Sindrom Guillain–Barré
Sindrom Guillain–Barré (SGB) atau radang polineuropati demyelinasi akut adalah peradangan akut yang menyebabkan kerusakan sel saraf tanpa penyebab yang jelas. Sindrom ini ditemukan pada tahun 1916 oleh Georges Guillain, Jean-Alexandre Barré, dan André Strohl. Mereka menemukan sindrom ini pada dua tentara yang menderita keabnormalan peningkatan produksi protein cairan otak. Diagnosis SGB dapat dilakukan dengan menganalisa cairan otak dan electrodiagnostic. Indikasi terjadinya infeksi adalah kenaikan sel darah putih pada cairan otak. Sedangkan bila menggunakan electrodiagnostic, dapat melalui pemeriksaan konduksi sel saraf.[1]
Sindrom Guillain–Barré | |
---|---|
Informasi umum | |
Spesialisasi | Neurologi |
Gejala dan Penyebab
Pada kondisi normal, tubuh akan menghasilkan antibodi untuk melawan antigen (zat yang merusak tubuh) ketika tubuh terinfeksi penyakit, virus, atau bakteri. Pada kasus SGB, antibodi malah menyerang sistem saraf tepi dan menyebabkan kerusakan sel saraf. Hal ini ditimbulkan karena antibodi merusak selaput myelin yang menyelubungi sel saraf (demyelinasi). Kerusakan yang ditimbulkan dimulai dari pangkal ke tepi atau dari atas ke bawah. Kerusakan tersebut akan menyebabkan kelumpuhan motorik dan gangguan sensibilitas. Jika kerusakan terjadi sampai pangkal saraf maka dapat terjadi kelainan pada sumsum tulang belakang.
Gejala-gejala yang dapat timbul pada penderita SGB adalah kehilangan sensitivitas, seperti kesemutan, kebas (mati rasa), rasa terbakar, atau nyeri, dengan pola persebaran yang tidak teratur dan dapat berubah-ubah. Kelumpuhan pada pasien SGB biasanya teradi dari bagian tubuh bawah ke atas atau dari luar ke dalam secara bertahap, namun dalam waktu yang bervariasi. Penderita SGB parah, kerusakan dapat berdampak pada paru-paru dan melemahkan otot-otot pernapasan sehingga diperlukan ventilator untuk menjaga pasien agar tetap bertahan. Kondisi penderita dapat bertambah parah karena kemungkin terjadi infeksi di dalam paru-paru akibat berkurangnya kemampuan pertukaran gas dan kemampuan membersihkan saluran pernapasan. Kematian umumnya terjadi karena kegagalan pernapasan dan infeksi yang ditimbulkan.[1]
Pengobatan
- Pertukaran plasma, serupa dengan cuci darah, yaitu penggantian plasma darah menggunakan alat plasmaferesis. Ini dapat membantu pasien untuk bertahan dari sindrom Guillain–Barré atau mencapai kondisi yang lebih baik.
- Pemberikan imunoglobulin intravena (IVIg) dosis tinggi selama lima hari untuk peningkatan kekebalan tubuh.
- Pemberian kortikosteroid dosis tinggi sebagai antiradang. Pada beberapa kasus, pemberian kortikosteroid dapat membantu proses penyembuhan.
Pasien yang berhasil sembuh dari SGB tetap menyisakan kelemahan fungsi tubuh karena sel saraf merupakan jaringan yang tidak bisa kembali dengan sendirinya ketika mengalami kerusakan. Untuk dapat menggerakkan anggota tubuhnya kembali, seperti berjalan, makan, berbicara, atau menulis, pasien harus melakukan terapi dan latihan secara teratur. Dalam jangka waktu satu tahun atau lebih, 85% penderita SGB dapat kembali normal.[1]