Suku Sabu
Suku Sabu (Dou Hawu; juga dikenal sebagai Savu, Sawu, atau Hawu) adalah kelompok etnis yang mendiami Pulau Sawu dan Pulau Raijua di Nusa Tenggara Timur. Mereka masih memiliki keterkaitan dengan masyarakat Sumba di sebelah barat laut.[2]
Dou Hawu | |
---|---|
Jumlah populasi | |
135.000 (2000)[1] | |
Daerah dengan populasi signifikan | |
Sawu dan Raijua | |
Bahasa | |
Sabu, Indonesia | |
Agama | |
Kekristenan (terutama Protestan) dan Jingi Tiu | |
Kelompok etnik terkait | |
Sumba dan Dhao |
Asal-usul
Menurut syair-syair kuno masyarakat Sabu, suku ini berasal dari daerah bernama Hura yang berada di negeri jauh sebelah barat Pulau Sawu. Pendatang-pendatang ini kemudian juga mendiami Pulau Raijua. Kelompok ini datang dibawah kepemimpinan Kika Ga dan Hawu Ga. keturunan Kika Ga kemudian menjadi suku Sabu.[3]
Budaya
Masyarakat Sabu mengukur waktu dalam satuan yang berkisar antara enam hingga 49 tahun, bergantung pada domainnya.
Masyarakat Sabu juga dikenal sangat mementingkan silsilah mereka, dan nama dipilih untuk menghindari pengulangan nama dalam silsilah yang dibacakan selama pertunjukan ritual seperti pada pemakaman, di mana hubungan orang yang meninggal dengan leluhurnya dikenang. Penghafalan silsilah juga telah diamati dalam budaya tetangga, di Rote dan Kedang.
Seperti di banyak daerah lain di Indonesia, sirih sangat populer, begitu pula tuak yang dibuat dari sawit, serta getahnya, diminum langsung dari pohonnya.[4] Pohon palem diperlakukan dengan sangat hormat, dan pendeta apu lodo yang dianggap keturunan matahari mengawasi musim penyadapan palem.
Arsitektur
Rumah masyarakat Sabu dibangun di atas tiang,[5] dan dirancang menyerupai perahu, dengan balok depan menyerupai busur. Ada juga unsur antropomorfik dalam terminologi yang digunakan untuk menyebut bagian-bagian rumah.[6]
Musik
Musik Sabu didasarkan pada gong,[7] dan biasanya mengiringi tarian tradisional. Tarian dho'a yang dikenal dengan sebutan padho'a dalam bahasa Melayu Kupang dibawakan secara melingkar, berpegangan tangan, dengan penari memutar kaki searah jarum jam, mengenakan kedhu'e (kacang yang dibungkus dengan daun lontar untuk membuat mainan kerincingan). padho'a berasal dari bahasa Sabu "pe dheja dho'a". Tarian ledo hawu dibawakan secara berpasangan, laki-lakinya memakai genta.
Agama dan kepercayaan
Jingi Tiu
Agama tradisional masyarakat Sabu disebut Jingi Tiu. Masing-masing wilayah Sabu dipimpin oleh Dewan Pendeta Jingi Tiu. Jingi Tiu adalah agama politeistik, dengan dewa bumi, laut, dan langit, serta banyak roh kecil lainnya.
Protestantisme
Penginjilan dimulai pada tahun 1854, dan semakin berkembang setelah tahun 1861, ketika Esser, seorang residen Belanda di Kupang, memanggil sekolah dan guru Kristen dari Ambon di Sabu.[8] Sejak tahun 1970an, ketika bangsa Indonesia mendorong masyarakat di seluruh Indonesia untuk memeluk agama Islam atau Kristen, Protestantisme sedang naik daun, dengan 80% masyarakat Sabu kini menjadi Protestan, dan Jingi Tiu mengalami kemunduran. Meskipun demikian, banyak aspek kepercayaan Jingi Tiu yang masih mempengaruhi ibadah Kristen di Sabu.
Lihat juga
Referensi
- ^ "Sabu in Indonesia". PeopleGroup.org. Diakses tanggal 2014-09-24.
- ^ Melalatoa, M. Junus. (1995). Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
- ^ "Website Portal OPD- Pemerintah Kabupaten Sabu Raijua". opd.saburaijuakab.go.id. Diakses tanggal 2020-05-02.
- ^ http://www.thejakartaglobe.com/travel/history-and-lethargy-on-sabu-island/378141
- ^ "Rumah Adat Sawu or Savu". Panoramio. Diakses tanggal 2015-01-21.
- ^ "Archived copy". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-07-24. Diakses tanggal 2010-11-07.
- ^ "::Welcome to Tourism Web of Kupang Regency::". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-07-21. Diakses tanggal 2010-11-07.
- ^ Catholics in Indonesia: 1808 - 1942 : a documented history