Gempol, Karanganom, Klaten
Gempol adalah desa di kecamatan Karanganom, Klaten, Jawa Tengah, Indonesia.
Gempol | |||||
---|---|---|---|---|---|
Negara | Indonesia | ||||
Provinsi | Jawa Tengah | ||||
Kabupaten | Klaten | ||||
Kecamatan | Karanganom | ||||
Kode Kemendagri | 33.10.18.2017 | ||||
Luas | - | ||||
Jumlah penduduk | - | ||||
Kepadatan | - | ||||
|
TRADISI SADRANAN GEMPOL
Ratusan Piring berisi Makanan berjajar Sadranan Gempol
Ada geliat yang berbeda di desa gempol kecamatan karanganom klaten siang hari itu. Tak seperti biasanya, desa ini terlihat ramai. Memang ada yang istimewa hari itu/ bertepatan tanggal 18 ruwah/ warga gempol menyelenggarakan nyadran. Nyadran adalah suatu tradisi masyarakat jawa yang dilakukan setahun sekali di bulan ruwah atau menjelang bulan puasa. Ruwah sendiri memiliki akar kata “arwah” konon dari arti kata itu, bulan ruwah dijadikan sebagai bulan untuk mengenang para leluhur.
Sedangkan nyadran/ berasal dari bahasa arab “sadran” dan jawa kawi ”srada” yang berarti dada, yaitu saling berhadap-hadapan antara leluhur dengan yang masih hidup. Sehingga, secara umum, nyadran dapat dimaknai sebagai masa untuk menghormati leluhur oleh sanak saudara yang masih berada di dunia. Menilik sejarahnya, nyadran merupakan tradisi yang diawali pada jaman majapahit. Pada jaman itu ratu tribuana tunggadewi ingin melakukan doa kepada nenek moyangnya. Maka disiapkanlah aneka rupa sajian untuk didermakan kepada para dewa. Di masa walisongo/ tradisi tersebut lantas diadopsi karena senafas untuk mendoakan leluhur di alam baka. Hanya saja sesaji yang dibuat tidak lagi diperuntukkan para dewa, namun sebagai sarana sedekah kepada kaum papa.
Di desa gempol sendiri/ tradisi nyadran telah mengakar sejak dulu kala. Bahkan banyak warga gempol tak tahu pasti sejak kapan tradisi tahunan itu dilaksanakan. Yang pasti, warga gempol senantiasa setia melaksanakan tradisi itu setiap tahunnya. Berbeda dengan desa-desa lainnya, desa gempol terbilang paling kental dalam melestarikan tradisi nyadran. Belum pernah mereka absen dalam tradisi ini. Dipercaya, bila tak melakukan nyadran, akan terjadi hal-hal buruk pada warga.
Keseriusan nyadran dapat terbukti juga dengan mudiknya sanak saudara ke kampung halamannya, hanya sekedar untuk mengikuti ritual dan bertemu saudara.
Sehari sebelum upacara nyadran digelar, diadakan besik atau bebersih makam. Lantas, pada malam harinya warga bertahlil di masjid. Hingga pagi, banyak orang hilir mudik membawa berbagai macam makanan dan uba rampe ke makam. Ya mereka berkumpul bersama satu dusun di makam dusun sembari membawa sarana. Ada yang unik, piring-piring berisi makanan dibawa dengan menggunakan tenong/ dan jodhang setiap keluarga diwajibkan menyediakan minimal 15 piring namun tak jarang keluarga yang mampu/ justr menyiapkan puluhan piring. Piring-piring berisi makanan itu lantas ditata berjajar di atas tikar yang digelar di pelataran luar makam. Makanan yang disajikan sangat beragam/ kue-kue, aneka jajanan pasar, buah-buahan, dan banyak lagi. Bahkan ada pula makanan yang kini jarang dijumpai, seperti sate kolang-kaling, bangketan, madu mongso, kue satu, dan kue jahe. Makin banyak
Riuh rendah antusias warga makin kentara menjelang acara dimulai. Tua, muda, semua hanyut dalam kemeriahan nyadran. Sambutan yang diberikan perangkat desa menandakan acara telah dimulai. Para warga pun mulai menempati gelaran tikar dengan rapi. Di tengah-tengah sambutan, terlihat warga yang berkeliling meminta sedekah. Pemberian sedekah ini oleh warga gempol disebut ‘wajib’. Ternyata cukup banyak sedekah yang terkumpul kali ini, 765 ribu rupiah. Nantinya sedekah ini akan digunakan untuk mendanai segala biaya yang telah dikeluarkan untuk nyadran. Sisanya, digunakan untuk memperbaiki fasilitas sosial di dusun gempol. Lantunan doa pun dibacakan, sesekali melafalkan kata ”amin” dengan lantang, menandakan semangat serta kemantapan hati.
Selesai doa, setiap warga memakan makanan yang digelar. Ada yang tukar-menukar kue, ada pula yang asyik berbincang dengan sanak saudara. Sesekali tampak saling bersenda gurau, bahkan anak-anak pun tertawa renyah. Anak-anak pun dengan semangat berkeliling mengumpulkan aneka makanan. Tak heran, kantong plastik yang mereka bawa tampak penuh. Beberapa warga malah asyik menyantap nasi ambengan, yaitu nasi gurih dengan berbagai macam lauk, seperti ingkung ayam, telur, sayuran, dan lain-lain. Beramai-ramai warga tampak bersemangat menawarkan kepada pengunjung untuk bergabung bersama. Akhirnya, semua makanan pun habis tak bersisa. memang harus demikian, sebab menurut adat setempat, bila makanan tidak habis disebut ’ora ilok’. Nyadran tak sekadar ziarah ke makam leluhur. Namun sarat dengan nilai sosial budaya. Dari sini terjalin hubungan kekerabatan, kebersamaan, dan pengorbanan di antara warga. Semoga tradisi ini senantiasa lestari sehingga dapat dijadikan wahana perekat sosial dan sarana membangun jati diri bangsa.