Samarinda Seberang, Samarinda
Samarinda Seberang adalah sebuah kecamatan di Kota Samarinda, Kalimantan Timur, Indonesia. Dengan luas yang hanya 5,64% dari luas keseluruhan, kecamatan ini merupakan kecamatan yang terkecil di Samarinda, tetapi dengan jumlah kepadatan yang paling tinggi.
Samarinda Seberang | |||||
---|---|---|---|---|---|
Negara | Indonesia | ||||
Provinsi | Kalimantan Timur | ||||
Kota | Samarinda | ||||
Pemerintahan | |||||
• Camat | Sumaryadi, S.Sos, M.Si | ||||
Populasi | |||||
• Total | 82,684 jiwa (2.007) jiwa | ||||
Kode Kemendagri | 64.72.02 | ||||
Kode BPS | 6472030 | ||||
Luas | 40,48 km² | ||||
Kepadatan | 2.042 jiwa/km² | ||||
Desa/kelurahan | 8 | ||||
|
Sejarah
Pada saat pecah perang Gowa, pasukan Belanda di bawah Laksamana Speelman memimpin angkatan laut Kompeni menyerang Makassar dari laut, sedangkan Arung Palakka yang mendapat bantuan dari Belanda karena ingin melepaskan Bone dari penjajahan Sultan Hasanuddin (raja Gowa) menyerang dari daratan. Akhirnya Kerajaan Gowa dapat dikalahkan dan Sultan Hasanuddin terpaksa menandatangani perjanjian yang dikenal dengan Perjanjian Bungaya pada tanggal 18 November 1667.
Sebagian orang-orang Bugis Wajo dari kerajaan Gowa yang tidak mau tunduk dan patuh terhadap isi perjanjian Bongaja tersebut, mereka tetap meneruskan perjuangan dan perlawanan secara gerilya melawan Belanda dan ada pula yang hijrah ke pulau-pulau lainnya diantaranya ada yang hijrah ke daerah Kesultanan Kutai, yaitu rombongan yang dipimpin oleh Lamohang Daeng Mangkona (bergelar Pua Ado yang pertama). Kedatangan orang-orang Bugis Wajo dari Kerajaan Gowa itu diterima dengan baik oleh Sultan Kutai.
Atas kesepakatan dan perjanjian, oleh Raja Kutai rombongan tersebut diberikan lokasi sekitar kampung melantai, suatu daerah dataran rendah yang baik untuk usaha Pertanian, Perikanan dan Perdagangan. Sesuai dengan perjanjian bahwa orang-orang Bugis Wajo harus membantu segala kepentingan Raja Kutai, terutama didalam menghadapi musuh.
Semua rombongan tersebut memilih daerah sekitar muara Karang Mumus (daerah Selili seberang) tetapi daerah ini menimbulkan kesulitan didalam pelayaran karena daerah yang berarus putar (berulak) dengan banyak kotoran sungai. Selain itu dengan latar belakang gunung-gunung (Gunung Selili).
Sekitar tahun 1668, Sultan yang dipertuan Kerajaan Kutai memerintahkan Poea Adi bersama pengikutnya yang asal tanah Sulawesi membuka perkampungan di Tanah Rendah. Pembukaan perkampungan ini dimaksud Sultan Kutai, sebagai daerah pertahanan dari serangan bajak laut asal Pilipina yang sering melakukan perampokan di berbagai daerah pantai wilayah kerajaan Kutai Kartanegara. Selain itu, Sultan yang dikenal bijaksana ini memang bermaksud memberikan tempat bagi masyarakat Bugis yang mencari suaka ke Kutai akibat peperangan di daerah asal mereka. Perkampungan tersebut oleh Sultan Kutai diberi nama Sama Rendah. Nama ini tentunya bukan asal sebut. Sama Rendah dimaksudkan agar semua penduduk, baik asli maupun pendatang, berderajat sama. Tidak ada perbedaan antara orang Bugis, Kutai, Banjar dan suku lainnya.
Dengan rumah rakit yang berada di atas air, harus sama tinggi antara rumah satu dengan yang lainnya, melambangkan tidak ada perbedaan derajat apakah bangsawan atau tidak, semua "sama" derajatnya dengan lokasi yang berada di sekitar muara sungai yang berulak, dan di kiri kanan sungai daratan atau "rendah". Diperkirakan dari istilah inilah lokasi pemukiman baru tersebut dinamakan Samarenda atau lama-kelamaan ejaan Samarinda sehingga awal dari pendirian Kota Samarinda adalah dari sebuah kampung yang kini menjadi kecamatan Samarinda Seberang[1].
Samarinda Seberang dulu dan kini
Orang Samarinda zaman dulu beranggapan seberang itu adalah sebuah kampung atau pedesaan. Memang tak bisa dipungkiri kata seberang bagi warga Kaltim identik sekali dengan istilah dusun. Namun di beberapa tahun terakhir ini imej ini berubah drastis menjadi anggapan bahwa seberang bukan lagi kampung melainkan kota.
"Kota Masa Depan", bahkan bisa dikatakan bila Samarinda Seberang saat ini merupakan kota baru yang lebih modern dibanding kota lamanya. Hal ini dibuktikan mengenai perkembangan Samarinda Seberang, Palaran, dan Loa Janan yang berpenduduk lebih dari 200.000 jiwa dari 5 tahun terakhir begitu pesat. Tampak dari pembangunan infrastruktur dan fasilitas kota yang mulai bermunculan seperti Jembatan Mahkota II, Jembatan Mahakam Hulu atau Mahulu, Intek Gunung Lipan, taman rekreasi Jessica Water Park, beberapa ruas jalan yang lebar, RSUD IA Moeis, SMP/SMA/SMK Plus Melati, Stadion Utama Palaran, Sirkuit Kalan, pelabuhan peti kemas yang modern di Palaran, beberapa perkantoran Pemerintah Kota dan Pemerintah Provinsi dan masih banyak lagi fasilitas yang lain. Belum lagi terlihat pembangunan yang dikerjakan dari industri dan sektor swasta khususnya di bidang properti seperti Pesona Mahakam Estate, Grand Taman Sari, dan Bhumi Prestasi Kencana. Daerah Samarinda Seberang dan sekitarnya layak disebut menjadi "Kota Baru".
Letak geografis
Samarinda Seberang terletak pada arah barat daya Kota Samarinda. Kontur wilayah ini mulai dari dataran rendah di tepi sungai hingga menjorok ke darat yang berbukit-bukit.
Batas wilayah
Utara | Sungai Mahakam-Kecamatan Sungai Kunjang dan Samarinda Ulu |
Timur | Sungai Mahakam-Kecamatan Palaran dan Samarinda Ilir |
Selatan | Kecamatan Palaran dan Kabupaten Kutai Kartanegara |
Barat | Sungai Mahakam-Kecamatan Sungai Kunjang |
Demografi
Kependudukan
Penduduk di Samarinda Seberang terdiri dari berbagai macam ras dan etnis, antara lain yang cukup dominan adalah Kutai, Banjar, Bugis, Jawa, Toraja, dan Dayak. Namun, salah satu etnis di kawasan Seberang bagian utara (Kampung Baqa dan Kampung Mesjid) sebagian besar adalah dari suku Bugis yang sejak turun-temurun tinggal di kawasan itu sejak Sultan Kutai memberikan tanah bagi mereka untuk bertempat tinggal dan hidup karena konflik dengan penjajah Belanda di tanah kelahiran mereka, yaitu di Sulawesi bagian selatan. Selain itu juga di kawasan Rapak Dalam dan Sungai Keledang, sebagian besar penduduknya adalah dari suku Banjar yang merantau dari tanah leluhur mereka di Tanah Banjar dikarenakan Kesultanan Banjar telah dihapuskan oleh kolonial Belanda pada tahun 1860 dan Belanda menguasai Tanah Banjar sehingga memaksa ribuan etnis Banjar yang tidak mau tunduk terhadap peraturan-peraturan kolonial untuk meninggalkan tanah kelahiran mereka dan pergi merantau, salah satu tujuan mereka adalah ke Samarinda.
Pembagian administrasi
Kecamatan Samarinda Seberang terbagi dalam 8 kelurahan, yaitu:
- Kampung Baqa dengan kode pos 75132
- Harapan Baru dengan kode pos 75131
- Rapak Dalam dengan kode pos 75133
- Kampung Mesjid dengan kode pos 75132
- Sengkotek dengan kode pos 75391
- Simpang Tiga dengan kode pos 75391
- Sungai Keledang dengan kode pos 75136
- Tani Aman dengan kode pos 75391
Transportasi
Karena pusat perdagangan dan pemerintahan hampir keseluruhan berada di Samarinda Kota, maka diperlukan transportasi untuk mendukung mobilitas penduduk Samarinda Seberang. Penghubung antara Samarinda Kota dengan Samarinda Seberang adalah Jembatan Mahkota I dan Jembatan Mahakam Hulu.
Untuk melayani penduduk Samarinda Seberang yang menggunakan sarana transportasi umum, ada beberapa armada angkutan kota yang siap melayani, antara lain :
- Angkot G warna jingga-merah jurusan Harapan Baru-Pasar Pagi
- Angkot K warna putih-hitam jurusan sepanjang Samarinda Seberang
- Angkot L warna abu-abu jurusan Rapak Dalam-Pasar Pagi
- Angkot I warna kuning jurusan Mangkupalas-Pelabuhan
Selain itu di wilayah Samarinda Seberang terdapat sebuah terminal yang terletak di Jl. Bung Tomo yang melayani jurusan antar kota antar provinsi, yakni Kaltim-Kalsel (dari Samarinda-Balikpapan-Penajam-Paringin-Barabai-Kandangan-Rantau-Martapura-Banjarbaru-Banjarmasin). Terminal ini dapat dicapai dengan transportasi air, yakni "tambangan" dari Pasar Pagi menyeberang ke dermaga menuju terminal dan transportasi darat, yakni dengan angkot K warna putih-hitam.