Mangkunegara I
Keakuratan artikel ini diragukan dan artikel ini perlu diperiksa ulang dengan mencantumkan referensi yang dapat dipertanggungjawabkan. |
Mangkunegara I alias Pangeran Samber Nyawa alias Raden Mas Said (Kraton Kartosuro, 7 April 1725 - Mangkunegaran, Surakarta, 28 Desember 1795). Nama ayah: Pangeran Aryo Mangkoenagoro Kartosuro. Nama ibu: RA Wulan.
Perjuangan RM Said dimulai bersamaan dengan pemberontakan laskar Cina di Kartosuro pada 30 Juni 1742 yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi atau disebut Sunan Kuning, ketika itu RM Said berumur 16 tahun. Dia bergabung bersama-sama untuk menuntut keadilan dan kebenaran atas harkat dan martabat orang orang Cina dan rakyat Mataram, yang ketika itu tertindas oleh Kumpeni Belanda (VOC) dan Rajanya sendiri Pakubuwono II.
RM Said berperang sepanjang 16 tahun melawan kekuasaan Mataram dan Belanda. Selama tahun 1741-1742, ia memimpin laskar Cina melawan Belanda. Kemudian bergabung dengan Pangeran Mangkubumi selama sembilan tahun melawan Mataram dan Belanda, 1743-1752. Perjanjian Giyanti pada 13 Februari tahun 1755, sebagai hasil rekayasa Belanda berhasil membelah bumi Mataram menjadi dua, Surakarta dan Yogyakarta, merupakan perjanjian yang sangat ditentang oleh RM Said karena bersifat memecah belah rakyat Mataram.
Selanjutnya, ia berjuang sendirian memimpin pasukan melawan dua kerajaan Pakubuwono III & Hamengkubuwono I (yaitu P. Mangkubumi, yang berkhianat dan dirajakan oleh Belanda), serta pasukan Kumpeni, pada tahun 1752-1757. Selama kurun waktu 16 tahun, pasukan Mangkoenagoro melakukan pertempuran sebanyak 250 kali.
Tiga pertempuran dahsyat terjadi pada periode 1752-1757 : Yang pertama, Mangkoenagoro bertempur melawan pasukan Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono I) di desa Kasatriyan, barat daya kota Ponorogo, Jawa Timur. Perang itu terjadi pada hari Jumat Kliwon, tanggal 16 Syawal “tahun Je” 1678 (Jawa) atau 1752 Masehi. Desa Kasatriyan merupakan benteng pertahanan Mangkoenagoro setelah berhasil menguasai daerah Madiun, Magetan, dan Ponorogo. Yang kedua, Mangkoenagoro bertempur melawan 2 detasemen Kumpeni Belanda dengan komandan Kapten Van der Pol dan Kapten Beiman di sebelah selatan negeri Rembang tepatnya di hutan Sitakepyak (Senin Pahing, 17 Sura, tahun Wawu 1681 J / 1756 M). Yang ketiga, penyerbuan benteng Vre Deburg Belanda dan keraton Yogya-Mataram (Kamis 3 Sapar, tahun Jumakir 1682 J / 1757 M).
Akhirnya, terjadilah perdamaian dengan Sunan Paku Buwono III, dan tercapailah kemudian Perjanjian Salatiga, 17 Maret 1757. Untuk menetapkan wilayah kekuasaan Mangkoenagoro, dalam perjanjian yang hanya melibatkan Sunan Paku Buwono III, dan saksi utusan Sultan Hamengku Buwono I dan Kumpeni Belanda ini, disepakati bahwa Mangkoenagoro diangkat sebagai Adipati Miji alias mandiri. Walaupun hanya sebagai Adipati, kedudukan hukum mengenai Mangkunagoro I, tidaklah sama dengan Sunan yang disebut sebagai Leenman, penggaduh, peminjam kekuasaan dari Kumpeni, melainkan secara sadar sejak dini ia menyadari sebagai “raja kecil”, bahkan tingkah lakunyapun menyiratkan bahwa “dia adalah Raja di Jawa Tengah yang ke III”, demikian kenyataannya Kumpeni pun memperlakukannya sebagai raja ke III di Jawa Tengah, selain Raja I Sunan dan Raja II Sultan.
Ia memerintah di wilayah Kadaung, Matesih, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Pajang sebelah utara dan Kedu. Akhirnya, Mangkoenagoro mendirikan istana di pinggir Kali Pepe pada tanggal 4 Jimakir 1683 (Jawa), atau 1756 Masehi. Tempat itulah yang hingga sekarang dikenal sebagai istana Mangkunagaran. Mangkoenagoro tercatat sebagai raja Jawa yang pertama melibatkan wanita di dalam angkatan perang. Selama menjalankan pemerintahannya mempunyai prinsip TRI DHARMA : Rumongso Melu Handarbeni (Merasa Ikut Memiliki), Wajib Melu Hangrungkebi (wajib ikut mempertahankan), Mulat Sariro Angrosowani (mawas diri & berani bertindak).