Monofisitisme
Bagian dari serial tentang |
Kekristenan Timur |
---|
Monofisitisme (berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata, yaitu mono yang berarti satu dan phusis yang berarti tabiat).[1] Jika disatukan, nama ini berarti persatuan tabiat dan dalam bahasa Inggris, dikenal dengan Monophysitism.[1] Monofisit adalah ajaran yang diklaim sebagai ajaran bidaat oleh Konsili Chalcedon pada tahun 451.[1] [2] Aliran ini memahami bahwa Kristus hanya memiliki satu tabiat, yaitu tabiat ilahi.[3]
Awal Mula Monofisit
Cyrillus adalah seorang uskup Aleksandria yang setuju bahwa iman akan inkarnasi Allah hanya terjamin jika communicatio idiomatum diterima tanpa syarat dan gelar Theotokos diberikan kepada bunda Maria, maka akibat ini perhatian Cyrillus tertuju pada soteriologis .[4] Ia menaruh perhatian sekaligus menentang pandangan soteriologis dan pemahaman kodrat Yesus yang dipahami oleh Nestorius.[5] Komentar Cyrillus pada ekaristi Nestorius yang menurutnya dalam ekaristi yang hadir di altar hanyalah tubuh manusia, sehingga daya ilahi tidak ada.[4] Bertolak dari keprihatinan inilah, Cyrillus menegaskan bahwa Logos ilahilah yang menjelma ke dalam Yesus Kristus. Ia meleburkan kedua kodrat demi kesatuan subjek, yaitu kodrat ilahi pada Yesus Kristus.[4] Maka ajaran ini juga diteruskan oleh Rahib Eutykhes.[4] [5]
Perkembangan Monofisit
Tiga Gereja Besar Golongan Monofisit
- Gereja Coptic di Mesir.[2] [5]
- Gereja Abessinia dan Gereja Siria Yakobit.[2] [5]
- Gereja Armenia.[2] [5]
Pemerintahan Yustianus
Yustianus adalah seorang yang dikenal sekali karena keorthodoksannya.[3] Ia seorang kaisar yang memerintah di Byzantium pada tahun 527-565.[3] Dalam masa pemerintahannya, Yustianus dikenal sebagai kaisar yang tidak mau tunduk pada siapapun, bahkan setiap uskup baik dari gereja Timur ataupun Barat harus mematuhi setiap keputusan-keputusannya.[3] Keorthodoksannya dan kerasnya pemerintahan Yustianus, membuat ia mengawasi dengan sangat ketat setiap penyimpangan terhadap Keristen Orthodoks.[3] Selama pemerintahan Yustianus, ia mengangkat sebuah undang-undang baru yang salah satu penekanannya adalah mengagungkan kekuasaan kaisar, menekankan juga pengaruh besar dari bapak-bapak gereja dan uskup di seluruh wilayah kekaisarannya, karena inilah akhirnya pengaruh gereja mencapai puncaknya di wilayah Timur.[3] Selain kejayaan dalam masa kekaisarannya, Yustianus juga terpengaruh oleh karakter Kontantinus dalam usahanya mengembalikan kemuliaan kekaisaran yang murni.[3] Maka usaha ini didukung oleh isterinya, yaitu Ratu Theodora yang dikenal sebagai pendukung Monofisit yang teguh.[3] Atas dukungan besar dari isterinya untuk merebut kembali Afrika Utara, Italia, Sardinia, Sisilia, dan Spanyol bagian Selatan dan juga usaha untuk menyatukan kelima uskup, yaitu: Roma, Konstantinopel, Anthiokhia, Aleksandria, dan Yerusalem dilihat sebagai pengaruh besar yang membuat Yustianus akhirnya menerima Monofisit.[3]
Teologi Monofisit
Monofisit melihat bahwa tabiat yang Yesus miliki hanyalah tabiat tabiat yang satu dan kudus (ilahi).[3] Terdapat dua doktrin utama dalam monofisit:
- Eutychianisme meyakini bahwa kodrat manusiawi dan ilahi pada Kristus tergabung menjadi suatu kodrat yang tunggal: kodrat kemanusiannya telah hilang seperti memasukan madu ke dalam laut.[4]
- Apollinarisme mempercayai bahwa Kristus memiliki tubuh dan dasar hidup manusiawi, tetapi Logos Ketuhanan telah mengambil tempat nous, atau "dasar pemikiran", dapat dianalogikan tetapi tidak identik dengan akal.[4]
Golongan-golongan dalam Monofisit
Setelah pisah dari gereja resmi melalui konsili Chalcedon dan berdiri sendiri terjadi juga berbagai pandangan dalam kalangan Monofisit sendiri.[2] Golongan itu adalah:
- golongan Yulianis atau dikenal dengan Aphthartodocetae yang mengajarkan bahwa tubuh Kristus tidak dapat binasa sejak inkarnasi.[2]
- golongan Theopaschitisme yang muncul pada abad ke-6 yang mengajarkan bahwa dalam inkarnasi Yesus, Allah sesungguhnya ikut menderita.[2] Ajaran ini dipelopori oleh Yohanes Maxentius.[2]
Lihat Pula
Catatan kaki
- ^ a b c A. Heuken SJ. 2005. Ensiklopedi Gereja. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka. Hlm.258.
- ^ a b c d e f g h F.D. Wellem. Kamus Sejarah Gereja. 2006. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm.291-292.
- ^ a b c d e f g h i j Michael Collins&Matthew A.Price. 2006. The Story of Christianity: Menelusuri Jejak Kristianitas Yogyakarta: Kanisius. Hlm.75-75, 89,103.
- ^ a b c d e f Nico Syukur Dister. 2004. Teologi Sistematika 1: Allah Penyelamat (Kompendium Sepuluh Cabang berakar Biblika dan berbatang Patristika). Yogyakarta: Kanisius. Hlm.211-223.
- ^ a b c d e Tim Dowley. 1990. The History of Christianity Inggris: Lion Publishing. Hlm.182,184,186,210,249.