Bekerja seadanya

Revisi sejak 9 Juli 2024 03.15 oleh Regina Jawa (bicara | kontrib) (membuat artikel baru)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Bekerja seadanya atau quiet quitting adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan perilaku karyawan yang bekerja seadanya sesuai dengan tanggung jawab posisi yang dimilikinya. Dalam konteks ini, karyawan menjalankan tugas dan tanggung jawab mereka hanya sebatas apa yang diharapkan, tanpa melakukan usaha ekstra atau melebihi apa yang diperlukan. Fenomena ini dapat dilihat sebagai bentuk penolakan terhadap budaya kerja yang menuntut karyawan untuk selalu melakukan lebih dan terus-menerus berada dalam tekanan untuk produktif[1].

Secara umum, quiet quitting berarti bekerja seperlunya saja dan tidak berlebihan. Memberi kesempatan bagi seseorang untuk menikmati hidup di luar dunia kerja yang menjadi kewajibannya. Karyawan yang mengadopsi quiet quitting tidak melihat pekerjaan sebagai sesuatu yang harus diutamakan secara berlebihan sehingga memerlukan waktu tambahan untuk lembur atau membawa pekerjaan ke rumah. Mereka hanya akan mengerjakan pekerjaan tersebut sesuai dengan tanggung jawab pekerjaan, gaji, dan jam kerja yang telah disepakati.

Arti quiet quitting secara harfiah adalah ‘berhenti diam-diam’. Namun, dalam konteks ini, istilah tersebut justru merujuk pada karyawan yang tetap bertahan di pekerjaannya, tetapi dengan etos kerja yang berbeda. Mereka tetap menjalankan tugas dan tanggung jawab mereka, tetapi tanpa mengorbankan waktu dan energi di luar jam kerja yang ditetapkan.

Quiet quitting banyak dikaitkan dengan generasi milenial dan generasi pekerja terkini, Gen Z. Para pekerja muda ini lebih peduli dengan gaya hidup seimbang dan termotivasi oleh keuangan. Mereka menolak untuk terjebak dalam budaya kerja yang mengharuskan mereka untuk selalu berusaha lebih keras tanpa henti. Sebaliknya, mereka lebih fokus pada keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan, serta memastikan bahwa pekerjaan tidak mengambil alih seluruh waktu dan energi mereka.

Tujuan utama dari quiet quitting adalah untuk menciptakan work-life balance yang ideal, berarti mengenali batas antara kehidupan pribadi dan pekerjaan, serta memastikan bahwa pekerjaan tidak mengganggu waktu untuk keluarga, hobi, dan kegiatan lain di luar pekerjaan. Dengan mengadopsi quiet quitting, karyawan dapat menjaga kesehatan mental dan fisik mereka, serta meningkatkan kepuasan hidup secara keseluruhan.

Fenomena quiet quitting bisa dibilang berlawanan dengan hustle culture[2]. Hustle culture adalah budaya kerja yang menekankan pentingnya bekerja keras dan terus-menerus berusaha lebih. Dalam hustle culture, karyawan sering kali merasa harus bekerja lebih dari yang diharapkan, mengambil pekerjaan tambahan, dan mengorbankan waktu pribadi demi mencapai kesuksesan profesional. Sebaliknya, quiet quitting menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, serta menolak tekanan untuk selalu produktif dan bekerja tanpa henti.

Penyebab

Fenomena quiet quitting, di mana karyawan bekerja seadanya sesuai dengan tanggung jawab posisi yang dimilikinya tanpa melakukan usaha ekstra, telah menjadi perhatian di dunia kerja modern. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab munculnya fenomena ini, terutama di kalangan pekerja muda. Berikut adalah penjelasan mengenai penyebab quiet quitting.

  • Perubahan pola pikir selama pandemi

Kemunculan quiet quitting sangat dipengaruhi oleh perubahan pola pikir yang dialami oleh para pekerja muda selama masa pandemi Covid-19. Pandemi telah membawa perubahan besar dalam cara kita bekerja, termasuk penerapan sistem work from home (WFH) dan hibrida. Bekerja dari rumah atau dalam sistem hibrida telah memberikan fleksibilitas yang lebih besar bagi pekerja, tetapi juga memunculkan tantangan baru terkait pengakuan dan kompensasi dari perusahaan.

  • Pengaruh sistem Work From Home (WFH) dan hibrida

Selama pandemi, banyak perusahaan yang mengadopsi sistem WFH atau hibrida, yang memungkinkan karyawan untuk bekerja dari rumah atau secara bergantian antara rumah dan kantor. Meskipun sistem ini menawarkan fleksibilitas, banyak pekerja muda yang merasa bahwa usaha ekstra mereka tidak diakui atau dihargai oleh perusahaan. Bekerja dari rumah sering kali berarti batas antara kehidupan pribadi dan profesional menjadi kabur, dan karyawan merasa harus selalu tersedia untuk pekerjaan tanpa mendapatkan kompensasi atau pengakuan yang sesuai.

  • Minimnya apresiasi dan lingkungan kerja yang kurang bersahabat

Salah satu penyebab utama quiet quitting adalah minimnya apresiasi dari perusahaan terhadap usaha ekstra yang dilakukan oleh karyawan. Selama pandemi, semakin banyak pekerja muda yang merasa tidak mendapatkan pengakuan dan kompensasi yang layak dari kantor mereka. Lingkungan kerja yang kurang bersahabat, di mana kontribusi karyawan tidak dihargai, dapat menimbulkan rasa frustrasi dan keputusasaan. Karyawan yang merasa tidak dihargai cenderung mengurangi usaha mereka dan hanya bekerja sesuai dengan yang diharapkan tanpa berusaha lebih.

  • Kondisi ekonomi

Quiet quitting juga dipengaruhi oleh kondisi ekonomi yang menantang selama pandemi. Peningkatan inflasi, biaya hidup yang tinggi, dan pendapatan yang tidak ideal menjadi faktor-faktor yang menambah beban psikologis karyawan. Rasa putus asa yang muncul akibat kondisi ekonomi yang sulit membuat karyawan merasa bahwa usaha ekstra mereka tidak sebanding dengan kompensasi yang diterima. Sebagai hasilnya, mereka memilih untuk bekerja seadanya, hanya melakukan pekerjaan yang benar-benar diperlukan dan tidak menghabiskan waktu atau tenaga lebih dari yang diperlukan.

  • Perubahan budaya kerja

Perubahan budaya kerja selama pandemi juga berperan dalam munculnya quiet quitting. Dengan semakin banyaknya perusahaan yang mengadopsi sistem kerja jarak jauh, ada pergeseran dalam ekspektasi dan dinamika kerja. Karyawan menjadi lebih sadar akan pentingnya keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan (work-life balance). Mereka menyadari bahwa bekerja terus-menerus tanpa henti bukanlah jalan menuju kebahagiaan dan kepuasan hidup. Oleh karena itu, banyak karyawan yang memilih untuk menyeimbangkan hidup mereka dengan cara bekerja sesuai porsi dan tidak berlebihan.

  • Fenomena generasi milenial dan Gen Z

Generasi milenial dan Gen Z, yang lebih peduli dengan gaya hidup seimbang dan termotivasi oleh kesehatan mental dan kesejahteraan pribadi, cenderung lebih mudah terpengaruh oleh fenomena quiet quitting. Generasi ini menolak untuk terjebak dalam budaya kerja yang menuntut mereka untuk selalu bekerja lebih keras dan mengorbankan waktu pribadi mereka. Sebaliknya, mereka lebih memilih untuk menjaga keseimbangan hidup dan memastikan bahwa pekerjaan tidak mengambil alih seluruh waktu dan energi mereka.

Dampak

Fenomena quiet quitting, di mana karyawan bekerja hanya sesuai dengan tanggung jawab pokoknya tanpa melakukan usaha ekstra, memiliki dampak yang signifikan bagi perusahaan dan karyawan itu sendiri. Berikut adalah penjelasan mengenai dampak dari quiet quitting.

  • Dampak bagi produktivitas

Salah satu dampak utama dari quiet quitting adalah potensi pengurangan produktivitas di tempat kerja. Menurut laporan dari Indian Express, quiet quitting dapat menyebabkan penurunan produktivitas yang signifikan di beberapa sektor pekerjaan. Sebagai contoh, di Amerika Serikat, tercatat bahwa produktivitas pekerja nonpertanian mengalami penurunan sebesar 2,5 persen pada kuartal kedua 2022 dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Ini merupakan penurunan tahunan tertajam sejak tahun 1948 menurut data dari Biro Statistik Tenaga Kerja.

Penurunan produktivitas ini dapat disebabkan oleh kurangnya motivasi dan keterlibatan karyawan yang mengadopsi quiet quitting. Ketika karyawan hanya melakukan pekerjaan sesuai dengan yang diharapkan tanpa memberikan usaha ekstra atau inisiatif, hal ini dapat memengaruhi kemampuan perusahaan untuk mencapai tujuan dan target yang telah ditetapkan. Kurangnya kolaborasi tim, inovasi, dan pemecahan masalah juga dapat menjadi dampak negatif dari quiet quitting terhadap produktivitas perusahaan secara keseluruhan.

  • Dampak terhadap budaya perusahaan

Quiet quitting juga dapat berdampak pada budaya perusahaan. Ketika karyawan merasa tidak dihargai atau tidak mendapatkan pengakuan yang layak atas usaha mereka, hal ini dapat menciptakan lingkungan kerja yang kurang mendukung dan kurang bersahabat. Minimnya apresiasi dari perusahaan dapat mengurangi motivasi karyawan untuk berkontribusi secara maksimal, serta mempengaruhi moral dan kepuasan kerja mereka.

  • Dampak terhadap keseimbangan kehidupan kerja

Di sisi lain, quiet quitting juga dapat memberikan dampak positif bagi karyawan dalam hal menciptakan keseimbangan antara kehidupan kerja dan kehidupan pribadi. Karyawan yang mengadopsi quiet quitting cenderung lebih mampu menjaga kesehatan mental dan fisik mereka dengan tidak terlalu terlibat dalam tekanan kerja yang berlebihan. Mereka dapat memiliki waktu dan energi yang cukup untuk keluarga, hobi, dan kegiatan lain di luar jam kerja, yang pada akhirnya dapat meningkatkan kebahagiaan dan kualitas hidup secara keseluruhan.

  • Reaksi perusahaan dan adaptasi

Perusahaan perlu merespons fenomena quiet quitting dengan mengidentifikasi penyebabnya dan mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan kepuasan karyawan serta memperbaiki budaya kerja yang mendukung. Hal ini termasuk meningkatkan komunikasi dan pengakuan terhadap kontribusi karyawan, menciptakan kesempatan untuk pengembangan karir, dan mengimplementasikan strategi yang mempromosikan keseimbangan kerja-pribadi yang sehat.

Tanda-tanda

Quiet quitting adalah fenomena di mana karyawan hanya melakukan pekerjaan sesuai dengan yang diharapkan tanpa berusaha lebih atau terlibat secara aktif dalam dinamika perusahaan. Berikut adalah beberapa tanda-tanda quiet quitting yang dapat ditemui di lingkungan kerja.

  • Bekerja hanya di jam kerja

Karyawan yang mengalami quiet quitting cenderung membatasi pekerjaan hanya pada jam kerja yang telah ditetapkan. Mereka tidak akan melakukan pekerjaan di luar jam kerja, termasuk dalam membalas pesan atau email, kecuali jika itu memang merupakan kebutuhan mendesak yang tidak dapat dihindari.

  • Pulang tepat waktu atau lebih awal

Tanda lain dari quiet quitting adalah karyawan yang selalu pulang tepat waktu, bahkan ada yang pulang lebih awal dari jadwal normal. Mereka tidak tertarik untuk menghabiskan waktu lebih di kantor setelah jam kerja berakhir.

  • Tidak aktif dalam berdiskusi

Karyawan yang melakukan quiet quitting cenderung tidak aktif dalam berdiskusi atau pembahasan di tempat kerja. Mereka mungkin menghindari untuk berpartisipasi dalam diskusi tim, brainstorming, atau pertemuan informal yang berhubungan dengan pekerjaan.

  • Menghindari agenda meeting

Mereka juga cenderung menghindari atau jarang menghadiri agenda meeting, terutama yang dianggap tidak langsung berhubungan dengan tugas pokok mereka. Hal ini dapat mengurangi partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan atau perkembangan strategi perusahaan.

  • Kurang aktif dalam acara kantor

Tanda-tanda quiet quitting juga mencakup kurangnya partisipasi dalam acara-acara kantor seperti rapat umum, pelatihan, atau acara sosial perusahaan. Mereka mungkin merasa tidak terlibat secara emosional atau tidak melihat nilai tambah dari kehadiran mereka di acara tersebut.

  • Kurang bergairah untuk mengejar karir atau kenaikan jabatan

Karyawan yang melakukan quiet quitting umumnya kurang bersemangat untuk mengejar karir atau kenaikan jabatan di perusahaan. Mereka mungkin merasa tidak termotivasi untuk mengambil inisiatif dalam mengembangkan diri atau mencari peluang baru.

  • Tidak melibatkan diri dalam aktivitas yang dianggap tidak penting

Mereka cenderung menghindari atau tidak aktif dalam aktivitas tambahan di luar tugas pokok mereka yang dianggap tidak penting atau tidak mendesak. Hal ini termasuk proyek-proyek sukarela atau tugas tambahan yang tidak langsung berhubungan dengan tanggung jawab mereka.

  • Menurunnya produktivitas kerja

Quiet quitting dapat mengakibatkan menurunnya produktivitas kerja secara keseluruhan. Karyawan yang hanya bekerja sesuai dengan yang diharapkan tanpa memberikan usaha ekstra cenderung tidak efektif dalam menyelesaikan tugas mereka dengan baik.

  • Kurang berkontribusi pada tim

Mereka juga kurang aktif dalam berkontribusi pada tim kerja. Karyawan yang mengalami quiet quitting mungkin tidak mengambil inisiatif untuk berkolaborasi dengan rekan kerja atau berbagi ide untuk kemajuan tim secara keseluruhan.

  • Sibuk menyelesaikan pekerjaan individu

Akhirnya, tanda-tanda quiet quitting juga mencakup fokus yang lebih besar pada menyelesaikan pekerjaan individu mereka sendiri tanpa terlibat secara aktif dalam proyek tim atau upaya kolaboratif yang lebih besar.

Kelebihan dan kekurangan

Quiet quitting, meskipun memiliki beberapa kelebihan bagi karyawan, juga memiliki dampak negatif yang perlu dipertimbangkan. Berikut adalah penjelasan mengenai kelebihan dan kekurangan quiet quitting[3].

Kelebihan:

  • Memiliki waktu untuk mencari pekerjaan sampingan

Karyawan yang mengadopsi quiet quitting memiliki keleluasaan waktu yang lebih besar untuk mencari atau menjalankan pekerjaan sampingan. Hal ini dapat membantu meningkatkan pendapatan mereka atau bahkan mengembangkan karir di bidang yang berbeda.

  • Memiliki waktu untuk eksplorasi diri dan mengasah kemampuan baru

Dengan fokus pada pekerjaan sesuai tanggung jawab utama, karyawan dapat menggunakan waktu sisa untuk mengasah kemampuan baru atau mengeksplorasi minat mereka yang belum terpenuhi. Ini bisa berupa mengikuti kursus, mengembangkan keahlian teknis, atau bahkan mengeksplorasi bakat kreatif.

  • Dapat menghabiskan waktu bersama teman atau keluarga

Pekerjaan yang hanya dilakukan sesuai dengan yang diharapkan memungkinkan karyawan untuk memiliki lebih banyak waktu berkualitas dengan teman atau keluarga. Ini mendukung keseimbangan kehidupan kerja-pribadi yang sehat dan meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan.

  • Memiliki waktu istirahat yang cukup

Karyawan yang tidak terlalu terlibat dalam pekerjaan ekstra cenderung memiliki waktu istirahat yang lebih memadai. Istirahat yang cukup penting untuk kesehatan fisik dan mental, sehingga dapat meningkatkan produktivitas saat bekerja.

Kekurangan:

  • Semangat menurun

Salah satu dampak negatif dari quiet quitting adalah menurunnya semangat dan motivasi kerja. Ketika karyawan tidak merasa dihargai atau tidak memiliki kesempatan untuk berkembang lebih jauh, mereka cenderung kehilangan motivasi untuk berkontribusi secara maksimal.

  • Pemutusan hubungan kerja (PHK) karena dinilai performanya kurang baik

Karyawan yang melakukan quiet quitting berisiko menghadapi pemutusan hubungan kerja (PHK) jika kinerjanya dianggap tidak memadai oleh atasan atau perusahaan. Hal ini dapat berdampak negatif pada stabilitas finansial dan keamanan pekerjaan mereka.

  • Sulit mencapai tujuan karir yang diinginkan

Dengan fokus hanya pada pekerjaan dasar, karyawan mungkin kesulitan untuk mencapai tujuan karir yang telah mereka tetapkan. Kurangnya inisiatif dan pengembangan diri dapat menghambat kemajuan mereka dalam hierarki perusahaan atau pencapaian tujuan karir pribadi.

  • Atasan tidak puas dengan hasil kerja karyawannya

Ketidakpuasan atasan terhadap hasil kerja karyawan yang hanya melakukan pekerjaan sesuai dengan yang diharapkan dapat berdampak pada hubungan kerja yang kurang harmonis. Hal ini juga dapat menghambat kemungkinan mendapatkan pengakuan atau promosi di masa depan.

  • Tidak merasa puas dengan apa yang dikerjakan

Karyawan yang melakukan quiet quitting mungkin merasa tidak puas dengan pekerjaan yang mereka lakukan karena kurangnya rasa pencapaian atau prestasi. Ini dapat mempengaruhi kepuasan kerja dan tingkat kebahagiaan mereka di tempat kerja.

Quiet quitting memiliki kelebihan seperti fleksibilitas waktu untuk eksplorasi dan waktu berkualitas dengan keluarga, namun juga memiliki kekurangan yang signifikan seperti menurunnya semangat kerja dan sulit mencapai tujuan karir. Penting bagi karyawan dan perusahaan untuk memahami dampak dari fenomena ini dan mengambil langkah-langkah untuk meminimalkan dampak negatifnya serta memanfaatkan potensi positifnya dengan bijak.

Referensi

  1. ^ Hardiantoro, dkk. (31 Agustus 2022). "Mengenal Fenomena Quiet Quitting yang Sedang Tren di Dunia Kerja". Kompas. Diakses tanggal 7 Juli 2024. 
  2. ^ Novitasari, Lutfia (22 Desember 2023). "Fenomena Quiet-Quitting, Apa Sih Itu?". Website Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Diakses tanggal 7 Juli 2024. 
  3. ^ "Fenomena Quiet Quitting: Bekerja Sesuai Porsi, Bukan Mengejar Ambisi". Narasi Tv. Diakses tanggal 2024-07-09.