Kultur jaringan
Kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti sekelompok sel atau jaringan yang ditumbuhkan dengan kondisi aseptik, sehingga bagian tanaman tersebut dapat memperbanyak diri tumbuh menjadi tanaman lengkap kembali.[1]
Prinsip
Teknik kultur jaringan memanfaatkan prinsip perbanyakan tumbuhan secara vegetatif.[1] Berbeda dari teknik perbanyakan tumbuhan secara konvensional, teknik kultur jaringan dilakukan dalam kondisi aseptik di dalam botol kultur dengan medium dan kondisi tertentu.[1] Karena itu teknik ini sering kali disebut kultur in vitro. Dikatakan in vitro (bahasa Latin), berarti "di dalam kaca" karena jaringan tersebut dibiakkan di dalam botol kultur dengan medium dan kondisi tertentu.[2] Teori dasar dari kultur in vitro ini adalah Totipotensi.[3] Teori ini mempercayai bahwa setiap bagian tanaman dapat berkebang biak karena seluruh bagian tanaman terdiri atas jaringan-jaringan hidup.[3] Oleh karena itu, semua organisme baru yang berhasil ditumbuhkan akan memiliki sifat yang sama persis dengan induknya.[3]
Metode
Metode perbanyakan tanaman secara in vitro dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu melalui perbanyakan tunas dari mata tunas apikal, melalui pembentukan tunas adventif, dan embriogenesis somatik, baik secara langsung maupun melalui tahap pembentukan kalus.[2] Ada beberapa tipe jaringan yang digunakan sebagai eksplan dalam pengerjaan kultur jaringan.[4] Pertama adalah jaringan muda yang belum mengalami diferensiasi dan masih aktif membelah (meristematik) sehingga memiliki kemampuan regenerasi yang tinggi.[4] Jaringan tipe pertama ini biasa ditemukan pada tunas apikal, tunas aksiler, bagian tepi daun, ujung akar, maupun kambium batang.[5] Tipe jaringan yang kedua adalah jaringan parenkima, yaitu jaringan penyusun tanaman muda yang sudah mengalami diferensiasi dan menjalankan fungsinya.[5] Contoh jaringan tersebut adalah jaringan daun yang sudah berfotosintesis dan jaringan batang atau akar yang berfungsi sebagai tempat cadangan makanan.[5]
Media
Komposisi media yang digunakan dalam kultur jaringan dapat berbeda komposisinya.[6] Perbedaan komposisi media dapat mengakibatkan perbedaan pertumbuhan dan perkembangan eksplan yang ditumbuhkan secara in vitro.[4] Media Murashige dan Skoog (MS) sering digunakan karena cukup memenuhi unsur hara makro, mikro dan vitamin untuk pertumbuhan tanaman. [7]
Nutrien yang tersedia di media berguna untuk metabolisme, dan vitamin pada media dibutuhkan oleh organisme dalam jumlah sedikit untuk regulasi.[8][9] Pada media MS, tidak terdapat zat pengatur tumbuh (ZPT) oleh karena itu ZPT ditambahkan pada media (eksogen).[8] ZPT atau hormon tumbuhan berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman.[8] Interaksi dan keseimbangan antara ZPT yang diberikan dalam media (eksogen) dan yang diproduksi oleh sel secara endogen menentukan arah perkembangan suatu kultur.[8][9]
Penambahan hormon tumbuhan atau zat pengatur tumbuh pada jaringan parenkim dapat mengembalikan jaringan ini menjadi meristematik kembali dan berkembang menjadi jaringan adventif tempat pucuk, tunas, akar maupun daun pada lokasi yang tidak semestinya. [10] Proses ini dikenal dengan peristiwa dediferensiasi. Dediferensiasi ditandai dengan peningkatan aktivitas pembelahan, pembesaran sel, dan perkembangan jaringan.[10]
Prasyarat
Pelaksanaan teknik ini memerlukan berbagai prasyarat untuk mendukung kehidupan jaringan yang dibiakkan.[2] Hal yang paling esensial adalah wadah dan media tumbuh yang steril.[6] Media adalah tempat bagi jaringan untuk tumbuh dan mengambil nutrisi yang mendukung kehidupan jaringan.[2] Media tumbuh menyediakan berbagai bahan yang diperlukan jaringan untuk hidup dan memperbanyak dirinya.[2] Ada dua penggolongan media tumbuh: media padat dan media cair. Media padat pada umumnya berupa padatan gel, seperti agar.[2] Nutrisi dicampurkan pada agar.[2] Media cair adalah nutrisi yang dilarutkan di air.[2] Media cair dapat bersifat tenang atau dalam kondisi selalu bergerak, tergantung kebutuhan.[2]
Lihat pula
Referensi
- ^ a b c (Inggris) Hameed N, Shabbir A, Ali A, Bajwa R. 2006. In vitro micropropagation of disease free rose (Rosa indica L.). Mycopath 4:35-38.
- ^ a b c d e f g h i Gunawan LW. 1987. Teknik Kultur Jaringan. Bogor: Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. Hal. 252.
- ^ a b c (Inggris) Khan IA, Shaw JJ. 1988. Biotechnology in Agriculture. Punjab. Agric. Res. Coordination Board Faisalabad, Pakistan. pp. 2.
- ^ a b c (Inggris) Pierik RLM. 1999. In vitro culture of higher plants. 4th Edition. USA: Kluwer Academic Publishers. Hal. 16-27.
- ^ a b c (Inggris) Evert RF, K.Esau, SE Eichhorn. 2006. Esau's Plant anatomy: meristems, cells, and tissues of the plant body: their structure, function, and development. 3rd edition. New Jersey: John Willey & Sons. Hal. 67-79.
- ^ a b (Inggris) Ali G, Hadi F, Ali Z, Tariq M, Khan MA. 2007. Callus induction and in vitro complete plant regeneration of different cultivars of tobacco (Nicotiana tabacum L.) on media of different hormonal concentrations. Biotechnol. 6:561-566.
- ^ Marlina N. 2004. Teknik modifikasi media Murashige dan Skoog (MS) untuk konservasi in vitro. Buletin Teknik Pertanian 9(1):4-6.
- ^ a b c d (Inggris) Akiyoshi DE et al. 1983. Cytokinin/auxin balance in crown gall tumors is regulated by specific loci in the T-DNA. J. Proc. Natl. Acad. Sci. 80: 407-411.
- ^ a b (Inggris) Soomro R, Yasmin S, Aleem R. 2003. In vitro propagation of Rosa indica. Pakistan Journal of Biological Sciences 6(9):826-830.
- ^ a b (Inggris) Lyndon RF. 1990. Plant Development; The Cellular Basis. London: Unwin Hyman Ltd. Hal. 37-41.