Kaidah iman (bahasa Yunani: κανών της πίστεως, kanon tes pisteos; bahasa Latin: regula fidei) adalah sebutan bagi tolok ukur atau kewibawaan tertinggi dalam hal ihwal keimanan. Frasa ini mengemuka di dalam karya-karya tulis para pujangga Kristen terdahulu, misalnya Tertulianus, dan adakalanya digunakan di dalam syahadat-syahadat perdana.

Arti

Sebagai tolok ukur ketaatan kepada akidah yang lurus, kaidah iman mula-mula mengacu kepada Simbol Roma Lama, yakni versi yang lebih tua dan lebih ringkas dari Syahadat Para Rasul dan syahadat-syahadat terkemudian. Sebagai tolok ukur bersejarah dalam hal ihwal ketaatan kepada akidah yang lurus, kaidah iman juga mengacu kepada syahadat-syahadat lain, termasuk Syahadat Nikea, Syahadat Atanasius, Pengakuan Iman Augsburg, Pasal-Pasal Dort, Pengakuan Iman Westminster dan lain-lain, serta mengacu pula kepada cahaya batiniah dari Roh Kudus menurut keyakinan para ahli suluk Kristen.[1]

Kaidah iman adalah sebutan bagi tolok ukur atau kewibawaan tertinggi dalam hal ihwal keimanan, misalnya Sabda Allah (Dei verbum) yang terkandung di dalam Kitab Suci dan Tradisi Para Rasul[2] bagi umat Katolik; teoria bagi umat Ortodoks Timur; Sola scriptura (doktrin Alkitab belaka) bagi sebagian umat Protestan; Caturkona Wesley (Kitab Suci, tradisi, akal budi, dan pengalaman) bagi sebagian umat Protestan lainnya; dan akal budi belaka para filsuf Rasionalis.

Abad ke-2

Di dalam ruang lingkup Gereja Perdana, Ireneus memunculkan wacana "kaidah iman" atau "kaidah kebenaran" lewat karya tulisnya pada abad ke-2. Di dalam risalah Melawan Bidat-Bidat 1.9.4, Ireneus menjelaskan bahwa kaidah iman diperoleh melalui pembaptisan, disambung dengan penjelasan pada bab berikutnya sebagai berikut:

…iman ini, yakni iman akan satu Allah, Bapa Yang Mahakuasa, khalik langit dan bumi dan samudra dan segala isinya; dan dan akan satu Kristus Yesus, Putra Allah, yang menjadi manusia demi keselamatan kita; dan akan Roh Kudus, yang menyingkap rencana keselamatan melalui para nabi, dan akan kedatangan, dan kelahiran dari seorang perawan, dan sengsara, dan kebangkitan dari antara orang mati, dan kenaikan secara jasmaniah ke surga Kristus Yesus terkasih, Tuhan kita, dan kedatangannya dari surga kelak dalam kemuliaan Bapa untuk merangkum segala sesuatu dan untuk memperbaharui semua orang dari segala bangsa…

— Irenaeus, Melawan Bidat-Bidat 1.10

Di dalam karya tulis lain, pada bagian prakata risalah Pembabaran Pewartaan Para Rasul, Ireneus kembali menegaskan betapa perlunya orang "memegang teguh kaidah iman tanpa menyimpang."[3] Selanjutnya ia menjabarkan kaidah iman itu menjadi tiga akidah atau tiga pokok pikiran sebagai berikut:

Jadi inilah urut-urutan kaidah iman kita…: Allah, Sang Bapa, tidak diciptakan, tidak berwujud, tidak kasat mata; satu Allah, khalik sarwa sekalian alam: inilah akidah pertama dari keimanan kita. Akidah yang kedua adalah: Sabda Allah, putra Allah, Kristus Yesus Tuhan kita, yang menampakkan diri kepada para nabi sesuai dengan corak mereka dalam bernubuat dan sesuai dengan metode pengecualian Allah Bapa, yang melalui-Nya segala sesuatu dijadikan; yang juga pada akhir zaman, untuk menggenapi dan menghimpun segala sesuatu, dijadikan manusia di antara umat manusia, kasatmata dan dapat disentuh, guna meniadakan maut dan menerbitkan kehidupan dan melahirkan suatu jemaat persatuan antara Allah dan manusia. Dan akidah yang ketiga alah: Roh Kudus, yang melalui-Nya nabi-nabi bernubuat, dan bapa-bapa beroleh pengetahuan tentang hal ihwal Allah, dan orang benar dituntun menuju jalan kebenaran; dan yang pada akhir zaman dicurahkan dengan cara yang baru ke atas umat manusia di seluruh dunia, memperbaharui manusia bagi Allah.

Abad ke-3

Tertulianus memakai frasa "kaidah iman" maupun "kaidah kebenaran":

Oleh sebab itu hendaklah "pencarian" kita dilakukan di ranah kita sendiri, dan dari orang-orang kita sendiri, dan berkaitan dengan hal ihwal kita sendiri, – itulah, dan itu jualah yang dapat menjadi tujuan penyelidikan tanpa mencelakai kaidah iman.

Gereja Katolik

Di dalam ensiklik Humani generis, Paus Pius XII memakai istilah kesepadanan iman untuk mengemukakan bahwa Kitab Suci haruslah ditafsirkan menurut penalaran Gereja, bukan sebaliknya ajaran Gereja dan para Bapa Gereja yang harus ditafsirkan dengan beberapa norma Kitab Suci yang diteorikan.[4]

Di dalam Gereja Katolik, Alkitab dan tradisi suci (yaitu hal-hal yang dipercaya pernah diajarkan oleh Yesus dan para rasul yang tidak termaktub di dalam Alkitab tetapi diwariskan melalui Gereja) dianggap sebagai kaidah bagi segenap umat beriman untuk menilai keimanan dan amalan.[5] Katekismus Gereja Katolik yang ada saat ini mengataakan bahwa "segala sesuatu yang sudah dikemukakan mengenai cara menafsirkan Kitab Suci pada akhirnya terpulang kepada penilaian Gereja yang menjalankan amanat dan pelayanan yang dipercayakan Allah untuk mengawasi dan menafsirkan Sabda Allah[6]

Katekismus Baltimore memakai frasa "kaidah iman" sebagai berikut:[7]

Soal 561ː Haruskah kita mengkaji sendiri Kitab Suci dan tradisi-tradisi untuk menemukan perkara yang harus kita imani? Jawabː Kita tidak perlu mengkaji sendiri Kitab Suci dan tradisi-tradisi untuk menemukan perkara yang harus kita imani. Allah sudah menetapkan Gereja menjadi pemandu kita menuju keselamatan, dan kita harus menerima pengajarannya yang disampaikan kepada kita mengenai kaidah iman kita yang mustahil keliru.

Di dalam anjuran apostolik Verbum Domini tahun 2010, Paus Benediktus XVI mengemukakan sebagai berikut:[8]

...kendati di dalam Gereja kita sangat memuliakan Kitab Suci, iman Kristen bukanlah 'agama yang berasaskan kitab suci': Agama Kristen adalah 'agama yang berasaskan sabda Allah,' bukan 'sabda tersurat yang diam membisu, melainkan Sabda yang menjadi manusia dan hidup' (dikutip dari risalah Santo Bernardus dari Klaravalis). Oleh sebab itu Kitab Suci haruslah dipermaklumkan, didengar, dibaca, disambut dan dihayati sebagai sabda Allah, di dalam arus Tradisi para rasul yang dari padanya Kitab Suci tak dapat dipisahkan

Protestan

Di dalam beberapa teologi Prostestan, sudah menjadi suatu kaidah hermeneutikal penafsiran Alkitab bahwasanya kitab sucilah yang harus menafsirkan kitab suci (Sacra Scriptura sui interpres, Kitab Suci adalah mufasir dirinya sendiri). Kaidah ini adalah pemahaman yang menguatkuasakan Alkitab sebagai Sabda Allah yang diilhamkan, dan oleh karena itu konsisten maupun koheren sebab Allah tidak dapat berkontradiksi dengan diri-Nya sendiri.[9]

Joseph Fitzmyer SJ mendapati bahwa kaidah iman (bahasa Latin: regula fidei) atau kesesuaian dengan iman (bahasa Latin: analogia fidei) adalah frasa yang berakar pada nasihat Rasul Paulus kepada umat Kristen di Roma di dalam Surat Kepada Jemaat di Roma (Roma 12:6) yang berbunyi, "demikianlah kita mempunyai karunia yang berlain-lainan menurut kasih karunia yang dianugerahkan kepada kita: Jika karunia itu adalah untuk bernubuat baiklah kita melakukannya sesuai dengan iman kita." Frasa "sesuai dengan iman kita" di dalam bahasa Yunani berbunyi κατὰ τὴν ἀναλογίαν τῆς πίστεως, kata ten analogian tes pisteos. Di dalam nas Roma 12:6, frasa tersebut dapat saja dimaknai sebagai khazanah ajaran agama Kristen, sebagai keyakinan dan tanggapan seseorang terhadap rahmat Allah, maupun sebagai jenis iman yang mampu memindahkan gunung.[10]

Di kalangan Protestan konservatif, nas Roma 12:6 dianggap sebagai rujukan Alkitabiah bagi istilah "kesesuaian iman" (αναλογἰα τῆς πἰστεως).[11][12]

Bagi umat Protestan, Alkitab sajalah yang dianggap sebagai sabda Allah dan satu-satunya tolok ukur yang mustahil keliru dalam menilai keimanan dan amalan.[13] Dengan demikian, bagi umat Protestan konservatif, kesesuaian dengan iman semakna dengan kesesuaian dengan kitab suci, maksudnya pendapat-pendapat diuji kesesuaiannya dengan kitab suci, dan kitab suci ditafsirkan oleh Roh Kudus yang bersabda di dalam kitab suci (bdk. sola scriptura).

Analogia entis

Kesesuaian dengan iman, yang diketengahkan oleh Agustinus dari Hipo, kadang-kadang dilawankan dengan keseusaian dengan wujud (bahasa Latin: analogia entis), yang menurut Tomas Aquinas memungkinkan seseorang untuk mengenal Allah melalui kesesuaian dengan ciptaan-Nya.[14]

References

  1. ^ "Rule of Faith". The Nuttall Encyclopædia (1907).
  2. ^ "The Rule of Faith". Catholic Encyclopedia. New advent. Diakses tanggal 2007-02-18. 
  3. ^ Irenaeus. "Demonstration of the Apostolic Preaching". Christian Classics Ethereal Library. Diakses tanggal 25 January 2022. 
  4. ^ "Humani generis". 
  5. ^ Hodge, Charles, "5. Roman Catholic Doctrine Concerning the Rule of Faith", Systematic Theology, CCEL 
  6. ^ Catechism of the Catholic Church, Chapter 2, The Vatican, art. 3 Sacred Scripture, III. The Holy Spirit, interpreter of Scripture, diarsipkan dari versi asli tanggal 2001-01-25 
  7. ^ "Baltimore Catechism". 
  8. ^ Versi Latinnya terdapat di halaman 15 di sini.
  9. ^ Sproul, R. C., dkk. Knowing Scripture. jld. Edisi revisi, IVP Books, 2009.
  10. ^ Joseph Fitzmyer (1992), Romans, Anchor Bible Commentary, 33, New York: Doubleday, hlm. 647–48 
  11. ^ "Biblical Theology and the Analogy of Faith". Daniel Fuller. Diakses tanggal 2009-03-08. 
  12. ^ Calvin, John (1950), "Prefratory Address, 2 dan Buku IV, bab 17, 32", dalam McNeill, John T, Institutes of the Christian Religion, Library of Christian Classics, 2 jilid, Philadelphia: Westminster Press, 1:12; 2:1404 
  13. ^ Hodge, Charles, "6. The Protestant Rule of Faith", Systematic Theology, CCEL 
  14. ^ Introduction to Nature and Grace: Selections from the Summa Theologica of Thomas Aquinas, Philadelphia: The Westminster Press, 1954, hlm. 28.

Further reading

  • Sproul, R. C., et al. Knowing Scripture, revised edition, IVP Books, 2009. EBSCO host

Templat:Private revelation

-->