Koteka
Koteka adalah pakaian untuk menutup kemaluan laki-laki dalam budaya sebagian penduduk asli Pulau Papua. Kata koteka sendiri berasal dari bahasa mee yang berarti pakaian. Koteka terbuat dari Moncong burung taun-taun (Rhyticeros plicatus) dan kulit labu.[1] Mulut burung taun-taun ini dapat diperoleh dengan cara berburu, sedangkan labu air (lagenaria siceraria) ini ditanam dan diproses sehingga berbentuk yang dinamakan koteka yang digunakan oleh kaum laki-laki.
Tak sebagaimana anggapan umum, ukuran dan bentuk koteka tak berkaitan dengan status pemakainya. Ukuran biasanya berkaitan dengan aktivitas pengguna, hendak bekerja atau upacara. Banyak suku-suku di sana dapat dikenali dari cara mereka menggunakan koteka. Koteka yang pendek digunakan saat bekerja, dan yang panjang dengan hiasan-hiasan digunakan dalam upacara adat.
Namun, setiap suku memiliki perbedaan bentuk koteka. Orang suku Yali, misalnya, menyukai bentuk labu yang panjang untuk humi mereka. Sedangkan orang Lani di Tiom biasanya memakai dua labu untuk membentuk kobeba.
Operasi Koteka
Sejak 1950-an, para misionaris mengampanyekan penggunaan celana pendek sebagai pengganti koteka. Ini tidak mudah. Suku Dani di Lembah Baliem saat itu kadang-kadang mengenakan celana, tetapi tetap mempertahankan koteka.
Pemerintah RI sejak 1960-an pun berupaya mengurangi pemakaian koteka. Melalui para gubernur, sejak Frans Kaisiepo pada 1964, kampanye antikoteka digelar.[2]
Pada 1971, dikenal istilah "operasi koteka" dengan membagi-bagikan pakaian kepada penduduk. Akan tetapi karena tidak ada sabun, pakaian itu akhirnya tak pernah dicuci. Pada akhirnya warga Papua malah terserang penyakit kulit.
Walau seiring waktu, koteka semakin kurang populer dipakai sehari-hari.
Referensi
- ^ "Jurnal Penelitian Arkeologi Papua dan Papua Barat". jurnalarkeologipapua.kemdikbud.go.id. Diakses tanggal 2022-02-08.
- ^ Wiryono, Singgih. Asril, Sabrina, ed. "Masa Kelam Koteka Era Orba, Warga Papua Dirazia dan Dipaksa Pakai Celana Pendek". Kompas.com. Diakses tanggal 2020-02-27.