-perubahan dalam masyarakat dengan tidak panik, tidak melakukan perlawanan yang menghasilkan kekerasan, melainkan mengajak manusia bertindak bertanggungjawab mulai dari diri sendiri.[10]

Inti-inti Ajaran Stoikisme

Orang-orang Stoik percaya bahwa emosi negatif yang menghancurkan manusia dihasilkan dari keputusan yang salah, dan bahwa seorang sophis, yaitu orang yang memiliki "kesempurnaan moral dan intelektual," tidak akan pernah mengalami emosi-emosi yang merusak kebahagiaan, misalnya marah berlebihan, panik berlebihan, sedih berlebihan, dsb.[12] Seorang Stoik, seperti kata Epictetus hendaknya tidak banyak bicara tentang ide-ide besar, apalagi kepada orang-orang awam, melainkan bertindak selaras dengan apa yang dipikirkannya tentang kebaikan.[13] Hal ini dibedakan dengan istilah filsuf atau filosof (pecinta kebijaksanaan) yang hanya menyukai ide-ide kebijaksanaan, tetapi biasanya gagal melakukan ide-ide kebijaksanaan itu (sophia).[13] Stoikisme adalah cara hidup yang menekankan dimensi internal manusia, seorang Stoik dapat hidup bahagia ketika ia tidak terpengaruh oleh hal-hal di luar dirinya.[13] Di mata kaum Stoa, Logos Universal (Sang Ilahi) adalah yang menata alam semesta ini dengan rasional, senegatif apa pun kejadian yang menimpa, seorang Stoa yang bijak akan melihat kejadian tersebut sebagai bagian dari tenunan indah ilahi atau Logos.[13] Ia akan menyesuaikan kodrat rasional dirinya sebagai manusia dengan hukum alam (hukum sebab akibat) dari Alam Semesta.[13]

Landasan ajaran Stoa meminjam tiga elemen filsafat yang berkembang di Akademia yang didirikan oleh Aristoteles yakni logika atau rasio, materi atau fisika, dan etika.[1] Tema-tema yang sering dibicarakan terkait dimensi manusia sebagai fokus utama, di antaranya mengenai takdir, kehendak bebas, pemeliharaan Ilahi, dan kejahatan.[3]

Ajaran Stoa yang paling menonjol adalah bagaimana manusia bertindak menurut keteraturan hukum alam yang diselenggarakan yang Ilahi.[3][4] Kleanthes menulis beberapa versi dalam ekspresi gamblang sebuah daya tarik elemen yang didesakkan oleh imannya,

ἄγου δέ μ', ὦ Ζεῦ, καὶ σύ γ' ἡ πεπρωμένη,

ὅποι ποθ' ὑμῖν εἰμι διατεταγμένος: ὡς ἕψομαί γ' ἄοκνος· ἢν δέ γε μὴ θέλω κακὸς γενόμενος, οὐδὲν ἧττον ἕψομαι.[14]

Terjemahan harfiah dalam bahasa Indonesia:

Bimbing aku, oh Zeus, bimbing aku, wahai penciptaku Hingga di tempat di mana Engkau akan menghantarku Aku tidak akan lari darimu, namun mengikutimu, dan seandainya hatiku berontak,

Aku tetap akan ikut dikau

— Kleanthes dari Assos

Sikap hidup yang menyelaraskan diri dengan kehendak ilahi yang tampak dalam sikap hidup menyelaraskan diri dengan keteraturan alam ini disebut sebagai etika katekontik.[1][3][13] Dalam Stoa mula-mula, ajaran Stoa selalu melibatkan peran dewa-dewa dalam miologi Yunani Kuno. Demikian para pemikir etika Kristen yang dipengaruhi filsafat Stoa juga selalu melibatkan Allah dalam konstruksi etikanya.[1]

Etika Katekontik

Menurut para Stoik, manusia adalah binatang bernalar, nalar (reason) itu didapatinya dari Yang Ilahi, dan dengan nalar itu, manusia menjadi elemen terpenting bagi Sang Ilahi untuk menyelenggarakan keteraturan dunia.[4] Namun, manusia bukan satu-satunya elemen, ia hanya salah satu bagian dari semesta, ia hanya salah satu organ saja.[4] Eksistensi manusia selalu terkait dengan eksistensi pihak lain, merusak tatanan semesta berarti merusak atau mengancam eksistensi manusia itu sendiri.[4] Seorang bijak sejati -orang yang hidupnya selaras dengan ide-ide yang ia pelajari-, hendaknya dalam hidup mencari pemenuhan kebutuhan, tidak melupakan relasinya terhadap pihak lain, termasuk Yang Ilahi sebagai penyelenggara tunggal dunia.[4] Seorang yang bijak harus sadar bahwa ia hanya bagian dari rangkaian tak terpisahkan keteraturan dunia, bahwa ia setara posisinya dengan ciptaan lain, dan kepentingan dirinya harus terintegrasi terhadap kepentingan orang atau pihak lain itu.[11] Perspektif kosmik (kesadaran akan alam) harusnya membayangi kehidupan pribadi, walau tidak menggantikannya secara keseluruhan.[11] Rasio atau nalar manusia harus terintegrasi terhadap penyelenggaraan kosmis Ilahi.[4] Jika seseorang bertindak selaras (katekontik) sebagai tindakan yang sejati (katorthomata) sebagai tindakan yang tepat, ia akan merasa bahagia, merdeka, bertindak secara tepat dalam kebaikan, dan hidup dalam harmoni yang sempurna.[4]

Stoikisme dan Politik Yunani

Tokoh-tokoh Stoa atau para Stoik, dalam etika politik terbagi dalam dua golongan, yang anti-politik atau menjauhi keterlibatan politik, dan yang terlibat aktif dalam politik.[3][11] Kedua kelompok tersebut memiliki pandangan yang berbeda.[11] Bagi yang menjauhi dunia politik, alasan mereka adalah karena muak dengan perilaku elit politik, dan meyakini bahwa hukum yang patut ditaati bukanlah hukum negara, melainkan hukum alam yang diatur oleh sang ilahi.[3][11] Selain itu, mereka masih sangat dipengaruhi oleh aliran Sinisisme yang mengecam keras pemerintahan tiran kala itu.[11] Sedangkan yang memilih terlibat dan berkarier dalam dunia politik, Cicero misalnya, mengatakan bahwa tugas politik terdapat tugas suci yang dibebankan oleh Tuhan kepada manusia, ganjarannya adalah sorga.[11] Dalam relasi dengan manusia lain, kita tak butuh hukum politik, tetapi harus hidup dalam persahabatan dan kekeluargaan dengan semua makhluk, seperti kutipan Plutarch (Moralia, 329A) dari Politeia karya Zeno,[3]

Kita seharusnya hidup tidak dalam kota-kota atau wilayah yang terorganisasi, masing-masing kelompok dibedakan oleh pandangan kebaikan sendiri, tetapi seharusnya berpikir semua orang adalah warga dan anggota, dan seharusnya ada satu jalan hidup dan satu tatanan, seperti segerumbul rumput menyatu di padang

Alasannya sederhana, para Stoik awal menolak sistem pemerintahan kala itu, pemerintahan yang sangat tirani.[11] Para Stoik awal juga menolak sistem dan ajaran pendidikan yang mengabaikan pentingnya hidup bersama dalam persahabatan, persaudaraan, dan anti permusuhan.[11] Setiap sistem politik agaknya mereka tolak, bahkan penggunaan mata uang pun mereka tidak anjurkan.[11]

Sedangkan para Stoik yang kemudian, misalnya Cicero, Seneca Muda, dan Markus Aurelius justru terlibat dalam kancah politik, Cicero adalah salah satu anggota dewan Kota, Seneca pernah jadi penasihat Kaisar Nero, dan Marcus Aurelius adalah seorang Kaisar.[11] Jadi, Stoa memang memiliki paradoks ajaran dalam berpolitik, ada yang anti-politik, dan ada pula yang justru dalam lingkaran politik.[11]

Bagi Seneca, Cicero, dan Marcus Aurelius, seseorang yang memiliki jabatan politik harus memiliki integritas diri. Pemerintahan yang baik seharusnya bukan hanya dihuni orang-orang yang tahu kebijaksanaan -seperti pernah digagas oleh Plato dalam sistem pemerintahan Aristokrasi-, melainkan harus juga seorang sophis, yaitu orang yang benar-benar melakukan kebijaksanaan.[11] Marcus Aurelius sendiri mengarang buku berjudul Meditations hingga 4 jilid yang berisi pentingnya seorang pejabat publik melakukan perenungan diri supaya dalam memerintah ia memiliki ketenangan batin, dan berjiwa pengorbanan.[11][15] Jadi, Stoa memang memiliki paradoks ajaran dalam berpolitik, ada yang anti-politik, dan ada pula yang justru dalam lingkaran politik.

Etika Stoikisme

Etika Stoikisme berpijak pada prinsip bahwa kebajikanlah (virtue) yang baik, selain hal itu, buruk adanya.[4] Hal-hal lain sifatnya netral saja (Inggris: indifferent, Yunani: adiaphora), walaupun beberapa di antaranya, misalnya kesehatan, kemakmuran, kehormatan secara alamiah dianjurkan, sedangkan yang berseberangan dari itu tidak dianjurkan.[4] Misalnya, kepemilikan pribadi sama sekali tidak dianjurkan karena tidak selaras dengan prinsip manusia yang ingin bahagia.[4] Jika manusia tidak sadar terhadap godaan hal-hal yang netral itu, ia dapat terjebak pada tindakan menghalalkan cara untuk mencapai hal-hal yang netral, atau ia justru tidak bahagia ketika diperalat hal-hal yang netral itu.[4] Misalnya, seseorang yang mengejar harta benda terus menerus, sesungguhnya ia tak lagi dapat bahagia, karena dirinya telah dikuasai hal-hal yang seharusnya tidak merintanginya untuk berbahagia.[4] Pertarungan paling sengit adalah mengenai kebijaksanaan dan pengendalian diri manusia melawan kesenangan pribadi.[2]

Selain Stoa menolak pengaruh hal-hal yang bersifat eksternal (kekayaan, kesehatan, reputasi), Stoa juga menolak pengaruh hal-hal yang membengkokkan nalar, misalnya takut terhadap kematian, takut kepada Dewa atau Tuhan, dan peristiwa-peristiwa buruk yang akan mengganggu kebahagiaan.[2] Caranya adalah, bukan memutus hubungan terhadap hal-hal yang menakutkan itu, melainkan dengan meluruskan nalar kita supaya tidak dikendalikan oleh emosi-emosi yang muncul dari hal-hal itu.[2] Kebahagiaan tidak dapat direnggut oleh peristiwa-peristiwa tersebut, walaupun kita tidak dapat mengendalikan semua peristiwa di tangan kita.[2] Dengan memperbaiki nalar, kita mampu mengendalikan perilaku kita dalam menghadapinya.[2] Ketakutan ketika menghadapi peristiwa-peristiwa yang tidak kita harapkan sebenarnya lebih besar daripada akibat-akibat menakutkan yang akan ditimbulkan peristiwa-peristiwa itu sendiri.[2]

Referensi

  1. ^ a b c d e f g (Inggris)A.A Long., Hellenistic Philosophy,Los Angeles: University of California Press, 1974, Hal. 107-147
  2. ^ a b c d e f g h (Inggris) Samuel Enoch Stumph., Socrates to Sartre: A History of Philosophy,New York: McGraw-Hill, Inc, 1966, Hal. 119-125
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m n (Inggris) F. H. Sandbach., The Stoics, London: Bristol Classical Press, 1989, Hal. 20-dst
  4. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q (Inggris) Robert Audi., The Cambridge Dictionary of Philosophy, Edinburg: Cambridge University Press, 1995
  5. ^ a b c d (Indonesia)Lorens Bagus., Kamus Filsafat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000, Hal. 1037
  6. ^ (Inggris) Murray Walton., A Dictionary of Greek and Roman biography and mythology, London: Pottiswoode and Co., Hal. 740-141
  7. ^ https://www.merriam-webster.com/dictionary/stoic
  8. ^ Williamson, D. (1 April 2015). Kant's Theory of Emotion: Emotional Universalism. Palgrave Macmillan US. hlm. 17. ISBN 978-1-137-49810-6. 
  9. ^ Yong, Hua‐Hie. "Can attitudes of stoicism and cautiousness explain observed age‐related variation in levels of self‐rated pain, mood disturbance and functional interference in chronic pain patients?." European Journal of Pain 10.5 (2006): 399–399.
  10. ^ a b c d (Inggris)H.R. Niebuhr., Responsible Self,New York: Harper and Row, 1963, Hal. 17, 58, 60,87
  11. ^ a b c d e f g h i j k l m n o Christoper Rowe, Malcolm Schofield, Simon Harrison, and Melissa Lane., Sejarah Pemikiran Politik Yunani Romawi, Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2001, Hal. 522, 562,718,681
  12. ^ Stoicism, Stanford Encyclopedia of Philosophy.
  13. ^ a b c d e f (Inggris) A. Setyo Wibowo., Stoikisme,Jakarta: Jurnal Filsfat Driyarkara: Senat Mahasiswa STF Driyarkara, 2013, Hal. 14-36
  14. ^ Translatio a Seneca facta (Epistulae ad Lucilium 107.11) admodum libera esse videtur, sed ipse se Ciceronis aemulum largiter laudat. De fonte huius versus additi ambigitur; v. Marcovich (1959).
  15. ^ (Inggris) Great Books of the Western World, Edited by Mortimer J. Adler, London: Encyclopedia Britannica, Inc., 2003

Bacaan lanjutan

Sumber primer

  • A. A. Long and D. N. Sedley, The Hellenistic Philosophers Cambridge: Cambridge University Press, 1987.
  • Inwood, Brad & Gerson LLoyd P. (eds.) The Stoics Reader: Selected Writings and Testimonia Indianapolis: Hackett 2008.
  • Long, George Enchiridion by Epictetus, Prometheus Books, Reprint Edition, January 1955.
  • Gill C. Epictetus, The Discourses, Everyman 1995.
  • Irvine, William, A Guide to the Good Life: The Ancient Art of Stoic Joy (Oxford: Oxford University Press, 2008) ISBN 978-0-19-537461-2
  • Hadas, Moses (ed.), Essential Works of Stoicism, Bantam Books 1961.
  • Harvard University Press Epictetus Discourses Books 1 and 2, Loeb Classical Library Nr. 131, June 1925.
  • Harvard University Press Epictetus Discourses Books 3 and 4, Loeb Classical Library Nr. 218, June 1928.
  • Long, George, Discourses of Epictetus, Kessinger Publishing, January 2004.
  • Lucius Annaeus Seneca the Younger (transl. Robin Campbell), Letters from a Stoic: Epistulae Morales Ad Lucilium (1969, reprint 2004) ISBN 0-14-044210-3
  • Marcus Aurelius, Meditations, translated by Maxwell Staniforth; ISBN 0-14-044140-9, or translated by Gregory Hays; ISBN 0-679-64260-9.
  • Oates, Whitney Jennings, The Stoic and Epicurean Philosophers, The Complete Extant Writings of Epicurus, Epictetus, Lucretius and Marcus Aurelius, Random House, 9th printing 1940.

Studi

Pranala luar