Ciherang, Dramaga, Bogor
artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia. |
Ciherang adalah desa di kecamatan Dramaga, Bogor, Jawa Barat, Indonesia.
Ciherang | |||||
---|---|---|---|---|---|
Negara | Indonesia | ||||
Provinsi | Jawa Barat | ||||
Kabupaten | Bogor | ||||
Kecamatan | Dramaga | ||||
Kode Kemendagri | 32.01.30.2002 | ||||
Luas | - Ha | ||||
Jumlah penduduk | - jiwa | ||||
Kepadatan | - jiwa/Ha | ||||
|
Ciherang terletak di barat Kota Bogor. Desa ini berjarak sekitar delapan kilometer dari pusat Kota Bogor. Dari pusat kota, orang bisa menempuh angkutan bernomor 03 jurusan dari terminal Baranangsiang menuju terminal Bubulak atau angkutan kota bernomor 02 tujuan sukasari menuju laladon Pada tahun 2007, ongkos per orang dengan angkutan ini Rp 2500. Kemudian dari Terminal bubulak atau terminal laladon, orang bisa melanjutkan perjalanan dengan angkutan bernomor 16 khusus untuk jurusan ciherang, ongkosnya sebesar Rp 2.000. Angkutan tersedia hanya sampai jam 24.00 WIB, meskipun makin larut malam, jumlah angkutan yang beroperasi hanya tinggal sedikit. Namun tersedia angkutan ojek di pangkalan ojek di terminal laladon rute yang ditempuh yaitu dari terminal laladon menuju ciherang dengan menempuh jalur jalan swadaya yang didirikan oleh masyarakat Ciherang Peuntas melalui jalan persawahan kampung Ciherang Peuntas dengan tarif yang relatif murah yaitu sebesar Rp. 3.000,-. Pada akhir tahun 1980-an, ongkos dari Ciherang hingga Termnial merdeka di pusat kota hanya Rp 100. kemudian naik menjadi Rp 150, Rp 300, Rp 500, hingga tarif hari ini. yang kini terminal berubah manjadi terminal bubulak dan terminal laladon.
Pada tahun 1990-an, waktu tempuh dari pusat kota Bogor menuju desa Ciherang sekitar 25 menit karena jumlah angkutan masih sedikit dan jalan tidak terlalu macet. Kemacetan biasanya hanya terjadi di Pasar Gunung Batu, sekitar 7 kilometer dari Desa Ciherang. Namun di pagi hari, kemacetan tersebut kadang kala membuat mobil dari sejak daerah Loji atau sekitar tiga kilometer dari pasar bergerak lamban.
Karena kemacetan dan sedikitnya angkutan, orang Ciherang yang berangkat bekerja dan sekolah pagi, biasanya menyisihkan waktu sejam sebelum jam bekerja atau sekolah dimulai karena perjalanan yang seharusnya hanya 25 menit saat tidak macet membutuhkan waktu berlipat ganda.
Saat itu, angkutan menuju Kota Bogor dari Ciherang pun hanya satu trayek, yaitu dari terminal Ciherang yang lebih dikenal masyarakat sebagai Stanplas (mungkin ejaan dari bahasa asing tertentu) menuju terminal Merdeka, Bogor yang kini menjadi ruko di sebelah Pusat Grosir Bogor (PGB) Jalan Kebon Jahe.
Pekerja dan pelajar yang memiliki rumah jauh dari Stanplas biasanya menyetop mobil yang menuju Stanplas. Lalu ikut balik lagi menuju Kota Bogor melalui tempat mereka menyetop sebelumnya. Sebab jika tidak demikian, sulit mendapatkan angkutan kosong dari Stanplas. Ada juga yang memilih berjalan kaki menuju Jalan raya Dramaga karena di sana terdapat lebih banyak pilihan angkutan umum dari trayek Petir, Cibeureum, kampus Dalam, Ciampea, Jasinga, dan Leuwiliang yang semuanya menuju pusat Kota Bogor.
Mereka yang berjalan biasanya menempuh jalur aspal melintasi berbagai kampung. dari Stanplas berturut-turut ada Kampung Gang Comel, Kampung Kidul, Kampung Ciherang Listrik, Kampung Gonggo, Kampung Tegal Loceng, Pasar Dramaga, Margajaya, dan Caringin. banyak orang memilih jalan pintas menyebrang jembatan di atas sungai, di belakang Asrama Gilang kencana IPB. Di belakang asrama ini terdapat sebuah derah bernama tegal Loceng, berupa tegalan atau lapangan berumput dan ada menara lonceng warisan Belanda berdiri di sana. Orang-orang zaman dahulu mengatakan lonceng tersebut berfungsi sebagai jam. Sebab pada jam-jam tertentu, pemerintah Kolonial Belanda membunyikannya, entah apa tujuannya. Tegalannya sendiri sering dipakai latihan perang sekitar tahun 1950-an.
Jalan aspal di Ciherang selalu diperbaiki, namun lebih sering tampak berlubang-lubang parah lagi beberapa bulan setelah perbaikan, terutama sepanjang Jalan di dekat Pasar Dramaga. Pasar ini dulu lebih dikenal sebagai pasar Jumat. Kini pasar tersebut lebih semrawut karena di pertigaannya dikepung oleh berbagai toko dan pedagang kaki lima. padahal sekitar tahun 2000-an, ruko di seberang jalan menuju Desa Petir hanyalah rumah tinggal yang asri. Namun kini sudah menjadi ruko beras, warung telekomunikasi, penjaja buah, warung nasi, dan klinik dokter. Akibatnya seringkali arus angkutan terhenti karena kemacetan orang dan manusia.