Panitia Sembilan

Panitia perumus Piagam Jakarta
Revisi sejak 21 Februari 2024 14.44 oleh AABot (bicara | kontrib) (~cite)

Panitia Sembilan adalah kelompok yang dibentuk pada tanggal 1 Juni 1945, diambil dari suatu Panitia Kecil ketika sidang pertama BPUPKI. Panitia Sembilan dibentuk setelah Ir. Soekarno memberikan rumusan Pancasila. Adapun anggotanya adalah sebagai berikut:

  1. Ir. Sukarno (ketua)
  2. Drs. Mohammad Hatta (wakil ketua)
  3. Mr. Alexander Andries Maramis (anggota)
  4. Abikoesno Tjokrosoejoso (anggota)
  5. Abdoel Kahar Moezakir (anggota)
  6. H. Agus Salim (anggota)
  7. Mr. Achmad Soebardjo (anggota)
  8. Kiai Haji Abdul Wahid Hasjim (anggota)
  9. Mr. Mohammad Yamin (anggota)
Hasil rapat Panitia Sembilan

Setelah melakukan kompromi antara 4 orang dari kaum kebangsaan (nasionalisme) dan 4 orang dari pihak Islam, tanggal 22 Juni 1945 Panitia Sembilan menghasilkan rumusan dasar negara yang dikenal dengan Piagam Jakarta (Jakarta Charter) yang berisi:

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.

Dan perjuangan pergerakan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan Rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Atas berkat Rahmat Allah Yang Mahakuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya.

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah-darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam Hukum Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan Rakyat dengan berdasar kepada: "Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat-kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia".

Jakarta, 22-6-1945[1]

Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang bersidang sesudah Proklamasi Kemerdekaan, menjadikan Piagam Jakarta sebagai Pendahuluan bagi Undang-Undang Dasar 1945, dengan mencoret bagian kalimat dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Alasannya.Untuk menjaga persatuan dan kesatuan karena ada keberatan oleh pihak lain yang tidak beragama Islam.[2]

Perubahan pada UUD 45 dalam piagam jakarta

Pada sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945, Hatta mengusungkan 4 perubahan pada UUD 45 yang telah disusun oleh panitia sembilan dalam piagam Jakarta yaitu:

1) Kata “Mukadimah” diganti dengan kata “Pembukaan”.

2) Dalam Preambul (Piagam Jakarta), anak kalimat “berdasarkan kepada ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diubah menjadi “berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.

3) Pasal 6 ayat 1 “presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam” kata-kata “beragama Islam” di coret.

4) Sejalan dengan perubahan yang kedua di atas, maka pasal 29 ayat 1 menjadi “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai pengganti “Negara berdasarkan atas ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.[3]

Tokoh yang mengusulkan 5 dasar negara untuk dicantumkan ke dalam piagam Jakarta

Musyawarah pengukuhan BPUPKI yang berlangsung dari tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945 membahas tentang pokok-pokok dasar negara. Dengan demikian, terbukti bahwa BPUPKI memperdebatkan pembentukan dasar negara pada muktamar pertama yang berujung pada pembentukan Pancasila. Tiga peserta rapat mengemukakan lima prinsip negara untuk piagam Jakarta, antara lain:

Moh. Yamin dalam pidatonya pada tanggal 29 Mei 1945 mengemukakan 5 (lima) dasar negara Indonesia yakni:

- Peri Kebangsaan;

- Peri Kemanusiaan;

- Peri Ketuhanan;

- Peri Kerakyatan;

- Kesejahteraan Rakyat.


Namun pada akhir pidatonya Moh. Yamin secara tertulis menyampaikan gagasannya tersebut yang rumusan kalimatnya agak berbeda sebagai berikut:

1. Ketuhanan Yang Maha Esa;

2. Kebangsaan Persatuan Indonesia;

3. Rasa Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab;

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan;

5. Keadilan sosial bagi seluruh Indonesia.[4]


Tanggal 31 Mei 1945 Prof. Dr. Soepomo mengusulkan dasar negara sebagai berikut:

- Persatuan;

- Kekeluargaan;

- Keseimbangan lahir dan batin;

- Musyawarah;

- Keadilan rakyat.


Ir. Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945 menyampaikan lima hal yang menjadi dasar negara merdeka, yaitu:

- Kebangsaan Indonesia;

- Internasionalisme atau kemanusiaan;

- Mufakat atau demokrasi;

- Kesejahteraan sosial;

- Ketuhanan yang berkebudayaan.

Pemikiran ketiga orang tersebut kemudian dikaji oleh Panitia Sembilan pada tanggal 22 Juni 1945, yang pada akhirnya melahirkan suatu rumusan yang dikenal dengan Piagam Jakarta, yang memberikan gambaran tentang maksud dan tujuan dasar negara Indonesia merdeka.[5]

Referensi

  1. ^ Jakarta, 22-6-1945
  2. ^ Hatta, Mohammad (2015). Politik, Kebangsaan, Ekonomi (1926-1977). Jakarta: Kompas. hlm. 310. ISBN 9789797099671. 
  3. ^ Rosman, Edi (2018). "Implementasi Politik Hukum Islam Dalam Perumusan Piagam Jakarta". ISLAM TRANSFORMATIF: Journal of Islamic Studies. 02 (1): 1–16. 
  4. ^ Muslimin, Husein (2016). "TANTANGAN TERHADAP PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI DAN DASAR NEGARA PASCA REFORMASI". Jurnal Cakrawala Hukum. 07 (1): 30–38.  line feed character di |title= pada posisi 46 (bantuan)
  5. ^ Putri Utami, Lensi. "Sumber sosiologis pancasila sebagai dasar negara". osf.io.