Partai Daerah Istimewa Sumatera Timur

Revisi sejak 7 Oktober 2023 22.34 oleh Dey7 dims (bicara | kontrib) (Hanya sedikit kata)


Partai Daerah Istimewa Sumatera Timur (Pardist) adalah partai di Sumatera Timur yang diketuai oleh Datuk Hafiz Haberham dan diresmikan tanggal 27 September 1947. Partai ini dibentuk untuk menyokong cita-cita komite Daerah Istimewa Sumatera Timur (komite DIST),[1] diantaranya: menghendaki Sumatra Timur, dikeluarkan dari Negara Republik Indonesia, pemerintahan yang berasaskan demokrasi dan penduduk Sumatra Timur berkuasa sepenuhnya di dalam pembentukan pemerintah berlandaskan dasar-dasar demokrasi.

Sejarah

Tahun 1938, penduduk asli Sumatra Timur bersatu dalam Persatuan Sumatra Timur (PST) yang diketuai oleh T. Dr. Mansur. PST bergerak dalam bidang sosial dan ekonomi. Pada permulaan masa pendudukan Jepang, PST dan partai politik lainnya dibubarkan. Perjuangan pun berubah menjadi perang gerilya. Selain PST, muncul perkumpulan Siap Sedia (SS) di bawah pimpinan Datuk Hafiz Haberham. Kedua organisasi ini mempersiapkan diri secara rahasia dan tetap melakukan perlawanan hingga Kompetai Jepang pun akhirnya menyerah.

Jepang Menyerah kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945. Kemudian tanggal 17 Agustus 1945 proklamasi kemerdekaan Indonesia terjadi di Jakarta. Berita mengenai proklamasi baru diumumkan di Sumatra Timur pada tanggal 30 September 1945. Pemerintah Republik Indonesia menunjuk Teuku Hasan untuk menjadi Gubernur Sumatra dengan wakil Dr. Amir.[2]

Tanggal 12 Oktober 1945 komandan AFNEI Sumatera, Mayor Jenderal H.M. Chambers dan pasukannya mendarat di Padang. Dalam rombongan itu terdapat perwira Belanda Mayor Jenderal Spits yang merupakan kepala NICA. Kedatangan Sekutu dan NICA disambut baik oleh golongan penentang republik. Mereka menganggap dibawah NICA/Inggris dapat membangun kembali keadaan seperti sebelum perang dunia ke II. Sebaliknya pendukung republik memandang hal ini sebagai ancaman terhadap republik. Akibatnya berkobarlah sentimen anti-Belanda, antifeodal, dan anti asing.

Sentimen yang sangat tinggi antar golongan menyebabkan sulitnya menjalin persatuan di Sumatera Timur saat itu. Ditambah, sikap para sultan Melayu, raja Simalungun, dan para pemimpin Karo yang cenderung lebih percaya kepada Belanda memilih menunggu kedatangan Belanda agar dapat memulihkan kondisi pasca perang dunia ke II. Hal ini menyebabkan tensi sentimen terhadap kelompok pemuda nasionalis dan militan semakin meningkat. Puncaknya, meletuslah sebuah Revolusi Sosial Sumatra Timur Tanggal 3 Maret 1946.

Pasca Revolusi Sosial dan Agresi Militer Belanda, berbagai golongan rakyat Sumatra Timur menilai mereka butuh keamanan yang terjamin. Bagi para korban Revolusi Sosial tentu tidak mau lagi diserang oleh kelompok perusuh tersebut. Karena yang menjadi korban atas peristiwa tersebut tidak hanya dari kalangan bangsawan, namun banyak rakyat biasa dan beberapa etnis minoritas yang juga menjadi korban penyerangan tanpa adanya alasan yang jelas. Atas dasar kebutuhan akan terjaminnya stabilitas keamanan di Sumatra Timur, banyak golongan masyarakat menuntut suatu pemerintahan otonom.

Dari tuntutan tersebut, terbentuklah komite “Daerah Istimewa Sumatra Timur” (DIST). Tujuan komite ini dibentuk untuk membantu Belanda menyingkirkan elemen Republikan dan menyusun satu pemerintahan di bawah pimpinan penduduk asli dengan perlindungan dan pengawasan Pemerintah Belanda. Komite DIST terdiri dari T. Dr. Mansur, T. Hafas, Radja Kaliamsah, O.K Ramli.[3] Untuk memperkokoh perjuangan Komite DIST dibentuk Pardist yang merupakan gabungan PST dan SS.

Referensi

  1. ^ Penerangan, Sumatera Timur (State) Djabatan (1948). Negara Soematera Timoer sepintas laloe. Badan Penerangan Negara Soematera Timoer. 
  2. ^ "Sambutlah Google Drive – Satu tempat untuk semua file Anda". accounts.google.com. Diakses tanggal 2021-10-25. 
  3. ^ Perdjuangan rakjat: Tapanuli, S. Timur (dalam bahasa Melayu). Djabatan Penerangan R.I., Propinsi Tapanuli, Sumatera Timur. 1950.