Sumberagung, Pracimantoro, Wonogiri
Sumberagung adalah salah satu desa di kecamatan Pracimantoro, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, Indonesia. Sumbaragung terdiri dari 11 Dukuh/Dusun yaitu Pakem Lor, Pakem Kidul, Salam, Klepu, Mesu, Ngelo, Pundungsari, Ngaluran, Karangkulon, Digal dan Miri. Di sebelah selatan Dusun Pakem terdapat sebuah Goa yang dimanfaatkan sebagai sumber penghidupan masyarakat karena didalamnya terdapat mata air yang tak pernah kering walau musim kemarau panjang.
Sumberagung | |||||
---|---|---|---|---|---|
Negara | Indonesia | ||||
Provinsi | Jawa Tengah | ||||
Kabupaten | Wonogiri | ||||
Kecamatan | Pracimantoro | ||||
Kode Kemendagri | 33.12.01.2001 | ||||
Luas | ... km² | ||||
Jumlah penduduk | ... jiwa | ||||
Kepadatan | ... jiwa/km² | ||||
|
Dusun Pakem
Berawal dari adanya sekelompok orang yang saat itu terdiri dari 8 keluarga yang tinggal dan menetap di suatu lembah yang banyak tumbuh pohon pisang sehingga tempat itu disebut Gedangan atau kebun pisang. Konon Gedangan adalah cikal bakal berdirinya Desa Sumberagung kecamatan Pracimantoro Kabupaten Wonogiri Propinsi Jawa Tengah.
Prakiraan adanya peradaban yang pada akhirnya menjadi Dusun Pakem diperkirakan pada pertengahan abad ke-14. Sebuah sumber menceritakan bahwa kehidupan yang dijalankan sekelompok orang Gedangan bahwa mereka hidup dengan bercocok tanam, sedangkan perihal kehidupan spiritual mereka menganut aliran kepercayaan.
Setelah kehidupan sekelompok orang Gedangan berjalan beberapa kurun waktu, diperkirakan pada pertengahan abad ke 15 datanglah tiga orang pengembara yang ternyata mereka adalah para bangsawan dari Kerajaan Majapahit masing-masing bernama :Kyai Kajoran(Pangeran Mentokusuma),Kyai Jlubang(Pangeran Sutokusuma)dan Kyai Guntur Geni(Pangeran Nerangkusuma).
Ditengah Gedangan terdapat sebuah gunung kecil/cilik sehingga disebut Gunung Cilik. Letaknya sangat strategis sehingga difungsikan oleh ketiga orang pengembara tersebut sebagai tempat untuk sarasehan(pertemuan). Lama-kelamaan banyak didatangi warga masyarakat, dengan maksud ingin mengetahui kegiatan apa yang dilakukan ketiga pengembara tersebut.
Mereka menyampaikan wejangan(ajaran) yang menurut sebagian tokoh masyarakat disimpulkan sebagai sebuah bentuk syiar Agama Islam, namun ada juga yang berpendapat lain mengingat ketiga bangsawan berasal dari Kerajaan Majapahit yang notabene bukan pemeluk Islam. Dari aktivitas masyarakat inilah sering muncul kata "Pakem" yang berarti pedoman.
Seiring berjalannya waktu makin banyak masyarakat yang datang dan menetap disitu maka terbentuklah sebuah dusun yang bernama PAKEM.
Gunung Cilik
Disebut Gunung Cilik karena bentuknya seperti gunung namun ukurannya kecil/cilik.Diatas gunung cilik banyak ditemukan barang bukti berupa kerangka bangunan terbuat dari kayu dan teridentifikasi bahwa diatas Gunung Cilik tersebut pernah berdiri sebuah surau atau masjid. Keberadaan masjid diperkirakan masih berfungsi hingga akhir abad 17, karena pada pertengahan abad 17 masjid masih berdiri dan masyarakat dusun Pakem memberi nama Masjid Gunung Cilik.
Pada saat Modin/Lebai (pegawai masjid) dijabat oleh Kyai Jayaniman, beliau adalah Modin ke-2 dari enam generasi pejabat modin yang ada di Sumberagung, masjid tersebut masih difungsikan,namun pada waktu Kyai Imam Kanapi yang menjabat sebagai Modin generasi ke-3, kondisi bangunan masjid telah rapuh dan tidak dipergunakan. Kala itu muncul gagasan dari para tokoh masyarakat untuk memindahkan kerangka masjid Gunung Cilik ke Kota Kecamatan Pracimantoro, karena diyakini bahwa kerangka masjid Gunung Cilik dianggap bertuah. Konon diceritakan pada saat kerangka bangunan dari kayu akan dipindahkan terjadi satu kejadian aneh yaitu beberapa kerangka bangunan yang akan dipindahkan tidak ada yang kuat untuk mengangkatnya bahkan menggeserpun tidak mampu ada beberapa orang yang menderita sakit. Dengan adanya kejadian tersebut rencana pemindahan dibatalkan. Selanjutnya kerangka masjid tersebut ditimbun dipinggir pekarangan Kyai Imam Kanapi.
Hingga saat ini lokasi penimbunan kerangka masjid tersebut masih ada dan mudah untuk diketahui meski kerangka masjidnya sudah tertimbun tanah. Selain itu di lokasi masjid yaitu diatas gunung cilik tersebut ditemukan Al Qur’an dan Kitab Kuning yang terbuat dari kulit kayu. Kedua kitab tersebut sampai saat ini masih dalam keadaan utuh dan disimpan di Masjid Al Muttaqin Dusun Pakem sebagai bukti sejarah.
Goa Seban
Terletak di sebelah selatan Dusun Pakem ± 1 km. Dahulu keberadaan Goa Seban berfungsi sebagai tempat untuk bertapa. Oleh masyarakat Pakem Kuno (Gedangan) tempat tersebut dikeramatkan dan dipakai sebagai tempat sesaji. Tradisi tersebut sampai kini masih tetap dilestarikan oleh masyarakat dusun Pakem tanpa merubah tata cara pelaksanaannya. Misalnya tentang pelaksanaan sesaji dan membersihkan Goa setahun sekali harus dilakukan pada hari Senin Pahing dan melaksanakan pagelaran wayang kulit semalam suntuk pada malam Jum’at Legi.
Tradisi tersebut pernah ditinggalkan pada era tahun 1940-an, namun akhirnya mengakibatkan timbulnya bencana, yaitu Dusun Pakem terjadi wabah penyakit yang menyebabkan 48 orang warga meninggal dunia secara misterius hanya dalam waktu 36 hari. Sejak saat itulah pemangku adat atau tokoh masyarakat tidak ada yang berani melanggar tradisi tersebut.
Disisi lain hikmah dari kuatnya tradisi warga Dusun Pakem, ternyata di dalam Goa Seban yang memiliki lorong yang sangat panjang dan belum seluruhnya tereksplorasi terdapat sumber air bersih (mata air pegunungan) yang melimpah, sehingga sampai saat ini mampu menjadi sumber penghidupan dan kemakmuran bagi warga Dusun Pakem khususnya dan warga Desa Sumberagung pada umumnya.