Mangkunegara I

pendiri Mangkunagaran dan pahlawan nasional Indonesia

Mangkunegara I alias Pangeran Samber Nyawa alias Raden Mas Said adalah seorang tokoh maha sakti pada masa itu. Di pulau Jawa pada tahun 1755 masih ada 5 tokoh sakti lagi yaitu KH. Lukman Hakim dari Cirebon, KH Kasan Kesambi dari Padepokan Gunung Damar (Purworejo), Gagak Seta dari Mojokerto, Adi Pati Surengpati dari kepulauan Karimunjawa dan Kebo Bangah dari Banyumas.

Papan nama Raden Mas Said di Surakarta.

RADEN MAS SAID PANGERAN SAMBERNYOWO / K.G.P.A.A MANGKOENAGORO I (1725-1795)

Riwayat Hidup : Tempat / Tanggal Lahir Kraton Kartosuro, 7 April 1725, Minggu Legi 5 Ruwah Jimakir 1650 aj. Nama Ayah / Ibu : Pangeran Aryo Mangkoenagoro Kartosuro / RA. Wulan (putri Pangeran Balitar). Tempat / Tanggal Wafat : Mangkunegaran, Surakarta, 28 Desember 1795. Tempat Pemakaman : Gunung Mangadeg, Matesih, Karanganyar, Surakarta. Anugerah Pahlawan Kemerdekaan Nasional, S.K. Presiden RI No. 048/TK/1988, tanggal 17-8-1988.

Riwayat Perjuangannya : Perjuangan RM. Said dimulai bersamaan dengan pemberontakan laskar Cina di Kartosuro pada 30 Juni tahun 1742 yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi atau disebut Sunan Kuning, ketika itu RM. Said berumur 16 tahun. Dia bergabung bersama-sama untuk menuntut keadilan dan kebenaran atas harkat dan martabat orangporang Cina dan rakyat Mataram, yang ketika itu tertindas oleh Kumpeni Belanda (VOC) dan Rajanya sendiri Pakubuwono II. RM. Said berperang sepanjang 16 tahun melawan kekuasaan Mataram dan Belanda. Selama tahun 1741-1742, ia memimpin laskar Cina melawan Belanda. Kemudian bergabung dengan Pangeran Mangkubumi selama sembilan tahun melawan Mataram dan Belanda, 1743-1752. Perjanjian Giyanti pada 13 Februari tahun 1755, sebagai hasil rekayasa Belanda berhasil membelah bumi Mataram menjadi dua, Surakarta dan Yogyakarta, merupakan perjanjian yang sangat ditentang oleh RM. Said karena bersifat memecah belah rakyat Mataram. Selanjutnya, ia berjuang sendirian memimpin pasukan melawan dua kerajaan Pakubuwono III & Hamengkubuwono I (yaitu P. Mangkubumi, yang berkhianat dan dirajakan oleh Belanda), serta pasukan Kumpeni, pada tahun 1752-1757. Selama kurun waktu 16 tahun, pasukan Mangkoenagoro melakukan pertempuran sebanyak 250 kali. Tiga pertempuran dahsyat terjadi pada periode 1752-1757 : Yang pertama, Mangkoenagoro bertempur melawan pasukan Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono I) di desa Kasatriyan, barat daya kota Ponorogo, Jawa Timur. Perang itu terjadi pada hari Jumat Kliwon, tanggal 16 Syawal “tahun Je” 1678 (Jawa) atau 1752 Masehi. Desa Kasatriyan merupakan benteng pertahanan Mangkoenagoro setelah berhasil menguasai daerah Madiun, Magetan, dan Ponorogo. Yang kedua, Mangkoenagoro bertempur melawan 2 detasemen Kumpeni Belanda dengan komandan Kapten Van der Pol dan Kapten Beiman di sebelah selatan negeri Rembang tepatnya di hutan Sitakepyak (Senin Pahing, 17 Sura, tahun Wawu 1681 J / 1756 M). Yang ketiga, penyerbuan benteng Vre Deburg Belanda dan keraton Yogya-Mataram (Kamis 3 Sapar, tahun Jumakir 1682 J / 1757 M). Akhirnya, terjadilah perdamaian dengan Sunan Paku Buwono III, dan tercapailah kemudian Perjanjian Salatiga, 17 Maret 1757. Untuk menetapkan wilayah kekuasaan Mangkoenagoro, dalam perjanjian yang hanya melibatkan Sunan Paku Buwono III, dan saksi utusan Sultan Hamengku Buwono I dan Kumpeni Belanda ini, disepakati bahwa Mangkoenagoro diangkat sebagai Adipati Miji alias mandiri. Walaupun hanya sebagai Adipati, kedudukan hukum mengenai Mangkunagoro I, tidaklah sama dengan Sunan yang disebut sebagai Leenman, penggaduh, peminjam kekuasaan dari Kumpeni, melainkan secara sadar sejak dini ia menyadari sebagai “raja kecil”, bahkan tingkah lakunyapun menyiratkan bahwa “dia adalah Raja di Jawa Tengah yang ke III”, demikian kenyataannya Kumpeni pun memperlakukannya sebagai raja ke III di Jawa Tengah, selain Raja I Sunan dan Raja II Sultan. Ia memerintah di wilayah Kadaung, Matesih, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Pajang sebelah utara dan Kedu. Akhirnya, Mangkoenagoro mendirikan istana di pinggir Kali Pepe pada tanggal 4 Jimakir 1683 (Jawa), atau 1756 Masehi. Tempat itulah yang hingga sekarang dikenal sebagai istana Mangkunagaran. Mangkoenagoro tercatat sebagai raja Jawa yang pertama melibatkan wanita di dalam angkatan perang. Selama menjalankan pemerintahannya mempunyai prinsip TRI DHARMA : Rumongso Melu Handarbeni (Merasa Ikut Memiliki), Wajib Melu Hangrungkebi (wajib ikut mempertahankan), Mulat Sariro Angrosowani (mawas diri & berani bertindak).

Nilai Kepribadian Luhur yang Dimiliki : Semangat juang dan rasa kesetiakawanannya sangat menonjol tercerminkan dalam semboyan perjuangan “TIJI TIBEH” (Mukti Siji Mukti Kabeh, Mati Siji Mati Kabeh) yang artinya : Berjaya bersama dan Mati Bersama. Semboyan yang indah didengar, enak dirasakan, mengandung rasa persaudaraan, kebersamaan, persatuan dan kesatuan. Hak – Hak wanita dalam kehidupan bermasyarakat telah disejajarkan dengan pria sejak masa itu olehnya.

Lihat pula