Mang Koko

seniman Sunda
Revisi sejak 22 Agustus 2010 07.04 oleh Naval Scene (bicara | kontrib) (←Membatalkan revisi 2994429 oleh 203.130.205.43 (Bicara))

Koko Koswara, biasa dipanggil Mang Koko, (10 April 1917 – 4 Oktober 1985) adalah seorang seniman Sunda. Ayahnya Ibrahim alias Sumarta, masih keturunan Sultan Banten (Sultan Hasanuddin). Ia mengikuti pendidikan sejak HIS (1932), MULO Pasundan (1935).

Bekerja sejak tahun 1937 berturut-turut di: Bale Pamulang Pasundan, Paguyuban Pasundan, De Javasche Bank; Surat Kabar Harian Cahaya, Harian Suara Merdeka, Jawatan Penerangan Provinsi Jawa Barat, guru yang kemudian menjadi Direktur Konservatori Karawitan Bandung (1961-1973); Dosen Luar Biasa di Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Bandung (sekarang Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung), sampai ia wafat.

Bakat seni dan karya-karyanya

Bakat seni yang dimilikinya berasal dari ayahnya yang tercatat sebagai juru mamaos Ciawian dan Cianjuran. Kemudian ia belajar sendiri dari seniman-seniman ahli karawitan Sunda yang sudah ternama dan mendalami hasil karya bidang karawitan dari Raden Machjar Angga Koesoemadinata, seorang ahli musik Sunda.

Ia juga tercatat telah mendirikan berbagai perkumpulan kesenian, diantaranya: Jenaka Sunda "Kaca Indihiang" (1946), "Taman Murangkalih" (1948), "Taman Cangkurileung" (1950), "Taman Setiaputra" (1950), "Kliningan Ganda Mekar" (1950), "Gamelan Mundinglaya" (1951), dan "Taman Bincarung" (1958).

Mang Koko juga mendirikan sekaligus menjadi pimpinan pertama dari "Yayasan Cangkurileung" pusat, yang cabang-cabangnya tersebar di lingkungan sekolah-sekolah seprovinsi Jawa Barat. Ia juga mendirikan dan menjadi pimpinan Yayasan Badan Penyelenggara Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI), Bandung (1971). Pernah pula ia menerbitkan majalah kesenian "Swara Cangkurileung" (1970-1983).

Karya cipta kakawihan yang ia buat dikumpulkan dalam berbagai buku, baik yang sudah diterbitkan maupun yang masih berupa naskah-naskah, diantaranya:

  • "Resep Mamaos" (Ganaco, 1948),
  • "Cangkurileung" (3 jilid/MB, 1952),
  • "Ganda Mekar" (Tarate, 1970),
  • "Bincarung" (Tarate, 1970),
  • "Pangajaran Kacapi" (Balebat, 1973),
  • "Seni Swara Sunda/Pupuh 17" (Mitra Buana, 1984),
  • "Sekar Mayang" (Mitra Buana, 1984),
  • "Layeutan Swara" (YCP, 1984),
  • "Bentang Sulintang/Lagu-lagu Perjuangan"; dan sebagainya.

Karya-karyanya bukan hanya dalam bidang kawih, tapi juga dalam bidang seni drama dan gending karesmen. Dalam hal ini tercatat misalnya:

  • "Gondang Pangwangunan",
  • "Bapa Satar",
  • "Aduh Asih",
  • "Samudra",
  • "Gondang Samagaha",
  • "Berekat Katitih Mahal",
  • "Sekar Catur",
  • "Sempal Guyon",
  • "Saha?",
  • "Ngatrok",
  • "Kareta Api",
  • "Istri Tampikan",
  • "Si Kabayan",
  • "Si Kabayan jeung Raja Jimbul",
  • "Aki-Nini Balangantrang",
  • "Pangeran Jayakarta",
  • "Nyai Dasimah".

Penghargaan untuk Mang Koko

Mang Koko telah mendapat berbagai penghargaan dari berbagai pihak, baik dari pemerintah, lembaga atau organisasi masyarakat (LSM), seperti diantaranya Piagam Wijayakusumah (1971), sebagai penghargaan tertinggi dari pemerintah pusat dalam hal ini Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dalam kategori "Pembaharu dalam Bidang Seni Karawitan".

Saat membaca riwayat kehidupan Mang Koko, akan ditemui seorang manusia yang telah memasrahkan jiwa dan raganya demi kehidupan dan kelestarian seni, khususnya seni Sunda. Namun ia merasa sudah cukup bila ia disebut sebagai seorang penghalus jiwa, sebab seperti diungkapkan dalam salah satu kawihnya, seni adalah penghalus jiwa.

Rujukan

  • Ruswandi, Tardi. 2000. "Koko Koswara : Pencipta Karawitan Sunda yang Monumental". Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung. ISSN 0854-3429.