Kentongan atau yang dalam bahasa lainnya disebut jidor adalah alat pemukul yang terbuat dari batang bambu atau batang kayu jati yang dipahat.[butuh rujukan] Kegunaan kentongan didefinisikan sebagai tanda alarm, sinyal komunikasi jarak jauh, morse, penanda adzan, maupun tanda bahaya.[1] Ukuran kentongan tersebut berkisar antara diameter 40cm dan tinggi 1,5M-2M.[butuh rujukan] Kentongan sering diidentikkan dengan alat komunikasi zaman dahulu yang sering dimanfaatkan oleh penduduk yang tinggal di daerah pedesaan dan pegunungan.[2]

Kentongan dari Vanuatu, Kepulauan Pasifik.

Sejarah

Sejarah budaya kentongan sebenarnya dimulai sebenarnya berasal dari legenda Cheng Ho dari Cina yang mengadakan perjalanan dengan misi keagamaan.[butuh rujukan] Dalam perjalanan tersebut, Cheng Ho menemukan kentongan ini sebagai alat komunikasi ritual keagamaan.[butuh rujukan] Penemuan kentongan tersebut dibawa ke China, Korea, dan Jepang.[butuh rujukan] Kentongan sudah ditemukan sejak awal masehi.[butuh rujukan] Setiap daerah tentunya memiliki sejarah penemuan yang berbeda dengan nilai sejarhnya yang tinggi.[butuh rujukan] Di Nusa Tenggara Barat, kentongan ditemukan ketika Raja Anak Agung Gede Ngurah yang berkuasa sekitar abad XIX menggunakannya untuk mengumpulkan massa.[butuh rujukan] Di Yogyakarta ketika masa kerajaan Majapahit, kentongan Kyai Gorobangsa sering digunakan sebagai pengumpul warga.[1] Di Pengasih, kentongan ditemukan sebagai alat untuk menguji kejujuran calon pemimpin daerah.[1] Di masa sekarang ini, penggunaan kentongan lebih bervariatif.

Cara Memainkan

Kentongan merupakan alat komunikasi zaman dahulu yang dapat berbentuk tabung maupun berbentuk lingkaran dengan sebuah lubang yang sengaja dipahat di tengahnya.[butuh rujukan] Dari lubang tersebut, akan keluar bunyi-bunyian apabila dipukul.[butuh rujukan] Kentongan tersebut biasa dilengkapi dengan sebuah tongkat pemukul yang sengaja digunakan untuk memukul bagian tengah kentongan tersebut untuk menghasilkan suatu suara yang khas.[butuh rujukan] Kentongan tersebut dibunyikan dengan irama yang berbeda-beda untuk menunjukkan kegiatan atau peristiwa yang berbeda.[butuh rujukan] Pendengar akan paham dengan sendirinya pesan yang disampaikan oleh kentongan tersebut. [butuh rujukan]

Manfaat Kentongan

Awalnya, kentongan digunakan sebagai alat pendamping ronda untuk memberitahukan adanya pencuri atau bencana alam.[butuh rujukan] Dalam masyarakat pedalaman, kentongan seringkali digunakan ketika suro-suro kecil atau sebagai pemanggil masyarakat untuk ke masjid bila jam sholat telah tiba.[butuh rujukan] Namun, kentongan yang dikenal sebagai teknologi tradisional ini telah mengalami transformasi fungsi.[3] Dalam masyarakat modern, kentongan dijadikan sebagai salah satu alat yang efektif untuk mencegah demam berdarah.[3] Dengan kentongan, monitoring terhadap pemberantasan sarang nyamuk pun dilakukan.[butuh rujukan] Dalam masyarakat tani, seringkali menggunakan kentongan sebagai alat untuk mengusir hewan yang merusak tanaman dan padi warga. [butuh rujukan]

Kelebihan

Kentongan dengan bahan pembuatan dan ukurannya yang khas dapat dijadikan barang koleksi peninggalan seni budaya masa lalu yang dapat dipelihara untuk meningkatkan pemasukan negara.[2] Kentongan dengan bunyi yang khas dan permainan yang khas menjadi sumber penanada tertentu bagi masyarakat sekitar.[butuh rujukan] Selain itu, kentongan merupakan peninggalan asli bangsa Indonesia dan memiliki nilai sejarah yang tinggi.[butuh rujukan] Perawatannya juga sederhana, tanpa memerlukan tindakan-tindakan khusus. [butuh rujukan]

Kelemahan

Kentongan masih banyak kita temui dalam masyarakat modern, namun fungsi kentongan sebagai alat komunikasi tradisional memiliki sejumlah kekurangan yang menyebabkan tergesernya kentongan tersebut dengan teknologi modern.[1] Kegunaan kentongan yang sederhana dan jangkauan suara yang sempit menyebabkan kentongan tidak menjadi alat komunikasi utama dalam dunia modern ini.[butuh rujukan]

Referensi

  1. ^ a b c d Moertjipto, dkk. 1990. Bentuk-bentuk Peralatan Hiburan dan Kesenian Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasidan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya.
  2. ^ a b Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah (Indonesia). 1985. Ensiklopedi Musik Indonesia Jilid 4. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi, dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.
  3. ^ a b Di jaman modern kentongan masih eksis sebagai alat komunikasi

1. Moertjipto, dkk. 1990. Bentuk-bentuk Peralatan Hiburan dan Kesenian Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasidan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya. [1]

2. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah (Indonesia). 1985. Ensiklopedi Musik Indonesia Jilid 4. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi, dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. [2]

3. Soelaiman, M. Munandar. 1998. Dinamika Masyarakat Transisi: Mencari Alternatif Teori Sosiologi dan Arah Perubahan. Jakarta: Pustaka Pelajar. [3]

4. Widagdo. 2000. Desain dan kebudayaan. Jakarta: Depdiknas.

5. Yunus, Ahmad, Anto Achadiyat, dan Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya (Indonesia). 1994. Nilai dan Fungsi Kentongan pada Masyarakat Bali. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Pusat.

6. Di jaman modern kentongan masih eksis sebagai alat komunikasi [4] id:Bedug

  1. ^ Moertjipto, dkk. 1990. Bentuk-bentuk Peralatan Hiburan dan Kesenian Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasidan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya.
  2. ^ Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah (Indonesia). 1985. Ensiklopedi Musik Indonesia Jilid 4. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi, dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.
  3. ^ Soelaiman, M. Munandar. 1998. Dinamika Masyarakat Transisi: Mencari Alternatif Teori Sosiologi dan Arah Perubahan. Jakarta: Pustaka Pelajar.
  4. ^ Di jaman modern kentongan masih eksis sebagai alat komunikasi