Kesultanan Jambi

Kesultanan Melayu Di Sumatera
Revisi sejak 14 Januari 2024 21.10 oleh Hulubalang melayu jambi (bicara | kontrib) (Sumber salah)

Kesultanan Jambi adalah sebuah kerajaan Melayu Islam yang pernah berdiri di provinsi Jambi, Indonesia.[1][2][3] Kesultanan ini sebelumnya bernama kerajaan Melayu Jambi yang didirikan oleh Putri Pinang Masak keturunan dari Raja Pagaruyung ananggawarman (anak dari adityawarman) yang memerintah di hilir sungai batanghari.. Putri pinang masak memiliki 2 saudara yakni Putri Panjang Rambut 1 yang memerintah di muaro pijoan dan saudara lainnya putri bungsu yang memerintah di hulu sungai batanghari (melahirkan keturunan raja-raja pagaruyung)

Kesultanan Jambi

1615–1904
Peta Kerajaan Melayu Jambi, meliputi kawasan sebagian wilayah Riau dan semenanjung Palembang utara.
Peta Kerajaan Melayu Jambi, meliputi kawasan sebagian wilayah Riau dan semenanjung Palembang utara.
Ibu kotaTanah Pilih (sekarang Kota Jambi)
Bahasa yang umum digunakanMelayu Jambi
Agama
Islam
PemerintahanMonarki Kesultanan
Sultan 
• 1615–1643
Sultan Abdul Kahar
• 1900–1904
Sultan Thaha Syaifuddin
Sejarah 
• Didirikan
1615
• dibubarkan Belanda
1904
Didahului oleh
Digantikan oleh
kslKesultanan
Melaka
kslKesultanan
Demak
Hindia Belanda
Indonesia
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Putri Pinang Masak menikah dengan Datuk Paduko Berhalo (Ahmad Salim) yang berasal dari Turki, pada tahun 1460.[4][5] Putri pinang memiliki 4 orang anak yakni Orang Kayo Pingai, Orang Kayo Kedataran, Orang Kayo Hitam dan Orang Kayo Gemuk. Setelah Putri Pinang Masak turun tahta, tahta Raja diwariskan ke Orang Kayo Pingai, dilanjutkan ke Orang Kayo Kedataran dan berikutnya ke Orang Kayo Hitam. Dari keturunan Orang Kayo Hitam inilah menjadi Raja Jambi berikutnya. Dalam perkembangannya, pada tahun 1615 kerajaan ini resmi menjadi kesultanan setelah Pangeran Kedah naik takhta dan menggunakan gelar Sultan Abdul Kahar.[6][7] Kesultanan Jambi resmi dibubarkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1906 dengan sultan terakhirnya Sultan Thaha Syaifuddin.[8][9]

Sejarah

Pendirian

Wilayah Jambi dulunya merupakan wilayah Kerajaan Melayu dan kemudian menjadi bagian dari pendudukan wilayah Sriwijaya. Berdirinya kesultanan Jambi bersamaan dengan bangkitnya Islam di wilayah Jambi. Pada 1616 Jambi merupakan pelabuhan terkaya kedua di Sumatra setelah Aceh. Pada 1670 kerajaan ini sebanding dengan tetangga-tetangganya seperti Johor dan Palembang.[10]

Masa kejayaan

 
Koin timah yang pernah digunakan di wilayah Jambi dan Palembang, sekitar tahun 1804-1820

Sejak pertengahan abad ke-16, para penguasa Jambi mengadakan perdagangan lada yang menguntungkan dengan bangsa Portugis, Inggris, dan Belanda. Kegiatan perdagangan itu juga melibatkan bangsa China, Melayu, Makassar, dan Jawa. Kehidupan ekonomi Kesultanan Jambi yang makmur akibat kegiatan perdagangan inilah yang mampu membawa kerajaan menuju masa kejayaan di bawah Sultan Abdul Kahar.

Sultan Jambi yang pertama ini berhasil membawa kerajaannya menjadi makmur berkat monopoli perdagangan lada dan pengenaan bea ekspor. Bahkan, pada 1616, ibu kota Jambi sudah dipandang sebagai pelabuhan terkaya kedua di Sumatera, setelah Aceh. Berdasarkan data VOC, Sultan Jambi meraup keuntungan 30-35 persen dari lada yang terjual. Sultan Abdul Kahar juga dikatakan sebagai penguasa yang kuat, bahkan tidak takut dengan tuntutan Raja Johor dan tidak pernah mau bekerja sama dengan VOC.

Peperangan

  • Perang Jambi-Johor

Selama abad ke-16, Jambi menjadi terkenal berkat lada yang ditanam di dataran tinggi. Pada tahun 1615 Kompeni Belanda dan Kompeni Inggris mendirikan pangkalan-pangkalan mereka masing-masing di kawasan tersebut. Pada masa itu, Jambi bersekutu dengan Johor, akan tetapi kemudian timbul sejumlah perselisihan ketika mereka menyatakan berhak mengendalikan Kuala Tungkal, yaitu sebuah kawasan di perbatasan Jambi dengan Indragiri yang merupakan jalan masuk ke kawasan pedalaman tempat lada ditanam.

Sekitar tahun 1671 dan 1674, perselisihan yang berkepanjangan itu memuncak menjadi sebuah konflik terbuka, orang laut yang tunduk pada penguasa Jambi merompak kapal-kapal di perairan Johor, sementara orang laut dari Johor melancarkan aksi serupa di Jambi. Armada Johor bahkan berlayar masuk ke Sungai Batanghari dan mengancam ibukota Jambi. Namun, hubungan mereka kemudian membaik dan di tahun 1681 para penguasa Jambi dan Johor masih bersedia untuk membina suatu persekutuan guna menghadapi saingan bersama mereka yaitu Palembang. Orang Laut dari kedua kerajaan menyerang kapal-kapal dagang di perairan Palembang dan juga menjarah kawasan pesisir.

Kemunduran

Setelah VOC menyodorkan perjanjian dagang kepada Kesultanan Jambi, dengan tujuan melakukan monopoli. Sultan Abdul Kahar menolak perjanjian tersebut, memilih mengundurkan diri dari takhta dan kedudukannya digantikan oleh Pangeran Depati Anom atau Sultan Agung. Perjanjian pertama Kesultanan Jambi dengan VOC pun dilakukan, yang perlahan membawa kemunduran bagi kerajaan.

Kejayaan Jambi tidak berumur panjang, pada tahun 1680-an, Jambi mulai kehilangan kedudukannya sebagai pelabuhan lada utama setelah pertempuran dengan pihak Johor. Selain itu, adanya penyelundupan dan utang, juga menjadi penyebab runtuhnya Kesultanan Jambi, yang diperparah dengan campur tangan Belanda dalam politik kerajaan.

Keruntuhan

 
Lukisan, penyerangan kapal Belanda di keraton Sultan Jambi, 8 september 1858

Berbeda dari penguasa sebelumnya, Sultan Thaha Syaifuddin menolak keras perjanjian dengan Belanda. Bahkan utusan Belanda yang beberapa kali datang untuk menyodorkan perjanjian kepadanya selalu dihindari. Akibatnya Belanda marah dan melayangkan serangan pada 1858, hingga berhasil menguasai istana.

 
Kediaman Sultan Ahmad Nazaruddin di Dusun Tengah (sekarang di desa Rambutan Masam, Batanghari), sekitar tahun 1877-1879

Dalam serangan itu Sultan Thaha melarikan diri, sehingga Panembahan Prabu kemudian diangkat oleh Belanda menjadi penguasa baru di Kesultanan Jambi dengan gelar Sultan Ahmad Nazaruddin. Masa itu kesultanan Jambi masih mengendalikan Ibukota (Kota Jambi), namun Sultan Ahmad Nazaruddin tinggal di Dusun Tengah, tiga atau empat hari perjalanan dari Ibukota, di sebuah rumah sederhana dari papan. Ketika Sultan Thaha dalam pelarian, Kesultanan Jambi sempat dipimpin oleh beberapa sultan di bawah pengaruh Belanda. Kesempatan datang ketika terjadi kekosongan kekuasaan pada 1899, setelah Sultan Zainuddin dicopot oleh Belanda.

 
Pangeran Ratu Martaningrat menyerah kepada pihak Belanda, sekitar tahun 1903-1904

Pada tahun 1903, Pangeran Ratu Martaningrat, keturunan dari Sultan Thaha menyerah kepada Belanda. Kemudian Jambi digabungkan dengan keresidenan Palembang. Kesultanan Jambi benar-benar berakhir, saat Sultan Thaha dibunuh oleh Belanda di persembunyiannya pada 1904. Kesultanan Jambi resmi dibubarkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada 1906 dan berhasilnya Belanda menguasai wilayah-wilayah Kesultanan Jambi, maka Jambi ditetapkan sebagai Keresidenan Jambi.

Geografi

Jambi berkembang di wilayah cekungan Batang Hari, sungai terpanjang di Sumatra. Sungai ini, dan anak-anak sungainya, seperti Batang Tembesi, Batang Tabir dan Batang Merangin, merupakan tulang punggung wilayah tersebut. Sungai Tungkal yang berbatasan dengan Indragiri memiliki cekungan tangkapan air sendiri. Sungai-sungai itu merupakan andalan transportasi utama Jambi.

Kependudukan

Penduduk Jambi relatif jarang. Pada 1852 jumlah penduduk diperkirakan hanya sebanyak 60.000 jiwa, dan Jambi Timur nyaris tidak berpenghuni. Etnis Melayu Jambi berdiam dipinggiran sungai Batang Hari dan Batang Tembesi. Orang Kubu menghuni hutan-hutan, sedangkan orang Batin mendiami wilayah Jambi Hulu. Pendatang dari Minangkabau disebut sebagai orang Penghulu, yang menyatakan tunduk pada orang-orang Batin.[butuh rujukan]

Pemerintahan

Kesultanan Jambi dipimpin oleh raja yang bergelar sultan. Raja ini dipilih dari perwakilan empat keluarga bangsawan (suku): suku Kraton, Kedipan, Perban dan Raja Empat Puluh. Selain memilih raja keempat suku tersebut juga memilih pangeran ratu, yang mengendalikan jalan pemerintahan sehari-hari.[butuh rujukan] Dalam menjalankan pemerintahan pangeran ratu dibantu oleh para menteri dan dewan penasihat yang anggotanya berasal dari keluarga bangsawan. Sultan berfungsi sebagai pemersatu dan mewakili negara bagi dunia luar.

Menurut R. Sahabuddin (1954) dalam buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jambi (1978/1979), pemerintahan di pusat Kesultanan Jambi dipimpin oleh seorang sultan yang dibantu oleh pangeran ratu (putra mahkota) yang memimpin Rapat Dua Belas. Rapat Dua Belas terdiri atas dua bagian:

  • Kerapatan Patih Dalam (Dewan Menteri Dalam)
  • Kerapatan Patih Luar (Dewan Menteri Luar)

Masing-masing kerapatan terdiri dari 6 orang, 1 orang ketua dan 5 orang anggota.

Kerapatan Patih Dalam diketuai oleh Putra Mahkota yang bergelar Pangeran Ratu dengan para anggota yang diberi gelar :

  • Pangeran Adipati
  • Pangeran Suryo Notokusumo
  • Pangeran Jayadiningrat
  • Pangeran Aryo Jayakusumo
  • Pangeran Notomenggolo atau Pangeran Werokusumo

Kerapatan Patih Dalam pada hakekatnya merupakan Majelis Kerajaan (Rijksraad) yang berfungsi sebagai lembaga legislatif (DPR) pada masa sekarang.

Daftar penguasa

 
Sultan Thaha Syaifuddin, Sultan terakhir Kesultanan Jambi

Nama-nama dibawah menggunakan ejaan modern yang mungkin berbeda dari ejaan dalam dokumen asli. Nama nasab (patronim gaya Arab) juga tidak disertakan dalam daftar berikut.

No Periode Nama Penguasa Nama/Gelar Lain
Sebagai Kerajaan Melayu Jambi
1 1460 – 1480 Datuk Paduka Berhala dan Putri Selaras Pinang Masak Ahmad Salim, Ahmad Barus II
2 1480 – 1490 Orang Kaya Pingai Sayyid Ibrahim
3 1490 – 1500 Orang Kaya Kedataran Sayyid Abdul Rahman
4 1500 – 1515 Orang Kaya Hitam[11][12] Sayyid Ahmad Kamil
5 1515 – 1540 Panembahan Rantau Kapas Pangeran Hilang diair
6 1540 – 1565 Panembahan Rengas Pandak
7 1565 – 1590 Panembahan Bawah Sawo
8 1590 – 1630 Panembahan Kota Baru
Sebagai Kesultanan Jambi
9 1615 – 1630 Pangeran Kedah Sultan Abdul Kahar[a]
10 1630 – 1679 Sultan Agung[b][13] Sultan Abdul Jalil, Pangeran Dipati Anom, Pangeran Ratu
11 1679 – 1687 Sultan Anom Ingalaga[13][14] Sultan Abdul Muhyi, Sultan Muhammad Syafi'i, Pangeran Anom, Pangeran Ratu, Raden Penulis
12a 1687 – 1719 Sultan Kiai Gede[15] Raden Cakra Negara, Pangeran Dipati
12 1691 – 1710 Pangeran Pringgabaya[c][16] Sri Maharaja Batu Johan Pahlawan Syah, Raden Julat
13 1719 – 1725 Sultan Astra Ingalaga[d][17][18] Sultan Surya Ingalaga, Raden Astrawijaya, Panembahan Puspanegara
14 1725 – 1726 Sultan Muhammad Syah Pangeran Suryanegara
(13) 1727 – 1742 Sultan Astra Ingalaga Sultan Surya Ingalaga, Raden Astrawijaya, Panembahan Puspanegara
15 1743 – 1770 Sultan Ahmad Zainuddin Anom Sri Ingalaga[17] Pangeran Sutawijaya
16 1777 – 1790 Sultan Mas’ud Badaruddin Ratu Sri Ingalaga[17]
17 1805 – 1826 Sultan Mahmud Muhyiuddin Agung Sri Ingalaga[19] Pangeran Wangsa, Raden Danting
18 1827 – 1841 Sultan Muhammad Fakhruddin Anom Sri Ingalaga[20] Pangeran Ratu Cakra Negara
19 1841 – 1855 Sultan Abdul Rahman Nasiruddin Ratu Anom Dilaga[20] Pangeran Ratu Martaningrat
20 1855 – 1858 Sultan Thaha Saifuddin Agung Sri Ingalaga[e][21] Pangeran Ratu Jayaningrat
21 1858 – 1881 Sultan Ahmad Nasiruddin Ratu Inga Dilaga[22] Panembahan Prabu
22 1881 – 1885 Sultan Muhammad Muhieddin bin Abdul Rahman
23 1885 – 1899 Sultan Ahmad Zainuddin Ratu Sri Ingalaga[23]
(20) 1900 – 1904 Sultan Thaha Saifuddin Agung Sri Ingalaga[24] Pangeran Ratu Jayaningrat
1906 Dibubarkan Belanda
Modern (Sebagai Simbol Adat)
[25][26]
25 2022- Sekarang Sayyid Fuad bin Abdurrahman KDYMM Sayyid Fuad bin Abdurrahman Baraqbah[27][28][29][30]

Galeri

Catatan

  1. ^ Mukti Zubir (1987:29-30) menyatakan bahwa Sultan Abdul Kahar-lah yang pertama menggunakan gelar Sultan di Jambi dan mengubahnya menjadi kesultanan. Meski kerap dilansir, Arifullah (2015:130) menuturkan bahwa ini adalah pendapat modern yang tidak memiliki bukti sejarah kuat. Andaya (1993:59, 102, 315) mencatat bahwa Panembahan Kota Baru memerintah bersama putra mahkotanya hingga keduanya meninggal pada tahun 1630, namun ia tidak mencatat bahwa sang putra pernah memerintah sendiri atau dinobatkan sebagai Sultan. Menurut Andaya, cucu Panembahan Kota Baru-lah yang pertama kali memakai gelar Sultan pada tahun 1669.
  2. ^ Menurut Andaya (1993:72, 95), penggunaan gelar Sultan pertama di Jambi bermula dari Sultan Agung pada tahun 1669. Penggunaan gelar ini diprakarsai oleh putra Sultan Agung yang kemudian melanjutkan penggunaan gelar Sultan pada masa pemerintahannya.
  3. ^ Dicatat Andaya (1993:132-135, 152), Pangeran Pringgabaya adalah adik dari Sultan Kiai Gede yang tidak bersedia mengakui kekuasaannya. Ia mendirikan keraton pecahan yang dimimpin dirinya sendiri di wilayah Muara Tebo, Jambi
  4. ^ Sultan Astra Ingalaga adalah putra dari Pangeran Pringgabaya. Dicatat Andaya (1993:159), pada Januari 1725 massa yang dipimpin Raden Demang (cucu Kiai Gede) menuntut agar Sultan baru dinobatkan dari garis keturunan Kiai Gede dan menyekap Astra Ingalaga. Astra Ingalaga berhasil melarikan diri, namun kubu Raden Demang mengangkat Pangeran Suryanegara (putra Kiai Gede) sebagai Sultan Muhammad Syah. Posisi Astra Ingalaga baru bisa kembali dikukuhkan setelah Muhammad Syah meninggal akibat cacar pada tahun 1726.
  5. ^ Nama beliau seringkali ditulis dengan huruf Latin sebagai "Thaha Syaifuddin" dalam media Indonesia kontemporer, namun cap nama yang digunakan Thaha sendiri (lihat Gallop, 2019:242) menggunakan طاه سيفادين, bukan طاه شيفادين

Rujukan

  1. ^ Sejarah Kerajaan Islam di Sumatera Pada gramedia.com diakses 19 Juni 2021
  2. ^ Kerajaan Jambi, Kerajaan Islam yang dikhianati VOC Pada merdeka.com 24 Maret 2016
  3. ^ Kesultanan Jambi: Sejarah, Wilayah, Dan Perkembangan Pada dgraft.com 28 Desember 2020
  4. ^ Datuk Paduka Berhala Pangeran Turki Yang Mengislamkan Jambi Pada historyofcirebon 16 Oktober 2018
  5. ^ Datuk Paduka Berhala, Anak Raja Turki yang Persunting Putri Pinang Masak Pada melayupedia.com 30 Desember 2021
  6. ^ Sejarah Provinsi Jambi Pada Dinas Pendidikan Provinsi Jambi
  7. ^ Kesultanan Jambi / Prov. Jambi – Sumatera Pada sultanindonesiaeblog
  8. ^ Sultan Thaha, Pejuang Jambi yang Tak Lelah Melawan Belanda Pada sindonews.com 6 Juli 2015
  9. ^ Thaha Syaifuddin: Masa Muda, Kepemimpinan, dan Akhir Hidup Pada kompas.com 14 Juni 2021
  10. ^ Barbara Watson Andaya, "Laporan Tiga Penduduk Jambi tentang Ancaman dari sejumlah Kapal Perang Johor di Sungai Batanghari, 11 September 1714". Dalam: Harta Karun. Khazanah Sejarah Indonesia dan Asia-Eropa dari arsip VOC di Jakarta, dokumen 10. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 2013.
  11. ^ Orang Kayo Hitam, Penguasa Jambi yang Tak Bisa Ditaklukkan Raja Jawa Pada sindonews.com 29 Juni 2015.
  12. ^ Kisah Orang Kayo Hitam dan Keris Siginjai yang Melegenda, Hingga Terbunuhnya Pembuat Keris Sakti Pada tribunnews.com 2 Januari 2019.
  13. ^ a b Gallop 2019, hlm. 239.
  14. ^ Andaya 1993, hlm. 318.
  15. ^ Andaya 1993, hlm. 319.
  16. ^ Andaya 1993, hlm. 322.
  17. ^ a b c Gallop 2019, hlm. 240.
  18. ^ Andaya 1993, hlm. 315.
  19. ^ Gallop 2019, hlm. 241.
  20. ^ a b Gallop 2019, hlm. 242.
  21. ^ Profil Pahlawan Nasional Sultan Thaha Syaifuddin di merdeka.com
  22. ^ Gallop 2019, hlm. 243.
  23. ^ Gallop 2019, hlm. 244.
  24. ^ Sultan Thaha, Melawan Belanda hingga Darah Penghabisan Pada koransulindo.com 21 Juli 2020
  25. ^ s
  26. ^ Rujukan kosong (bantuan) 
  27. ^ S
  28. ^ G
  29. ^ R
  30. ^ T

Daftar Pustaka

  • Arifullah, Mohd. (2015). "Hegemoni Islam dalam Evolusi Epistemologi Budaya Melayu Jambi" (PDF). Kontekstualita. 30 (1): 124-137. 
  • Andaya, Barbara Watson (1993). To Live as Brothers: southeast Sumatra in the seventeenth and eighteenth centuries (dalam bahasa Inggris). University of Hawaii Press. ISBN 9780824814892. 
  • Brown, Iem (2009). The Territories of Indonesia. London: Routledge. hlm. 268. ISBN 9781857432152. 
  • Gallop, Annabel Teh (2019). Malay Seals from the Islamic World of Southeast Asia: content, form, context, catalogue (dalam bahasa Inggris). Lontar Foundation in association with British Library. ISBN 9789813250864. 
  • Locher-Scholten, Elsbeth (2004). Sumatran Sultanate and Colonial State: Jambi and the Rise of Dutch Imperialism, 1830–1907 (dalam bahasa Inggris). Cornell University Press. ISBN 9781501719387.  Lihat pula edisi Bahasa Indonesia: Locher-Scholten, Elsbeth (2008). Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial: Hubungan Jambi-Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya Imperialisme Belanda. KITLV. ISBN 9789791079150. 
  • Janowski, Monica; Kerlogue, Fiona (2007). Kinship and Food in South East Asia. Copenhagen: NIAS Press. hlm. 68. ISBN 9788791114939. 
  • Mukti, Zubir (1987). Sejarah Peranan Hukum Adat dan Adat Istiadat Jambi. Muara Bungo. 

Pranala luar