Masjid Djami Keraton Landak

Masjid di Kalimantan Barat, Indonesia
Revisi sejak 17 April 2010 14.39 oleh Ezagren (bicara | kontrib) (Menambahkan kategori Kabupaten Landak (HotCat))

Masjid Djami Keraton Landak adalah sebuah masjid yang berlokasi di kompleks Keraton Landak yang terletak di Ngabang, Ibukota Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Kompleks keraton milik Kerajaan Landak ini terdiri dari tiga bagian yang saling melengkapi, yakni istana kerajaan, masjid, serta makam raja dan para kerabatnya. Terletak di utara istana, Masjid Djami' Keraton Landak tampak anggun dan sederhana. Masjid ini masih terawat dengan baik sampai sekarang.

Masjid Djami Keraton Landak

Sejarah

Sejarah masjid ini bermula sejak masa pemerintahan Panembahan Gusti Abdulazis Kusuma Akamuddin (1895-1899) atau raja Landak ke-21. Pada awalnya, Masjid Djami Keraton Landak terletak di tepi Sungai Landak atau di timur istana. Kemudian, beliau memerintahkan agar masjid yang dibangun dengan bahan utama kayu belian khas Kalimantan ini dipindahkan ke sebelah utara istana. Bangunan masjid yang lama kini sudah tidak ada lagi. Saat ini, lokasi masjid lama telah menjadi sebuah kompleks pondok pesantren untuk belajar agama Islam bagi anak-anak di sekitar istana. Kala itu, setelah masjid dipindahkan ke utara istana, Bilal Achmad menjadi Maha Sultan Imam masjid sampai masa pemerintahan Panembahan Gusti Abdulhamid (1922-1943) atau Sultan Landak ke-22. Selanjutnya, Bilal Achmad digantikan oleh Osu Anang dari Banjor hingga Jepang berkuasa di Kalimantan Barat pada medio tahun 1943. Sebagai cagar budaya dan situs sejarah, masjid ini telah beberapa kali mengalami renovasi yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1980-an dan pemerintah daerah pada tahun 2000-an.

Keistimewaan

Di Masjid Djami' Keraton Landak yang memiliki luas bangunan sekitar 400 m² ini, wisatawan akan menangkap nuansa religiusitas masyarakat muslim di Desa Pedalaman yang berada di sekeliling kompleks istana. Apabila mengunjungi masjid ini di kala hari melangkah senja, saat lazuardi di ufuk barat mulai memerah dan menjelang adzan magrib berkumandang, tampak orang-orang mulai mendatangi masjid. Orang tua, pemuda-pemudi, para santri pesantren yang tak jauh dari istana, serta anak-anak kecil berjalan dari berbagai arah dan satu demi satu menuju pintu masjid yang menghadap ke timur. Di dalam masjid itu, jamaah puteri menempati bagian kiri yang disekat dengan tirai kain berwarna putih. Sementara, jamaah laki-laki membuat shaf di bagian tengah depan dan diikuti anak-anak di belakang barisan laki-laki dewasa. Mereka tampak khusuk melaksanakan solat magrib. Selesai sembahyang, sebagian dari mereka biasanya meluangkan waktunya untuk berdzikir sejenak.

Memasuki masjid ini, wisatawan akan mendapati konstruksi bangunan masjid yang tampak sederhana namun kokoh. Dengan kayu belian sebagai unsur utama dan atap sirap yang berbahan serupa, masjid yang memiliki empat pilar dari kayu utuh ini tetap memesona. Hal ini lantaran di tiap sudutnya nampak dihiasi ornamen-ornamen dari kayu berukir ayat-ayat suci Al-Quran dan motif-motif khas Melayu. Perpaduan warna biru muda dan putih gading pada dinding dan pilar-pilar masjid juga menambah sejuk gambaran keseluruhan masjid[1].

Referensi