Adityawarman adalah pangeran berdarah campuran Minangkabau dan Jawa yang mendirikan Kerajaan Pagaruyung pada tahun 1347, dengan bergelar Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Mauli Warmadewa.

Adityawarman sebagai Bhairawa Amoghapasa, koleksi Museum Nasional, Jakarta.

Asal-Usul

Adityawarman adalah putra dari Adwayawarman menurut prasasti Kuburajo, atau Adwayadwaja menurut prasasti Bukit Gombak. Nama ayahnya ini mirip dengan Adwayabrahma dalam prasasti Padangroco, yaitu seorang pejabat Kerajaan Singhasari yang ikut mengantar arca Amoghapasa sebagai hadiah untuk Kerajaan Dharmasraya pada tahun 1286.

Raja Dharmasraya saat itu adalah Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa. Terlihat adanya kemiripan gelar sehingga dapat diduga kalau Adityawarman adalah keturunan dari Tribhuwanaraja.

Adityawarman dalam Pararaton disebut dengan nama Tuan Janaka yang bergelar Mantrolot Warmadewa [1]. Ibunya bernama Dara Jingga putri Kerajaan Dharmasraya. Dara Jingga bersama adiknya yang bernama Dara Petak tiba di Jawa pada tahun 1293 dikawal oleh Kebo Anabrang, seorang perwira Singhasari yang ditugasi Kertanagara untuk melakukan ekspedisi Pamalayu ke Sumatra. Ahli waris Kertanagara yang bernama Raden Wijaya mengambil Dara Petak dan menyerahkan Dara Jingga kepada seorang “dewa”.

Kerajaan Malayu identik dengan Dharmasraya sehingga Dara Jingga dapat disebut sebagai putri Tribhuwanaraja. Suaminya yang disebut “dewa” ditafsirkan sebagai Adwayabrahma, yaitu pejabat tingkat tinggi berpangkat Rakryan Mahamantri dalam pemerintahan Kertanagara. Jadi Adityawarman adalah putra Adwayabrahma seorang pejabat tinggi Singhasari yang lahir dari Dara Jingga putri raja Dharmasraya.

Namun demikian, ada pendapat lain mengatakan bahwa Adityawarman juga merupakan anak dari Raden Wijaya, yang berarti Raden Wijaya bukan hanya memperistri Dara Petak tetapi juga memperistri Dara Jingga. Hal ini mungkin saja terjadi sesuai dengan tradisi raja-raja Jawa waktu itu.[2]

Muhammad Yamin berpendapat bahwa Adityawarman lahir di Siguntur dekat negeri Sijunjung, Sumatera Barat. Ketika muda dia berangkat pergi ke Majapahit. Ayah bundanya mempunyai perhubungan darah dengan permaisuri raja Majapahit pertama, Kertarajasa. Raja Jayanegara merupakan paman Adityawarman yang tidak memiliki putra. Oleh karena itu, maka menurut adat, Adityawarmanlah putra yang paling dekat untuk pengganti mahkota.[3]

Peran di Majapahit

Adityawarman dilahirkan di Majapahit saat pemerintahan Raden Wijaya (1293–1309). Menurut Pararaton, raja kedua Majapahit, yaitu Jayanagara, adalah putra Raden Wijaya yang lahir dari Dara Petak. Dengan demikian, hubungan antara Adityawarman dengan Jayanagara adalah saudara sepupu sesama cucu Srimat Tribhuwanaraja. Dari versi lain, mereka bukan hanya sesama cucu Srimat Tribuwanaraja tetapi juga saudara seayah sesama anak Raden Wijaya.

Ketika Jayanagara menjadi raja, Adityawarman diangkat sebagai duta besar Majapahit untuk Cina pada tahun 1325. Dalam catatan Cina ia disebut dengan nama Seng-kia-lie-yulan. Saat itu Cina sedang dikuasai oleh Dinasti Yuan yang pernah mencoba menaklukkan Jawa pada zaman Raden Wijaya. Pengiriman duta ini menunjukkan adanya perdamaian antara Majapahit dengan bangsa Mongol.

Pada pemerintahan Tribhuwana Tunggadewi (adik Jayanagara), Adityawarman diangkat sebagai Wreddhamantri, atau menteri senior. Namanya tercatat dalam prasasti Blitar tahun 1330 sebagai Sang Arya Dewaraja Mpu Aditya. Demikian pula pada prasasti Manjusri tahun 1343 disebutkan bahwa, Adityawarman menempatkan arca Maٍjuçrī (salah satu sosok bodhisattva) di tempat pendarmaan Jina (Buddha) dan membangun candi Buddha di Bumi Jawa untuk menghormati orang tua dan para kerabatnya.[4]

Identifikasi dengan Arya Damar

Arya Damar adalah tokoh dalam Kidung Pamacangah dan Babad Arya Tabanan sebagai bupati Palembang yang berjasa membantu Gajah Mada menaklukkan Bali pada tahun 1343 [5]. Tokoh Arya Damar ini berasal dari Kediri. Sejarawan Prof. C.C. Berg menganggapnya identik dengan Adityawarman.[6]

Sementara itu dari catatan Dinasti Ming (1368-1644) menyebut di Sumatra terdapat tiga orang raja. Mereka adalah Seng-kia-li-yulan, Ma-ha-na-po-lin-pang, dan Ma-na-cha-wu-li. Kemungkinan terjadi kesalahan interpelasi, karena pada masa Dinasti Yuan (1271-1368) Adityawarman sendiri yang dikirim sebagai duta ke Cina tahun 1325, dan waktu itu masih menganggap dirinya sebagai bagian dari Majapahit, Namun pada tahun 1375 pengirim utusan ke Cina berikutnya sudah diwakilkan kepada orang kepercayaannya, dan Adityawarman telah memproklamirkan dirinya sebagai penguasa di Swarnnabhumi.[butuh rujukan]

Pindah ke Sumatra

Pada tahun 1339 Adityawarman dikirim sebagai uparaja atau raja bawahan Majapahit untuk wilayah Swarnnabhumi nama lain pulau Sumatra. Selanjutnya, Adityawarman pun menjalankan misi penaklukkan Sumatera bagian utara yang saat itu dikuasai oleh Indrawarman raja Kerajaan Silo, dimana Indrawarman adalah bekas tentara Singhasari yang menolak kedaulatan Majapahit dan memilih mendirikan kerajaan sendiri di daerah Simalungun.

Kemudian pada tahun 1343, Adityawarman mendirikan istana baru bernama Malayapura di Pagaruyung (daerah Minangkabau). Dan pada Prasasti Kuburajo bertarikh 1347 dan beraksara sansekerta diterjemahkan berarti "dikeluarkan oleh Adityawarman, yang merupakan putra dari Adwayawarman dari keluarga Indra. Dinyatakan juga bahwa Adityawarman menjadi raja di Kanakamedini (Swarnnadwipa)". Sedangkan dalam Prasasti Bukit Gombak dinyatakankan Adityawarman putra Adwayadwaja[7].

Ada pendapat yang mengatakan kenapa Adityawarman tidak bertahta di Kerajaan Dharmasraya karena dia tidak memiliki hak atas Kerajaan Dharmasraya, padahal dari sisi ibunya Dara Jingga adalah salah seorang putri dari Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa Raja Dharmasraya sebelumnya seperti yang tercatat pada Prasasti Padangroco, Namun hal ini kemungkinan ada rasa kecewa terhadap Kerajaan Majapahit dan ada keinginan untuk melepaskan diri dari pengaruh Majapahit sehingga kemudian mendorong Adityawarman memindahkan pusat Kerajaan Dharmasraya lebih ke dalam yaitu daerah pedalaman (Pagaruyung) guna menghindari konfrontasi langsung dengan Kerajaan Majapahit, yang pada masa itu lagi gencarnya melakukan penaklukan perluasan wilayah dibawah Mahapatih Gajah Mada.

Namun sepeninggal Gajah Mada, Adityawarman mulai berani untuk melepaskan diri dari pengaruh Kerajaan Majapahit. Ini dibuktikan dengan mengirim duta ke Cina (Dinasti Ming) pada tahun 1375 untuk meminta bantuan dalam usaha memerdekakan diri. Tetapi tidak lama setelah itu, Adityawarman pun meninggal dan digantikan oleh putranya yang bernama Ananggawarman.

Hayam Wuruk sebagai raja Majapahit waktu itu membiarkan saja pemberontakan tersebut, namun begitu Wikramawardhana naik tahta sebagai penganti Hayam Wuruk, mulai mengirimkan pasukan untuk menumpas pemberontakan tersebut pada tahun 1409 dan 1411, pertempuran kedua pasukan terjadi di Padang Sibusuk (hulu sungai Batang Hari), dimana kedua-dua serangan pasukan Kerajayaan Majapahit dapat dipukul mundur. Namun akibat dari serangan tersebut, pengaruh Kerajaan Pagaruyung terhadap daerah jajahannya melemah, dimana daerah-daerah jajahan seperti Siak, Kampar dan Indragiri melepaskan diri dan kemudian daerah-daerah ini ditaklukkan oleh Kesultanan Malaka dan Kesultanan Aceh [8], dan kemudian hari menjadi negara-negara merdeka.

Pemerintahan di Pagaruyung

Setelah memindahkan pusat pemerintahan di Pagaruyung, Adityawarman menyusun sistem pemerintahannya mirip dengan sistem pemerintahan yang ada di Majapahit pada masa itu dan menyesuaikannya dengan karakter dan struktur kekuasaan yang ada pada masyarakat setempat.

Agama

Adityawarman diperkirakan penganut yang taat dari agama sinkretis Buddha Tantrayana dan Hindu Siwa, sebagaimana yang banyak dianut oleh para bangsawan Singhasari dan Majapahit. Ia diperlambangkan dengan arca Bhairawa Amoghapasa. Selama masa pemerintahannya di Pagaruyung, Adityawarman banyak mendirikan biaro (bahasa Minang, artinya vihara) dan candi sebagai tempat pemujaan Dewa Yang Agung. Sampai sekarang, masih dikenal nama tempat Parhyangan yang kemudian berubah tutur menjadi Pariangan, yaitu di Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat.

Referensi

  1. ^ Mangkudimedja, R.M., Serat Pararaton. Alih aksara dan alih bahasa Hardjana HP. Jakarta, Departemen P dan K, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, 1979.
  2. ^ Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara.
  3. ^ Yamin, Muhammad. Gajah Mada, Pahlawan Persatuan Nusantara. Jakarta: Balai Pustaka. hlm. 39. 
  4. ^ Brandes, J.L.A., Beschrijving van de ruïne bij de desa Toempang, genaamd Tjandi Djago in de Residentie Pasoeroean. 's-Gravenhage-Batavia, Nijhoff/Albrecht, 1904.
  5. ^ Darta, A.A. Gde, A.A. Gde Geriya, A.A. Gde Alit Geria. Babad Arya Tabanan dan Ratu Tabanan. Denpasar: Upada Sastra, 1996.
  6. ^ C.C. Berg. 1985. Penulisan Sejarah Jawa. (terj.). Jakarta: Bhratara.
  7. ^ Djafar, Hasan, 1992. Prasasti-Prasasti Masa Kerajaan Melayu Kuno dan Permasalahannya. Dibawakan dalam Seminar Sejarah Melayu Kuno Jambi, 7-8 Desember 1992. Jambi: Pemerintah Daerah Tk I Jambi.
  8. ^ Cheah Boon Kheng, Abdul Rahman Haji Ismail (1998). Sejarah Melayu. the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society. 


Didahului oleh:
-
Raja Pagaruyung
1339–1375
Diteruskan oleh:
Ananggawarman