Daeng Soetigna
Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. |
Daeng Soetigna (13 Mei 1908 – 8 April 1984) adalah seorang guru yang lebih terkenal sebagai pencipta angklung diatonis. Karya dia inilah yang berhasil mendobrak tradisi, membuat alat musik tradisional Indonesia mampu memainkan musik-musik Internasional. Ia juga aktif dalam pementasan orkes angklung di berbagai wilayah di Indonesia.
Daeng Soetigna | |
---|---|
Lahir | 13 Mei 1908 Garut, Hindia Belanda |
Meninggal | 8 April 1984 Bandung, Indonesia | (umur 75)
Kebangsaan | Indonesia |
Pekerjaan | Pemusik, pemain angklung |
Dikenal atas | Pencipta angklung diatonis |
Daeng secara umum adalah nama yang berasal dari Sulawesi Selatan, tapi sebetulnya kedua Orangtua Daeng Soetigna asli Bangsawan Sunda, Ayahanda beliau memiliki seorang Sahabat yang cerdas dan mengagumi Sahabatnya tersebut yang berasal Sulawesi Selatan sehingga beliau ingin anaknya cerdas seperti Sahabatnya tersebut sehingga diberi nama “Daeng Soetigna”.
Biografi
Masa Kanak-kanak
Pak Daeng Soetigna Lahir di Garut pada tanggal 13 Mei 1908. Karena kedua orang tuanya termasuk bangsawan Sunda, Pak Daeng beruntung dapat menikmati pendidikan zaman Belanda yang saat itu masih sangat terbatas bagi pribumi. Sekolah yang sempat dia enyam adalah:[1]
- HIS Garut (tahun 1915 - 1921), sebagai murid angkatan kedua (2).
- Sekolah Raja (Kweekschool) Bandung (tahun 1922). Tahun 1923 Kweekscholl diubah namanya menjadi HIK (Hollands Islandsche Kweekschool). Daeng akhirnya lulus tahun 1928.
Setelah lulus HIK, Daeng langsung menjadi guru. Pada umur 45 tahun, Pak Daeng mengikuti beberapa pendidikan lanjut:
- Tahun 1954, Pak Daeng ikut kursus B-1 (setara D-3), dan berhasil lulus ujian akhir. Namun Pak Daeng tidak mendapat ijazah Diploma, karena menurut panitia dia tidak berhak.
- Tahun 1955, dikirim bersekolah di Teacher's College Australia sebagai salah satu kontingen dalam program Colombo Plan.
Keluarga
Pak Daeng Soetigna menikah dua kali:
- Istri pertama adalah Ugih Supadmi (menikah tahun 1930, bercerai), dan dikaruniai tiga orang anak yaitu: Aam Amalia, Tedja Komala dan Emma
- Istri kedua adalah Masjoeti (menikah tahun 1938), mendapat empat orang anak: Iwan Suwargana, Erna Ganarsih, Itin Gantinah, dan Utut Gartini.
Karier
Setelah tamat dari HIK, Pak Daeng Soetigna menjadi guru.
- Tahun 1928, menjadi guru di Schakelschool Cianjur
- Tahun 1931, menjadi guru HIS di Kuningan
- Tahun 1942, seiring kedatangan Jepang, HIS diubah menjadi SR (Sekolah Rakyat), dan Pak Daeng diangkat menjadi kepala sekolah
- Tahun 1945, setelah proklamasi berdirilah SMP Kuningan I di mana sebagian gurunya diambil dari SR, termasuk Pak Daeng.
- Tahun 1948, Pak Daeng pindah ke Bandung dan menjadi kepala sekolah SD, dan diperbantukan pada Jawatan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat.
- Tahun 1950, menjadi penilik sekolah dan diperbantukan pada kursus-kursus di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta.
- Tahun 1956, sepulang dari Australia Pak Daeng diangkat menjadi konsultan pengajaran seni suara di SGA 2 Bandung, SGA Kristen Jakarta, SGA 1 Jogjakarta, SGA Balige dan SGA Ambon.
- Tahun 1957, menjabat sebagai Kepala Jawatan Kebudayaan Jawa Barat.
- Tahun 1960, diangkat sebagai Kepala Konservatori Karawitan (KOKAR) Bandung.
- Tahun 1964, Pak Daeng pensiun dari pengabdiannya sebagai pegawai negeri sipil.
Masa Tua
Pak Daeng pensiun sebagai pegawai negari sipil pada tahun 1964 (saat berumur 56 tahun). Dengan bebasnya dia dari tugas rutin sebagai pegawai pemerintah, maka Pak Daeng aktif mengembangkan angklung. Dia melatih di berbagai kelompok angklung seperti SD Soka, SD Santo Yusup, dan SD Priangan. Demikian pula perkumpulan ibu-ibu Militer maupun suster di gereja RS Santo Borromeus. Atas jasa-jasanya, pada masa tuanya inilah Pak Daeng mulai memperoleh berbagai penghargaan, termasuk SATYALANCANA KEBUDAYAAN dari Presiden RI.
Setelah pengabdiannya yang panjang dalam mengangkat musik angklung dari kelas pengemis ke kelas konser, Pak Daeng Soetigna wafat pada tanggal 8 April 1984, dan dikebumikan di Cikutra, Bandung.
Karya
Karya terbesar Pak Daeng Soetigna adalah memodifikasi Angklung yang tadinya bernada pentatonis menjadi diatonis. Angklung ini kemudian diberi nama kehormatan sebagai Angklung Padaeng. Selain itu, Pak Daeng juga seorang komposer yang telah menulis puluhan aransemen lagu angklung.
Guru
Dalam menciptakan angklung Padaeng, Daeng Soetigna berguru kepada:[1]
- Pengemis tua (tidak tercatat namanya) yang memainkan lagu "Cis kacang Buncis" dengan angklung tradisionil. Pak Daeng kemudian membeli peralatan angklung tersebut, dan mendapat inspirasi untuk memakai angklung sebagai alat mengajar seni musik, menggantikan alat seperti mandolin dan biola yang saat itu sangat mahal.
- Pak Djaja adalah seorang empu pembuat angklung yang saat itu sudah sepuh. Pak Djaja dengan senang hati menerima ide Pak Daeng untuk membuat angklung diatonis, dan menurunkan pengalaman puluhan tahunnya, sehingga angklung dengan tangga nada diatonis itu berhasil terwujud.
- Pak Wangsa adalah petani yang memberi tahu bahwa bambu akan awet jika di potong pada saat uir-uir berbunyi. Itu adalah tanda musim kemarau sudah mulai dan bambu berada pada keadaan kering.
- Pak Setiamihardja adalah sobat pak Daeng sewaktu masih di Kuningan. Setelah pak Setiamihardja juga pindah di Bandung, dialah tangan kanan Pak Daeng dalam membuat angklung, karena sangat terampil dan apik mengerjakan angklungnya. Tidak heran, karena Pak Setia adalah seorang guru kerajinan tangan.
Penghargaan
Penghargaan yang diberikan kepada Pak Daeng di antaranya:
- Piagam Penghargaan, atas Jasanya Dalam Bidang Kesenian Khususnya dan Kebudayaan Pada Umumnya, dari Gubernur Jawa Barat Brigjed Mashudi, 28 Februari 1968.[1]
- Piagam Penghargaan, dalam rangka mendorong pertumbuhan, pemekaran dan pengembangan keseniang angklung di ibu kota, dari Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, 10 September 1968.[1]
- Tanda Kehormatan Satya Lencana Kebudayaan, dari Presiden Republik Indonesia, Jend. Soeharto, 15 Oktober 1968.[1]
- Piagam Penghargaan, atas jasa dalam pembinaan dan pengembangan seni daerah, khususnya seni Angklung, dari Gubernur Jawa Barat H.A. Kunaefi, 17 Agustus 1979.[1]
Setelah meninggal, Pak Daeng masih terus menerima penghargaan, di antaranya:
- Piagam Penghargaan, sebagai perintis Pembangunan Pariwisata Jawa Barat, dari Gubernur Jawa Barat, R. Nuriana, 18 Februari 1994.[1]
- Piagam Penghargaan, seniman angklung yang telah berkreasi dan berkarya mengharumkan nama Jawa Barat di tingkat Nasional, dari Gubernur Jawa Barat, Danny Setiawan, 21 Juli 2005.[1]
- Piagam Penghargaan dan Metronome Award 2006, sebagai pengembang musik tradisional Angklung, dari Pusat Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu, dan Penata Musik Rekaman Indonesia, 21 Juli 2005.[1]
- Penghargaan Nasional Hak Kekayaan Intelektual 2013, Pencipta Angklung, Menteri Hukum dan Hak Asasi Republik Indonesia, Amir Syamsudin, 26 April 2013.