Warisan Tradisi Mataram

Surakarta atau yang terkenal dengan sebutan Soloadalah kota Kraton Mataram yang pindah akibat kraton lama di Kartasura sudah diduduki oleh kelompok yang dalam istilah jawanya adalah Njongkeng Kawibawan lan Keprabon. Solo dipilih sebagai kota Kerajaan yang baru bagi Mataram

Perjumpaan Kultur Belanda Dengan Jawa

Belanda mendapatkan apa yang diinginkan sehingga hak dan kewenangan untuk mengelola Mataram berada ditangannya setelah Sunan Mataram berhasil diperdaya menandatangani perjanjian. Inilah gaya Belanda dalam mendapatkan kekuasaan di tanah Jawa.

Responsivitas Kultur Jawa

Kemenangan Belanda merebut Mataram mengundang respon kalangan elite dan ningrat jawa yang memobilisasi massa rakyatnya untuk menanggapi style Belanda yang dengan gemilang mencapai maksud dan tujuannya. Mataram melalui para pewaris tahta yang sudah kehilangan keabsahannya serentak bersatu padu angkat senjata melawan Belanda. Ini lah gaya Jawa dalam menanggapi pencurian kekuasaan dari Belanda.Sang Pencuri diburu dan diserbu bersama.

Persatuan itu penting dan memiliki kekuatan maka masyarakat Jawa secara tidak langsung yang terbiasa menyelesaikan masalah dengan kekuatan bersenjata, menghadapi Belanda yang mencuri kekuasaan tumbuh kesadaran untuk bersatu.

Musyawarah Permulaan

Kekuatan yang bersatu di tanah Jawa secara drastis berbalik menjadi perpecahan.Lagi lagi disini style Jawa menampakan karakter yang dalam meraih kekuasaan mengabaikan peran dan pesan sponsor dari yang namanya moral.Dua tokoh pucuk pimpinan barisan yang berkekuatan mampu membekuk Belanda tiba tiba berkonflik sendiri dan pecah kelompok.Dari kelompok Mangkubumi melihat peluang bahwa musyawarah dengan Belanda untuk mencapai kata mufakat memberikan keuntungan untuk mendapat kesempatan memegang kekuasaan di Jawa.Kesempatan emas yang bakal menghilang kalau tidak digunakan dengan sebaik baiknya ini tentu akan melayang hilang.mangkubumi yang sebelumnya bermusuhan dengan Belanda sekarang mengadakan musyawarah di Giyanti untuk mencapai kata mufakat.

Musyawarah Lanjutan

Musyawarah yang sudah di laksanakan di giyanti ternyata hanya permulaan bagi bagi kekuasaan dan disini Mas Said yang dikibuli oleh Mangkubumi melampiaskan kemarahan kepada mereka berdua.Garnisun Belanda dihadang dan dihancurkan kemudian pasukan pasukan yang dikonsentrasikan di Surakarta dan Yogyakarta serta tempat tempat strategis lainnya.Terhadap Mangkubumi disini Mas Said memberi tekanan militer dan ancaman terhadap robohnya Keraton yang sedang dibangun.

Mangkubumi dan Paku Buwono III berunding dengan Belanda untuk nyaman dan tenang dalam mendirikan Kratonnya yang baru. Akhirnya Paku Buwono III mendekati Mas Said untuk berunding dan bermusyawarah.Kesepakatan tercapai dengan hasil mufakat yang berat karena Mas Said memperoleh wilayah dari dua kerajaan terbagi.Dari Yogyakarta dapat Ngawen di Gunung Kidul kemudian dari Surakarta mendapat karanganyar, Wonogiri dan Malangjiwan.

Surakarta dan Yogyakarta dengan berat hati terpaksa melepas wilayah wilayah itu berhubung ingin segera cepat terselesaikannya pembangunan Kraton sehingga dengan segera dapat dihuni dan dipergunakan untuk bekerja sebagaimana layaknya Kerajaan.

Perundingan Magelang

Perundingan di Magelang merupakan suatu muslihat untuk mengakhiri perang yang berlarut larut di Jawa. Perjanjian Giyanti dan Salatiga ternyata masih menyimpan Bara dalam sekam karena tahun 1825-1830 Jawa kembali diacak acak oleh peperangan.

1. Dinasti Baru

Perjanjian Giyanti telah melahirkan dua dinasti baru yaitu Dinasti Pakubuwanan dan Dinasti Hamengkubuwanan sedangkan Perjanjian Salatiga telah melahirkan satu dinasti yaitu Dinasti Mangkunegaran. Dinasti Pakubuwanan memulai silsilah dari Paku Buwono I dan Dinasti Hamengkubuwanan memulai dengan silsilah Hamengku Buwono I, sedangkan Dinasti Mangkunegaran memulai dengan silsilah Mangkunegara I atau Pangeran Sambernyawa.

Tiga dinasti itu pada upacara dan acara keprotocular-an memiliki partner para Residen yang bertugas di wilayah Kerajaan masing masing.

2. Persaingan Dan rivalitas dinasti

Tiga dinasti yang merupakan hasil dari dua perjanjian diatas di dalam kehidupan politik dan lapangan kebudayaan untuk tahun tahun awal berdirinya dinasti sampai jaman Napoleon di jawa, ketiga nya berlomba untuk mencitrakan dan menghasilkan berbagai kreasi baru dalam lapangan politik-ekonomi-kebudayaan-keamanan secara berbeda beda.

Rivalitas antar dinasti diawalnya memang seperti apa yang menjadi pemikiran Soekarno bahwa rasa sentimen yang berlebihan membutakan keharusan untuk bersatu menuju persatuan. Dalam pada itu menjadi tepat pula bila teori darwin yang menyatakan bahwa yang unggul yang menguasai dan mengatur.Keunggulan ini dicapai melalui kekuatan dalam segala lini yang dapat mengatasi segala macam konflik.

3. Tiga serangkai dinasti pendahulu

Tiga serangkai sebagai generasi pendahulu dalam dinasti itu adalah; Paku Buwono III, Hamengku Buwono I dan Mangkunegara I. Dari ketiganya Mangkunegara I adalah yang paling menyulitkan posisi Belanda dalam membuat neraca keseimbangan kekuasaan politik di Jawa.Paku Buwono III dan Hamengku Buwono I terhadap Belanda relatif lebih lunak dan bersahabat ketimbang Mangkunegara I.

Dalam masa pemerintahan Tiga SerangkaiMataram ini berbagai kejadian yang menggoyang keseimbangan selalu muncul silih berganti seiring dengan lemahnya posisi Belanda dalam kekuatan militer dan finansial. Mangkunegara I yang dalam Perjanjian Salatiga dilantik dengan upacara istimewa (Soekanto, Dr., 1952) kerap mbolos untuk tidak hadie dalam audience Kraton Kasunanan dan kalau pun hadir selalu dikawal dengan pasukan bersenjata yang berlebihan.Mangkunegara I terkena aturan harus sowan dalam audience dengan Sunan di Kraton tetapi sering bikin ulah dan akal akalan untuk menunjukan kekuatan dan independensinya.

Perilaku Mangkunegara I ini tak kurang merembet juga ke Yogyakarta yang secara diam diam para perwiranya masih menyimpan simpatik kepada Mangkunegara I. Di Yogyakarta serombongan perwira Belanda terluka di tusuk senjata tikam oleh Raden Rongga Prawiradirja.Insiden ini menyebabkan Sultan turun tangan untuk mendamaikannya.

Kasunanan yang tidak banyak ulah dan menyulitkan Belanda selewat Paku Buwono III terbukti menciptakan kepanikan luar biasa karena persekutuannya dengan kaum ulama yang mengancam terjadinya perang terbuka kembali. Kasunanan menjelang akhir abad 17 menjadi sumber desas desus dan intrik yang menggoyang Jawa.

4. Tiga Serangkai Dinasti Penerus

Perjalanan Mataram yang terpecah dalam tiga dinasti sudah melangkah jauh meninggalkan Giyanti/Sragen dan Salatiga dan para peintisnya telah digantikan oleh para keturunannya yang melanjutkan cita cita dan gagasan gagasannya untuk kerajaan yang menjadi bagiannya. Paku Buwono III wafat tahun 1788, Hamengku Buwono I wafat tahun 1792 dan Mangkunegara I wafat tahun 1795. Hamengku Buwono I dan Paku Buwono III dimakamkan di Astana Imogiri Yogyakarta dan Mangkunegara I dimakamkan di Astana Mangadeg Matesih Surakarta.

Dengan demikian maka pada akhir abad 17 dan awal abad 18 tiga dinasti di jawa ini selanjutnya dipegang oleh; Paku Buwono IV, Hamengku Buwono II dan Mangkunegara II.

Pada awal abad 18 (tahun 1800) VOC-Belanda dibubarkan dan diwarisi oleh pemerintah kerajaan Belanda. KetikaBelanda diserbu Napoleon dan dianeksasi kedalam wilayah Perancis maka wilayah diseberang lautan yaitu Hindia Belanda menjadi kewenangan Perancis yang mengirimkan Daendels datang ke Jawa.

Dalam waktu relatif singkat selama lebih kurang 10 tahun, di jawa telah berganti para Gubernur Jenderal di Batavia dari Perancis ke Inggris kemudian Belanda. Masa pemerintahan Daendels dan Raffless ini dapat diketahui prestasi prestasi tiga dinasti dalam pergaulan dan diplomasinya dengan pemerintaha pendudukan dalam eksistensi dan penampilannya;

a. KaSunanan Surakarta

1). Paku Buwono IV menyesuaikan dan mengadaptasi dengan situasi dan peraturan baru serta menjalin mitra dengan kekuatan politik-ekonomi pengganti VOC-Belanda.

2). Paku Buwono IV menulis dan menghasilkan karya sastra Wulangreh

3). Paku Buwono IV dnga kepiawaian dan lihay menjalankan permainan politik dan issue issue yang menyelamatkan dan untuk kepentingan kerajaannya.

b. KaSultanan Yogyakarta

1). Hamengku Buwono II terjebak kedalam konflik internal kerajaan yang melibatkan kerabat dalam sendiri.Intrik dan konflik yang tidak bisa ditanganinya menyebabkan kemerosotan eksistensi KaSultanan Yogyakarta.

2). Hamengku Buwono II terhimpit oleh jaringan kelompok kelompok kepentingan dalam keraton yang sulit didamaikan dan potensi mengundang campur tangan pihak luar istana untuk memenangkan tujuan dan kepentingan masing masing kelompok yang saling bertikai/konflik.

3). Hamengku Buwono II mengalami pemakzulan sebagai Sultan dengan pemaksaan kekuatan militer yang dilakukan oleh Daendels dan Raffless]].Akibat yang lebih jauh kekuasaan Kasultanan dibelah dengan munculnya Paku Alaman yang mengambil wilayah 4000 karya dari Kasultanan.

c. Mangkunegaran

1). Mangkunegara II membentuk Korps militer bersenjata pilihan dengan nama Legiun mangkunegaran

2). mangkunegara II memperluas wilayah mangkunegaran dari 4000 karya menjadi 5000 karya serta memperbesar jumlah personil Legiun Mangkunegaran' dari 800 menjadi 1150 personil dan akhirnya 1500 personil.

3). Mangkunegara II mengadakan penyerbuan ke Yogyakarta untuk mencegah meluasnya konflik internal keluarga dan mencegah pembubaran KaSultanan Yogyakarta.


5. Dinasti Yang Penuh Konflik

Referensi

  • Soekanto, Dr., Sekitar Jogjakarta (1755-1825) dari Gianti ke Magelang, Djakarta:Mahabarat Amsterdam, 1952.
  • Lombard,Denys, Nusa Jawa: Silang Budaya III (Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris), Jakarta:Gramedia Pustaka Utama,2005.
  • Latif, Yudi, Menyemai Karakter Bangsa, Budaya Kebangkitan Berbasis Kesasteraan, Jakarta: KOMPAS, November 2009.
  • Panitia Forum Mangunwijaya III, Negara Minus Nurani, Esai Esai Kebijakan Publik, Jakarta: KOMPAS, Februari 2009.
  • Sutrisno, Mudji, dan Putranto, Hendar.,(ed)., Hermeneutika Pascakolonial, Soal Identitas, Yogyakarta: Kanisius, 2004.
  • Ricklefs, MC., Indonesia 1200-2004
  • Ricklefs, MC., Jogjakarta Under Sultan Mangkubumi, 1749-1792, Sejarah pembagian Jawa, Yogyakarta:Matabangsa, 2002.