Mpu Sindok atau Sindok dikenal juga dengan nama Dyah Sindok adalah raja yang memindahkan pusat kekuasaan Kerajaan Medang periode Jawa Tengah dari bhumi Mataram ke Jawa bagian timur. Mpu Sindok bergelar Śrī Mahārāja Rake Hino Dyaḥ Siṇḍok Śrī Īśānawikrama Dharmottuṅgadewawijaya, memerintah sekitar tahun 929947 M.

Mpu Sindok
Śrī Mahārāja Rake Hino Dyaḥ Siṇḍok Śrī Īśānawikrama Dharmottuṅgadewawijaya
Raja Medang ke-17
Berkuasa929 - 947
PendahuluDyah Wawa
PenerusSri Isyana Tunggawijaya
Pasangan
  • Dyah Kebi (Sri Parameswari)
  • Dyah Mangibil
KeturunanSri Isyana Tunggawijaya
WangsaIsyana
AgamaHindu

Sejarah

Mpu Sindok sangat dikenal dalam sejarah Nusantara karena meninggalkan banyak prasasti dari masa pemerintahannya, dan karena ialah tokoh yang memindahkan pusat kekuasaan Kerajaan Medang dari bhumi Mataram di Jawa bagian tengah ke Jawa bagian timur, kemungkinan besar terjadi pada tahun 929 M. Pemicu perpindahan ini memiliki dasar macam-macam, dua dugaan yang terkuat adalah sebagai akibat dari letusan Gunung Merapi dan/atau invasi dari Sriwijaya.[1] Ia menjadi raja pertama Kerajaan Medang periode Jawa Timur yang memerintah sekitar tahun 929947 M.

Pusat kerajaan yang baru ada di Watugaluh, di tepi Sungai Brantas, sekarang masuk wilayah Kabupaten Jombang. Sindok juga merupakan pendiri Wangsa Isyana, dan dengan demikian kerajaan baru ini terkadang juga disebut sebagai "Ishana". Sebuah prasasti yang saat ini berada di museum Kolkata, India, menggambarkan keturunan Sindok hingga Airlangga, pada abad ke-11 Masehi.

Sindok memiliki dua istri, salah satunya, Sri Parameswari Dyah Kbi, kemungkinan adalah putri Dyah Wawa, raja Mataram sebelumnya. Dengan demikian, Sindok berhasil naik takhta Mataram karena pernikahannya.

Pada masa pemerintahannya, Kakawin Ramayana dan Sanghyang Kamahayanikan dituliskan. Pemerintahan Sindok kemudian digantikan oleh putrinya, Sri Isanatungawijaya.[2]

Asal-usul

Mpu Sindok pada masa pemerintahan Dyah Tulodhong menjabat sebagai Rakai Mahamantri Halu, sedangkan pada masa pemerintahan Dyah Wawa, naik pangkat menjadi Rakai Mahamantri Hino. Kedua jabatan tersebut merupakan jabatan tingkat tinggi yang hanya dapat diisi oleh keluarga raja. Dengan demikian, Mpu Sindok merupakan seorang bangsawan kelas tinggi dalam Kerajaan Medang.

Mpu Sindok memiliki permaisuri yang bernama Sri Parameswari Dyah Kebi putri Rakai Bawa. Sejarawan Poerbatjaraka menganggap Rakai Bawa sama dengan Dyah Wawa. Dengan demikian, Mpu Sindok dianggap sebagai menantu Dyah Wawa. Namun, Rakai Bawa adalah nama suatu jabatan, sedangkan Dyah Wawa adalah nama orang, sehingga keduanya tidak bisa disamakan.

Stutterheim menemukan tokoh Rakai Bawang Mpu Dyah, yaitu seorang pejabat zaman pemerintahan Mpu Daksa. Menurutnya, Mpu Partha ini lebih tepat dianggap sebagai ayah Dyah Kebi daripada Dyah Wawa.

Selain itu ditemukan pula nama Rakryan Bawang Dyah Srawana yang bisa juga merupakan ayah Dyah Kebi.

Perpindahan ibu kota Medang

Istana Kerajaan Medang pada awal berdirinya diperkirakan terletak di daerah Mataram (dekat Yogyakarta sekarang). Kemudian pada masa pemerintahan Rakai Pikatan dipindah ke Mamrati (daerah Kedu). Lalu, pada masa pemerintahan Dyah Balitung sudah pindah lagi ke Poh Pitu (masih di sekitar Kedu). Kemudian pada zaman Dyah Wawa diperkirakan kembali ke daerah Mataram.

Mpu Sindok kemudian memindahkan istana Medang ke wilayah Jawa Timur sekarang. Dalam beberapa prasastinya, ia menyebut kalau kerajaannya merupakan kelanjutan dari Kerajaan Medang di Jawa Tengah. Misalnya, ditemukan kalimat Kita prasiddha mangraksa kadatwan rahyangta i Bhumi Mataram i Watugaluh.

Menurut teori van Bammelen, istana Medang di Mataram hancur akibat letusan Gunung Merapi yang disertai gempa bumi dan hujan material vulkanik. Tidak diketahui dengan pasti apakah bencana alam ini terjadi pada masa pemerintahan Dyah Wawa ataukah pada pemerintahan Mpu Sindok.

Mpu Sindok memimpin penduduk Medang yang selamat pindah ke timur. Ia membangun ibu kota baru di daerah Tamwlang (prasasti Turryan, 929). Kemudian istana dipindahkan ke Watugaluh (prasasti Anjukladang, 937). Baik Tamwlang maupun Watugaluh diperkirakan berada di sekitar daerah Jombang sekarang.

Riwayat pemerintahan

Mpu Sindok merupakan raja pertama Kerajaan Medang periode Jawa Timur. Sedangkan yang menjabat sebagai Rakai Mapatih Hino adalah Mpu Sahasra. Pemerintahan Mpu Sindok cukup banyak meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti-prasasti. Berikut beberapa prasasti diantaranya:

  • Prasasti Poh Rinting berisi tentang penetapan desa sima. Disebutkan, Dang Acaryya membuat permohonan kepada raja supaya daerahnya dijadikan perdikan karena di kawasannya terdapat bangunan suci. Sang Prabu pun mengabulkannya, dengan menetapkan Desa letak prasasti Poh Rinting berada sebagai desa sima.
  • Prasasti Turryan tahun 929 berisi permohonan Dang Atu Mpu Sahitya terhadap tanah di barat sungai desa Turyan supaya dijadikan sebagai tempat bangunan suci.
  • Prasasti Linggasutan tahun 929 berisi tentang penetapan desa Linggasutan, wilayah Rakryan Hujung Mpu Madhura Lokaranjana, sebagai sima swatantra untuk menambah biaya pemujaan bathara di Walandit setiap tahunnya.
  • Prasasti Gulung-Gulung masih dari tahun 929 berisi tentang permohonan Rake Hujung Mpu Madhura agar sawah di desa Gulung-Gulung dijadikan sima bagi bangunan suci Mahaprasada di Himad.
  • Prasasti Cunggrang juga bertahun 929 berisi tentang penetapan desa Cunggrang sebagai sima swatantra untuk menrawat makam Rakryan Bawang Dyah Srawana, yang diduga sebagai ayah dari sang permaisuri Dyah Kebi.
  • Prasasti Jeru-Jeru tahun 930 berisi tentang permohonan Rake Hujung Mpu Madhura supaya desa Jru-Jru di daerah linggasutan dijadikan sima swatantra untuk merawat bangunan suci Sang Sala di Himad.
  • Prasasti Gemekan tahun 930 M berisi tentang pembelian tanah di Masarah sebesar 3 kati 5 suwarna emas oleh Maharaja Mpu Sindok untuk di jadikan sima dan tempat peribadatan.
  • Prasasti Waharu tahun 931 berisi tentang anugerah untuk penduduk desa Waharu yang dipimpin Buyut Manggali, karena setia membantu negara melawan musuh.
  • Prasasti Sumbut juga bertahun 931 berisi tentang penetapan desa Sumbut sebagai sima swatantra karena kesetiaan Mapanji Jatu Ireng dan penduduk desa itu menhalau musuh negara.
  • Prasasti Paradah diterbitkan tahun 856 saka atau 934 masehi, disebut pula dengan nama prasasti siman adapun isinya Śrī Mahāraja Rake Hino Pu Siṇḍok Śrī Iśānawikrama Dharmottunggadewa memberi anugerah lmah sawah sima di desa paradah, dan memerintahkan agar tanah sawah yang terletak di sebelah utara sungai di desa paradah, agar dijadikan bagunan suci yang diperuntukan bagi hyang dharmakamulan.
  • Prasasti Hering bertanggal tahun 856 Saka atau 934 Masehi, menjelaskan tentang perdagangan tanah dan sawah. Tempat berdagang yaitu di Hering (Keringan), Marganung (Ganung) dan Hujung (Ngujung). Tokoh utama yang diceritakan ialah Sri Isanawikrama Dharmmotunggadewa yang menghapuskan pajak sawah di pedesaan.
  • Prasasti Kanuruhan yang berangka tahun 856 Śaka (4-7 Januari 935 M) menyebutkan bahwa Rakryān Kanuruhan dyah Mungpah menganugerahkan sebidang sawah di wilayah Kanuruhan kepada Sang Bulul. Pemberian tanah itu maksudkan Sang Bulul untuk dibuat taman bunga lengkap dengan petirthaannya sebagai tambahan kepada amalnya ini.
  • Prasasti Wulig tanggal 8 Januari 935 berisi tentang peresmian bendungan di Wuatan Wulas dan Wuatan Tamya yang dibangun para penduduk desa Wulig di bawah pimpinan Sang Pamgat Susuhan. Peresmian ini dilakukan oleh seorang istri Mpu Sindok bernama Rakryan Mangibil.
  • Prasasti Tengaran tahun 935 M, memuat tentang penetapan Desa Geweg (sekarang Desa Tengaran) sebagai sima (tanah istimewa yang dibebaskan dari pajak) oleh Mahamantri Mpu Sindok Sang Sri Isanatunggadewa (Mpu Sindok) bersama Rakyan Sri Parameswari Sri Wardhani Kbi Umisori (Dyah Kbi) sang permaisuri, karena rakyat desa tersebut dianggap berjasa bagi kerajaan.
  • Prasasti Anjuk Ladang tahun 937 berisi tentang penetapan tanah sawah di desa Anjuk ladang sebagai sima swatantra dan persembahan kepada bathara di Sang Hyang Prasada, serta pembangunan sebuah jayastambha atau tugu kemenangan. Tugu ini sebagai peringatan atas kemenangan melawan serangan Kerajaan Sriwijaya yang mencapai daerah tersebut.
  • Prasasti Kamban tahun 941 M tentang pengesahan desa Kamban menjadi daerah perdikan
  • Prasasti Muncang dikeluarkan pada bulan Caitra tanggal 6 Śuklapasa tahun 866 Śaka (3 Maret 944 M) Mpu Sindok telah memerintahkan kepada rakryān i halu pu Sahasra dan rakai Kanuruhan pu Da, agar sebidang tanah yang terletak di sebelah selatan pasar di Muñcang yang termasuk wilayah Hujung dijadikan sima.
  • Prasasti Wurandungan bertarikh 7 November 944 M. Adapun isinya Śrī Mahāraja Rake Halu Pu Siṇḍok Śrī Iśānawikrama Dharmottunggadewa memberi anugerah kepada Dang Puryyat berupa tanah yang meliputi seluruh wilayah Kanuruhan.

Akhir hayat

Mpu Sindok meninggal dunia tahun 947 dan dicandikan di Isanabajra atau Isanabhawana. Meskipun dirinya seorang penganut Hindu aliran Siwa, namun tetap menaruh toleransi yang besar terdapat agama lain. Misalnya, ia menganugerahkan desa Wanjang sebagai sima swatantra kepada seorang pujangga bernama Sri Sambhara Suryawarana, yang telah berjasa menulis kitab Buddha aliran Tantrayana, berjudul Sang Hyang Kamahayanikan.

Menurut prasasti Pucangan, Mpu Sindok digantikan oleh putrinya yang bernama Sri Isana Tunggawijaya. Raja perempuan ini memerintah bersama suaminya yang bernama Sri Lokapala.

Referensi

  1. ^ Spuler, Bertold; F.R.C Bagley (1981). The Muslim World: A Historical Survey, Part IV. Leiden, The Netherlands: Brill Archive. hlm. 252. ISBN 9789004061965. 
  2. ^ Cœdès, George (1968). Vella, Walter F., ed. The Indianized States of Southeast Asia. Diterjemahkan oleh Brown Cowing, Sue. Honolulu: University of Hawaii Press. hlm. 128–129. ISBN 9780824803681. 

Kepustakaan

  • Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
  • Slamet Muljana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan (terbitan ulang 1965). Yogyakarta: LKIS
  • Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara
Didahului oleh:
Dyah Wawa
Raja Kerajaan Medang
929? – 947
Diteruskan oleh:
Sri Isana Tunggawijaya