Theophile de Backere

Revisi sejak 18 Juni 2010 17.20 oleh Armada Riyanto (bicara | kontrib) (←Membuat halaman berisi 'Theophile de Backere CM (1882-1945) adalah seorang pastor Katolik, seorang pemimpin misi CM di wilayah Keuskupan Surabaya (1923-1936), dan seorang Prefek Apostolik yang p...')
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Theophile de Backere CM (1882-1945) adalah seorang pastor Katolik, seorang pemimpin misi CM di wilayah Keuskupan Surabaya (1923-1936), dan seorang Prefek Apostolik yang pertama di Surabaya (Monseigneur) dari tahun 1928 sampai 1936. Msgr. de Backere CM dengan demikian dapat disebut sebagai "uskup" Surabaya yang pertama. Sebelum bertugas sebagai pemimpin misi CM di wilayah karesidenan Surabaya, Rembang, Kediri, dan kemudian Madiun, Romo de Backere CM mengalami tugas-tugas: belajar di Roma, kemudian dosen di Seminari Tinggi St. Jozef di Panningen, direktur novisiat, rektor dan superior domus di Seminari Menengah Wernhoutsburg.

Pada tahun 1923, Romo de Backere CM memimpin rombongan para pastor CM (Romo E. Sarneel CM, Romo C. Klamer CM, Romo Theodore Heuvelmans CM, dan Romo Jan Wolters CM) melakukan tugas misioner di wilayah yang kemudian akan disebut keuskupan Surabaya. Pada tahun 1928, tahun pendirian prefekturat Surabaya, Romo de Backere CM diangkat menjadi Prefek Apostolik Surabaya untuk pertama kalinya. Dalam tahbisannya, Msgr. de Backere CM mengambil moto "Parare vias Domini" (siapkanlah jalan-jalan bagi Tuhan). Oleh para romo CM yang menjadi rekan kerjanya, Msgr. de Backere CM dikenal sebagai pemimpin yang memiliki dedikasi tinggi dan sangat mencintai umatnya. Selama kepemimpinannya yang tidak terlalu lama, karya misi mengalami kemajuan pesat meskipun situasi pada waktu dilanda krisis hebat berkaitan dengan efek malaise ekonomi dunia yang mendera di sekitar tahun-tahun 1930-an ke atas. Kekurangan dana, keterbatasan tenaga, deraan dan tantangan dari kelompok "Indo" (Eropa) yang anti-klerikal pada waktu adalah kerikil-kerikil tajam semasa kepemimpinannya. Pada tahun 1936, kesehatan Msgr. de Backere CM merosot tajam. Keadaan itu memaksa dia harus kembali ke Negeri Belanda. Msgr. de Backere menghembuskan nafasnya tahun 1945 di Panningen, Belanda.

Karya-karya pastoral, pendidikan sekolah, kesehatan, dan yang lain yang ada di Keuskupan Surabaya saat ini dapat dikatakan menemukan benihnya pada waktu misi Romo-Romo yang dipimpin oleh Almarhum Msgr. de Backere CM. Yayasan Yohanes Gabriel yang menaungi puluhan sekolah pada waktu itu (terutama sekolah-sekolah di daerah) adalah bentukannya. Dia juga promotor karya indah yang sekarang menjadi Karya Rumah Sakit di RKZ St. Vincentius, Surabaya. Msgr. de Backere CM-lah yang memanggil para Suster SSpS untuk menangani Rumah Sakit tersebut tahun 1925, dan berkata dalam sambutan pembukaannya bahwa karya ini telah berada di "tangan-tangan yang baik." Dalam dokumen-dokumen surat-surat yang tersimpan di generalat CM, Msgr. de Backere CM sebenarnya telah memanggil para Suster Puteri Kasih (PK) hingga dua kali untuk berkarya di rumah sakit itu. Tetapi, karena keterbatasan jumlah tenaga, Provinsi PK Belanda menolak, dan baru datang ke Indonesia tahun 1931 untuk menangani karya sosial, Panti Asuhan Don Bosco.

Menurut rekan kerja sekaligus anak buahnya, Romo Anton Bastiaensen CM, Msgr. de Backere CM memiliki kepandaian untuk memberi semangat kepada para misionaris muda agar mau belajar dan mencintai kebudayaan Jawa. Msgr. de Backere sendiri sangat mencintai orang-orang Jawa. Dia berkata: "Siapa bisa berbahasa Jawa, dia bisa berkomunikasi dengan empat puluh juta manusia." Pendirian Gereja Puhsarang adalah salah satu cetusan yang dengan penuh kebanggaan ia dukung dan promosikan. Dia adalah pemimpin Gereja yang meletakkan batu pertama pendirian Gereja Keraton Jawa tersebut (Missiefront, Februari 1948, 2-6.

Disamping kecintaannya pada kebudayaan Jawa, Msgr. de Backere CM juga mempromosikan karya pendidikan bagi anak-anak keturunan Tionghoa (Cina). Di Kertosono pernah didirikan sekolah untuk anak-anak Tionghoa.

Msgr. de Backere CM juga sangat entusias untuk memikirkan pendirian seminari, tempat di mana para calon pastor Katolik dibina. Tetapi, rencana itu tak pernah direalisasikan, karena keterbatasan tenaga dan dana. Tahun pendirian seminari menengah di keuskupan Surabaya menunjuk pada peristiwa tahun 1948, ketika beberapa pemuda dibawa oleh Romo Dwidjosoesastro CM (imam CM Indonesia yang pertama) ke pasturan CM di Jalan Kepanjen 9, Surabaya. Saat itulah, seminari di keuskupan Surabaya mulai.

Kemunduran misi Gereja di wilayah keuskupan Surabaya terjadi ketika Msgr. de Backere makin terjepit oleh terbatasnya dana di satu pihak dan kesulitan finansial yang membelit Eropa dan dunia pada umumnya di lain pihak. Dalam kunjungannya ke Belanda pada kesempatan liburan, Msgr. de Backere CM mengatakan bahwa dirinya adalah seorang "uskup" tanpa tongkat kekuasaan; yang dia miliki hanyalah tongkat untuk "mengemis". Dari surat-suratnya, diketahui bahwa Msgr. de Backere sangat tertekan oleh keadaan sulit yang membelit karya Gereja di keuskupan Surabaya yang sangat dia cintai dalam hidupnya. Apalagi, saat-saat tahun kedatangan Nippon (Jepang) tahun 1941, karya misi mengalami kehancuran.

Sungguhpun kepemimpinan Msgr. de Backere CM juga mendapat beberapa kritik tajam dari para rekan misionaris dari CM berkaitan dengan sikap dan kebijakannya yang kaku, ia telah dipandang berjasa sebagai peletak dasar karya pewartaan Injil di sebuah keuskupan yang kelak akan berkembang dengan pesat karena entusiasme umat dan tenaga-tenaga pastoralnya.