Wikipedia:Bak pasir
GAMBARAN UMUM NAGARI SANIANGBAKA
LOKASI DAN KEADAAN ALAM
Secara adminisitratif Nagari Saniangbaka merupakan bagian dari Kecamatan X Koto Singkarak, Kabupaten Solok, Provinsi Sumatera Barat. Nagari ini berbatasan dengan daerah lain yaitu di sebelah Utara dengan Nagari Muaro Pingai; Sebelah Selatan dengan Nagari Koto Sani dan Sumani; Sebelah Barat dengan Lubuk Minturun – Kodya Padang, dan Sebelah Timur dengan Nagari Singkarak.
Nagari yang mempunyai luas daerah 91,72 KM2 ini berada pada ketinggian 400 M di atas permukaan laut dengan curah hujan rata-rata 1500 mm/tahun. Nagari ini terdiri atas 6 jorong, yaitu Jorong Aia Angek, Balai Batingkah, Balai Panjang, Balai Lalang, Balai Gadang dan Kapalo Labuah.
Pemukiman di nagari dikelilingi oleh perbukitan, yang oleh masyarakat dinamakan hutan tunjuk, Danau Singkarak dan sebagian lainnya oleh area persawahan. Kontur tanah nagari yang beragam membuat nagari ini kaya akan sumber daya alam. Hutan tunjuknya, yang kebanyakannya adalah pusako, merupakan ladang subur yang menghasilkan hasil perkebunan seperti kopi, cengkeh, kayu jati dan sebagainya. Selain menjadi daerah perladangan, salah satu bukit diantara perbukitan yang menjadi hutan tunjuk tersebut diduga mengandung batu bara. Ini sesuai dengan yang disampaikan oleh salah seorang dubalang dari suku balai mansiang yang menyatakan bahwa besar kemungkinan bukit tersebut mengandung batu bara. Bahkan kabarnya pernah dilakukan penelitian tentang kandungan mineral didalam bukit tersebut oleh pemerintah daerah. Kenyataan ini juga masuk akal karena kadang-kadang pada musim kemarau tiba bukit tersebut terbakar dengan sendirinya. Sementara itu danau Singkarak mengandung kekayaan ikan yang khas yang jarang ditemui di daerah lain yaitu ikan bilih dan rinuak. Area persawahannya yang cukup luas dan produktif menghasilkan beras yang hasilnya tidak hanya cukup untuk dikonsumsi masyarakat nagari tetapi juga dapat dijadikan sumber pendapatan masyarakat. Masyarakat sering menjual beras tersebut ke daerah di luar nagari seperti ke kota Solok, Padang, bahkan sampai ke pulau Jawa, karenanya Saniangbaka dikenal sebagai salah satu daerah penghasil beras Solok, yang konon katanya merupakan beras termahal di Indonesia.
Untuk menuju nagari ini cukup mudah, karena tersedia sarana dan prasarana perhubungan yang memadai. Jalan raya yang menghubungkan nagari ini dengan daerah luar sudah merupakan jalan aspal, sehingga dapat dilalui oleh kendaraan roda dua atau lebih. Adapun akses masuk nagari ini melalui Pasar Sumani di nagari Sumani. Daerahnya sendiri berjarak 5 km dari kota kecamatan (X Koto Singkarak), 24 km dari pusat kota Solok, 50 km dari ibu kota kabupaten Solok, Arosuka, dan 87 km dari ibukota provinsi, Padang (Database Kecamatan X Koto Singkarak Tahun 2006). Untuk mencapai nagari ini dari kota Padang tersedia angkutan umum berupa bis kota jurusan Padang - Kota Solok dengan tarif Rp..10.000,00 atau dapat juga menggunakan jasa travel dengan tarif Rp.20.000,00 dengan tujuan yang sama. Dari terminal kota Solok perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan kendaraan jenis bis roda 4 jurusan Solok - Saniangbaka yang langsung mengantar hingga ke tujuan di nagari Saniangbaka. Karena angkutan umum yang langsung ke Saniangbaka jam beroperasinya terbatas maka jika hari mulai gelap, berkisar jam 18.30, dapat dipergunakan angkutan alternatif yaitu menggunakan Betor (Becak Motor) dengan tarif Rp.25.000.00. Keadaan alam nagari dengan adanya danau Singkarak memberi nilai keindahan tersendiri, namun hingga kini pemanfaatannya di bidang pariwisata masih sedikit. Padahal akses menuju danau ini bisa dikatakan mudah yaitu tinggal mengikuti jalan nagari yang sudah diaspal hingga ke belakang pemukiman penduduk nagari. Sayangnya untuk menikmati keindahan ini kurang didukung oleh sarana prasarana penunjang, ini ditunjukkan dengan kurang tersedianya tempat khusus yang dibangun untuk menikmati pemandangan danau, dan hanya terdapat satu rumah makan milik perorangan yang beroperasi. Meski demikian, bidang perikanan yang khas di danau ini telah menarik minat peneliti perikanan dari Universitas Andalas akan kelangkaan jenis ikan yang ada di sini. Di salah satu bukit juga terdapat sebuah daerah yang dapat dijadikan sebagai tempat bersejarah yaitu yang disebut oleh penduduk sebagai Gaduang Beo. Tempat ini pada jaman dulu merupakan kantor pusat pengawasan pelaksanaan kulturstelsel yang dilakukan Belanda di daerah tersebut. Hingga sekarang di sana masih berdiri bangunan lamanya. Hanya saja sulitnya medan menuju ke sana, membuat tempat ini jarang dikunjungi. Untuk menuju ke sana, kita harus melewati perbukitan dengan jalan terjal yang belum beraspal, melewati area peladangan penduduk. Adapun waktu tempuh yang dibutuhkan berkisar 1,5 jam perjalanan menggunakan sepeda motor yang biasa digunakan untuk off road atau kendaraan roda empat atau lebih yang menggunakan mesin 4WD yaitu kendaraan yang memiliki gardan ganda yang cocok untuk menempuh medan yang berat.
--Yudifebri 19:03, 23 Januari 2007 (UTC)
SEJARAH NAGARI SANIANGBAKA
Catatan yang mengisahkan sejarah nagari Saniangbaka sangat sedikit ditemukan. Dalam banyak tambo dan buku-buku yang berkaitan dengan Minangkabau, tidak banyak yang mencatat sejarah ini. Salah satu yang memuat sejarah Saniangbaka adalah dalam Mahmoed (1978). Disebutlah suatu masa Datuk Katumenggungan mendirikan sebuah kerajaan bernama Bungo Setangkai yang berpusat di Sungai Tarab. Mula-mula perkembangan kerajaan ini adalah membuat kubu pertahanan kerajaan dan untuk membuat lingkaran pertahanan ini Datuk Katumenggungan menugaskan seorang hububalang pemberani dari Pariangan Padang Panjang untuk menjadi kepala pertahanan. Hulubalang ini kemudian ditugaskan untuk membuat pertahanan kerajaan, yang mula-mula membuat sebuah nagari bernama Batipuh. Setelah Batipuh, kemudian hulubalang ini membuat 10 koto. Koto-koto tersebut terdiri dari Panianjauan, Gunung, Jao, Tambangan, Singgalang, Pandai Sikek, Koto Laweh, Koto Baru, Aia Angek, Panyalaian. Setelah kesepuluh koto itu selesai, hulubalang tersebut membuat kubu pertahanan ke arah timur dengan 10 daerah pula yaitu Sungai Jambu, Labuatan, Simawang, Bukit Kandung, Sulit Aie, Tanjung Balit, Singkarak, Saniangbaka, Silungkang dan Padang Sibusuk (Mahmoed, 1978:37-38). Pada masa kerajaan Pagaruyung , kesepuluh daerah pertahanan yang ada di timur ini menjadi bagian dari langgam nan tujuah. Adapun langgam nan tujuah ini terdiri dari: 1. Pamuncak Koto Piliang, berkedudukan di Sungai Tarab, sebagai pimpinan. 2. Harimau Campo Koto Piliang, berkedudukan di Batipuh, sebagai panglima perang. 3. Pardamaian Koto Piliang, berkedudukan di Simawang dan Bukit Kandung, sebagai pendamai nagari-nagari yang bersengketa. 4. Pasak Kungkung Koto Piliang, berkedudukan di Sungai Jambu dan Labuatan. 5. Carmin Taruih Koto Piliang, berkedudukan di Saniangbaka dan Singkarak, sebagai badan penyidik. 6. Cumati Koto Piliang, berkedudukan di Sulit Aie dan Tanjung Balit, sebagai pelaksana hukuman. 7. Gajah Tonggak Koto Piliang, berkedudukan di Silungkang dan Padang sibusuk, sebagai kurir (Navis, 1984: 57-58; baca juga mahmoed, 1978: 52-60). 8.
Saniangbaka sebagai carmin taruih Koto Piliang, menurut informan Datuk Rangkayo Marajo (75), adalah sebagai berikut: “Mangko Saniangbaka ko tasabuik carmin taruih Koto Piliang, baduo itu, sorang orang Singkarak, sorang orang Saniangbaka, diagiah pangkat artinyo kadudukannyo sebagai carmin taruih Koto Piliang. Tugasnyo apobilo ado persengketaan di Pagaruyuang, di Pariangan Padang Panjang, ndak ado penyelesaiannyo, mangko dihimbaulah urang nan baduo ko, artinyo inyo lah nan maagiah carmin, pengarahan. Jadi orang nan basangketo, nan basalisiah nan ndak kunjung dapek perdamaian, nah dari 2 urang nan pai ka Pagaruyuang ko nan maagiah carmin atau pedoman.” “Sebab Saniangbaka disebut Cermin terus Koto Piliang, (yang) berdia itu, seorang (dari) Singkarak, seorang (dari) Saniangbaka, diberi pangkat (yang) artinya kedudukannya sebagai cermin terus Koto Piliang. Tugasnya apabila terjadi persengketaan di Pagaruyuang, di Pariangan Padang Panjang, (dan) tidak ada yang bisa menyelesaikan, maka dipanggilah orang yang berdua tadi (yang dari Singkarang dan Saniangbaka). Artinya ialah orang yang memberi cermin, pengarahan. Jadi orang (pihak) yang bersengketa, yang berselisih tidak kunjung mendapatkan perdamaian, dari dua orang tersebut lah yang akan memberi cermin atau pedoman”.
Sementara itu menurut informan yang lain, Jamaris Pono Batuah (72), carmin taruih Koto Piliang artinya dapat dilihat secara harfiah dari kata-katanya, yaitu carmin yang berarti cermin. Cermin biasanya memberikan pandangan tentang sesuatu. Carmin taruih Koto Piliang bisa jadi berarti tempat yang dijadikan pandangan/contoh nagari lain tentang pelaksanaan kelarasan Koto Piliang. Adapun dari daerah pertahanan hingga membentuk sebuah nagari, Saniangbaka mengalami proses yang panjang. Nagari itu sendiri tumbuh mulai dari Taratak. Kata Taratak konon berasal dari tatak, artinya menandai batas-batas pada tebangan kayu dalam membuka lahan oleh seorang yang dibantu oleh anak-anaknya atau berkelompok tiga tau lima orang. Pada lahan yang telah ditatak (ditandai) itu mereka membangun pondok untuk tempat berteduh atau tinggal. Kemudian datang lagi kelompok lain dengan maksud yang sama yaitu untuk membuka peladangan. Kemudian setelah beberapa Taratak terbuka dengan pondok-pondok atau rumah-rumah kecil, maka berdirilah dusun ditempat tersebut. Dari beberapa Taratak yang lain berdiri pula dusun sehingga menjadi beberapa dusun. Setelah penduduk dusun tersebut menjadi ramai, maka berdirilah Koto. Ada yang mengatakan koto mulanya berarti sebuah tempat yang dipagari dengan tanaman aur (bambu) serta parit, tetapi kemudian tempat tersebut menjadi area tempat bermain anak-anak atau tempat berkumpul melepas lelas penduduk setempat. Seiring waktu, tempat tersebut menjadi tempat bertemu antar penduduk, tempat berbincang-bincang dan semacamnya. Dari berbagai perbincangan dan perundingan beberapa anggota dusun maka bersepakatlah untuk membuat suatu nagari (Rais, 2003: xxiii-xxiv; baca juga Suarman, 2000:52-57; Amir MS, 1997 ). Ini sesuai dengan informasi yang di sampaikan Datuk Rangkayo Marajo, salah satu informan dalam penelitian: “Datanglah orang-orang baik melalui bukik, nyebrang danau jo sampan, tibo disiko nyo marambah. Nah itu namonyo Taratak. Itu memakan wakatu puluhan taun, Piak. Sudahlah salasai Taratak, makonyo banamo susun atau dusun, artinyo mulailah tasusun. Iko lah buek pondok, iko lah buek pondok, iko pondok (sambil menunjukkan dengan tangan pola sejajar). Mulai tasusun memakan wakatu nan panjang pulo, puluhan taun, menjadi koto. jadi Taratak-susun-koto. Koto ko lah mulai orang nan penghuni ko bakato-kato. Koto itu artinyo mulai berkato-kato atau berbincang baa kito, iko lah bakambang lo, lah ado rumah. salasai Taratak, lah salasai susun, lah salasai koto, meningkatlah jadi nagari. A..jadi nagari dibuek lah balai-balai, sudah tu dibangunlah surau namonyo, masajik kecek urang. Jadi kok lah sah nagari ko, ado balai-balai, ado musajik, ado basuku, batungganai rumah, ado bapandan pakuburan Datanglah orang-orang baik melalui bukit, menyeberangi danau dengan sampan. Sesampainya disini, mereka menebang (hutan). Nah, itu yang dinamakan Taratak. (Proses) itu memakan waktu puluhan tahun, piak. Sesadah selesai Taratak, maka bernama susun atau dusun, (yang) artinya mulailah tersusun. (Yang) ini telah membuat pondok, (yang) ini telah membuat pondok, (yang) ini telah membuat pondok – (sambil menunjukkan dengan tangan pola sejajar). Mulai (dari) tersusun memakan waktu yang panjang pula, puluhan tahun, menjadi koto. Jadi Taratak-Dusun-Koto. (Pada saat menjadi) Koto ini telah mulai orang(-orang) penghuninya berkata-kata atau berbincang-bincang, bagaimana kita, ini sudah berkembang, sudah ada rumah yang selesai, taratak telah selesai disusun, telah selesai koto, meningkatlah nagari. Aa..jadi nagari dibuat balai-balai, sesudah itu dibagunlah surau namanya, (yang) kata orang disebut Mesjid. Jadi kalau sudah syah menjadi nagari, ada balai adat, ada mesjid, ada bersuku, ber-tungganai rumah, ada ber-pandan pekuburan.
Dari data yang didapat dari beberapa informan di nagari Saniangbaka, terdapat beberapa versi sejarah penamaan nagari ini. Dari beberapa versi yang berkembang, dari tiga versi cerita terdapat satu kesamaan yaitu bahwa kemunculan nama Saniangbaka adalah saat para penghulu ini berunding untuk menentukan nama yang akan dipakai oleh nagari, nama tersebut merujuk pada saat nagari ini masih di taruko, yaitu pada masa masih berbentuk Taratak. Berikut 3 versi tersebut:
1. versi “si Saniang nan tabaka”
Menurut informasi yang didapat dari Nadir Pono Sutan (60) dan YF Rajo Mangkuto (29), Nama Saniangbaka berasal dari peristiwa terbakarnya si Saniang ketika dia dibawa orang tuanya merambah hutan untuk membuka nagari tersebut. Diceritakan bahwa ketika orang tua si Saniang merambah hutan, mereka menumpuk hasil rambahan di suatu tempat yang ternyata berdekatan dengan tempat mereka meletakan Saniang, anak mereka. Ketika tumpukan hasil rambahan telah banyak, mereka membakarnya. Namun karena dekat dengan tempat si Saniang ditidurkan, api menjalar membakar si Saniang. Orang tua si Saniang pun panik dan berteriak, “si Saniang tabaka!!! Si Saniang tabaka!!”. Sehingga sejak saat itu, tempat yang mereka rambah tersebut dinamai Saniang tabaka yang lama-kelamaan menjadi Saniangbaka.
2. versi “si Saniang mambaka” Sementara itu menurut informan lain menyebutkan nama Saniangbaka muncul karena orang yang dari jauh melihat asap pembakaran hasil rambahan si Saniang. Seperti yang di sampaikan oleh informan, yaitu Datuk Rangkayo Marajo (75): “jadi dahulu Saniangbaka ko ado mempunyai sejarah khas. Nan patamo Saniangbaka ko ado dahulu nan banamo Taratak, arti Taratak orang-orang mulai marambah untuk nak mambuek nagari. Itu nyo hanyo berapo kaum dulu nan datang ka ranah ko dari Pariangan. Nah nampak Saniangbaka ko marangah dek inyo. Kito kinlah, rancak sinan kito buek nagari. Yo datanglah nyo kamari ado nan dari Simawang, Kacang, Tikalak. Iko nan tertinggi sinan. Jadi datanglah kamari. Jadi nampaklah seseorang nan lah memanggang artinya membakar rambahan atau nan dirambahnyo, kayu lah masik di panggangnyo, nampaklah asok: ’ah, tu, si Saniang lah mambaka’. Jadi manuruik sejarahnyo nan mulai mambaka rambahan ko si Saniang namonyo. Saat perundingan datuk nan salapan saat akan menamai nagari ini, ada salah seorang datuk yang mengusulkan “Manuruik nan didanga dek awak, mulo-mulo nan marambah nagari ko si Saniang ah, nan inyo lo nan mulo-mulo mambaka di nagari ko, mangkasuiknyo mambaka rambahannyo nan lah masik, kalo kito buek namo Saniangbaka baa? maka jadilah Saniangbaka” Jadi dahulu Saniangbaka ini ada mempunyai sejarah khas. Yang pertama Saniangbaka ini ada dahulu bernama Taratak, arti taratak orang-orang mulai merambah untuk membuat nagari. (Pada saat) itu beberapa kaum yang datang dari Pariangan Padang Panjang. Nah, terlihat Saniangbaka ini meranggas oleh mereka. “Kita ke sana lah, baik disana kita buat nagari”. Yaa, datanglah mereka ke sini. Ada yang dari Simawang, Kacang, Tikalak. Ini yang tertinggi di sana. Jadi datanglah ke sini. Jadi terlihat seseorang yang telah membakar, artinya membakar rambahan atau yang dirambahnya. Kayu telah kering dibakarnya, terlihatlah asap, “ah, tu si Saniang telah mebakar”. Jadi menurut sejarangnya, yang memulai membakar rambahan ini si Saniang namanya. (Pada) saat perundingan Datuak nan Salapan, saat akan memberi nama Nagari ini, ada salah seorang Datuak yang mengusulkan, “Menurut yang didengar oleh kita, mula-mula yang merambah nagari ini (yaitu) si Saniang. Ah, dia juga yang mula-mula membakar (lahan) nagari ini - maksudnya membakar rambahannya yang sudah kering. Bagaimana kalau kita buat nama nagari ini Saniangbaka?? Maka jadilah (nama nagari ini) Saniangbaka”
3. versi Sandiang nan tabaka. Versi ini menyebutkan bahwa munculnya nama Saniangbaka adalah karena saat daerah ini mulai dirambah, dari jauh yaitu dari Pariangan Padang Panjang nampak ada sandiang atau sudut antara dua dukit yang terbakar.
Sementara itu satu versi sejarah Saniangbaka yang sama sekali berlainan dari 3 versi sebelumnya berpatokan pada arti kata Saniangbaka secara harfiah, kemudian dicari makna yang terkandung di dalamnya. Ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh beberapa informan yaitu Pono Batuah (72), Mon (48) yangmerupakan keturunan langsung dari si Saniang dan Datuk Gadang (54), yang intinya sama sebagai berikut:
“indak ka mungkin Saniangbaka ko asalnyo dari kato si Saniang nan tabaka. Tabaka, istilah minang yang dipakai untuak marujuak ka membakar adalah mamanggang indak mambaka, mambaka itu asalnyo dari bahasa Indonesia nan di minangkan. Membakar-mambaka, itu kini. Kok tabaka nan dipakai wakatu nagari kok ka dibuka, berarti Saniangbaka ko baru ado setelah bahasa Indonesia jadi bahasa nasional, kan? Sementaro, dalam tambo Minangkabau jo cerita dari nan gaek-gaek, nagari ko lah ado sejak 5-6 abad nan lalu. Baa, ndak ado kolerasinyo, kan?” “tapi kok awak caliak dalam bahasa minang, baka itu bisa jadi artinyo bekal. Sementaro Saniangnyo sendiri asalnyo dari kato sahaniang, yaitu ciek tempat yang sunyi. Jadi Saniangbaka ko maknanyo ciek tempat sunyi nan bisa dijadikan untuk mencari bekal hiduik. Baa model itu? Iko arek kaitannyo jo langgam nan tujuah, bahwa nagari ko dijadian carmin taruih Koto Piliang.” “tidak mungkin Saniangbaka ini asalnya dari kata si Saniang yang tabaka. Tabaka, (padahal) istilah Minang yang digunakan untuk merujuk kata membakar adalah mamanggang, bukan membakar. Membakar itu asalnya dari bahasa Indonesia yang di-Minang-kan. (kata) membakar - mambaka itu (digunakan) sekarang. Kalau tabaka yang digunakan waktu nagari ini dibuka, berarti Saniangbaka ini baru ada setelah bahasa Indonesia jadi bahasa nasional kan ?? Sementara dalam tambo Minangbakau ditambah cerita dari orang tua, nagari ini telah ada sejak 5-6 abad yang lalu. Bagaimana, tidak ada korelasi nya kan ?? Tapi kalai kita lihat dalam bahasa Minang, baka itu bisa jadi artinya bekal. Sementara Saniang sendiri asalnya dari kata Sahaniang, yaitu satu tempat yang sunyi. Jadi Saniangbaka ini maknyanya (adalah) satu tempat sunyi yang bisa dijadikan untuk mencari bekal hidup. Kenapa seperti itu ?? ini erat kaitannya dengan langgan nan tujuah, bahwa nagari ini dijadikan camin taruih Koto Piliang.”
KEADAAN PENDUDUK
Nagari Saniangbaka mempunyai luas wilayah 91,72 Km2 dengan jumlah penduduk 5.230 jiwa yang terdiri atas 2.276 laki-laki dan 2.954 perempuan. Berdasarkan luas wilayah dan jumlah penduduk tersebut , maka kepadatan penduduk nagari Saniangbaka yaitu 57,02 jiwa/km2 (Database Kecamatan X Koto Singkarak Tahun 2006). Penduduk nagari terdiri dari 1.154 kepala keluarga, termasuk beberapa kepala keluarga yang tinggal dalam satu rumah gadang . Sementara itu, dilihat dari golongan usia jumlah penduduk yang memempati urutan terbanyak adalah pada rentang usia 15-56 tahun yaitu sebanyak 2.804 jiwa, sementara itu yang paling sedikit adalah pada rentang usia 0-12 bulan yaitu sebanyak 148 jiwa. Kepadatan penduduk yang jarang ini adalah karena adanya kesadaran penduduk untuk melaksanakan program keluarga berencana, terutama pada pasangan suami istri muda. Selain itu juga karena banyaknya penduduk nagari yang pergi merantau, baik itu untuk melanjutkan pendidikan maupun untuk mencari peluang usaha yang lebih besar, sebagaimana tradisi masyarakat Minangkabau pada umumnya. Pada akhirnya banyak dari mereka yang menetap dan beranak-pinak diperantauan. Daerah yang biasa dijadikan tujuan merantau yaitu Kota Solok, Padang, daerah-daerah lain di Pulau Sumatra hingga ke pulau-pulau lain Di Indonesia. Jumlah perantau ini menurut data Kantor Nagari tahun 2005 diperkirakan melebihi 1000 orang. Banyaknya generasi muda yang merantau membuat jumlah penduduk usia tua dan anak-anak lebih banyak dari penduduk yang berusia produktif.
PENDIDIKAN
Dalam bidang pendidikan formal dan informal, nagari Saniangbaka memiliki fasilitas pendidikan yang cukup memadai. Untuk pendidikan tingkat dasar dan menengah tersedia sekolah dengan bangunan yang cukup layak, yaitu mulai taman kanak-kanak hingga sekolah lanjutan tingkat atas. Selain itu juga terdapat sebuah tempat kursus di bidang komputer, bagi penduduk nagari dan sekitarnya. Meski lokasi kursus ini berada satu bangunan dengan sebuah sekolah lanjutan tingkat pertama (madrasah tsanawiyah) tetapi tidak menyurutkan ketertarikan warga, terutama para generasi mudanya, untuk ikut dalam kursus tersebut. Adanya kursus ini merupakan upaya nagari untuk meningkatkan potensi dan keahlian di bidang teknologi komputer terutama bagi generasi mudanya.
Kebanyakan penduduk nagari pernah atau telah dapat mengenyam pendidikan dasar, yaitu sebanyak 2337 jiwa atau sekitar 44,68%. Diurutan kedua hingga tingkat menengah pertama (SLTP atau sederajat) yaitu sebanyak 1.348 jiwa atau sekitar 25,77%. Meski demikian ada juga yang melanjutkan pendidikan hingga jenjang yang lebih tinggi yaitu baik itu pendidikan tingkat atas, diploma maupun sarjana. Adapun keadaan penduduk menurut tingkat pendidikannya digambarkan dalam tabel 3.4.
Tabel 3.4 Keadaan Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan
Tahun 2006
Jenis/Tingkat Pendidikan Jumlah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Tamat D1 Tamat D2 Tamat D3 Tamat S1 Tamat S2 Lain-lain 1126 1211 1348 755 10 43 37 68 2 611 Jumlah 5230 Sumber: Data Kantor kenagarian Saniangbaka tahun 2006
Data pada tabel 3.3 di atas mencakup jenjang pendidikan yang telah di tempuh oleh penduduk nagari, termasuk yang saat ini sedang melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sementara pada kelompok lain-lain merupakan data jumlah penduduk yang tidak diketahui data sebenarnya, termasuk didalamnya data penduduk yang belum memasuki usia sekolah. Dari tabel juga dapat diketahui bahwa jenjang pendidikan yang telah dan sedang ditempuh terbanyak adalah pada tingkat SLTP atau sederajatnya. Meski demikian, tidak tertutup kemungkinan terdapatnya peluang melanjutkan pendidikan karena adanya kecenderungan para orang tua untuk menyekolahkan anaknya pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Ini dibuktikan dengan semakin banyaknya anak-anak yang bersekolah ke Kota Solok, Padang, Bahkan Hingga Ke Pulau Jawa Seperti Jakarta, Jogja, Bandung, Semarang dan Surabaya. Saat ini banyak para orang tua di nagari Saniangbaka yang memandang pentingnya pendidikan formal pedagang tidak hanya berasal dari kalangan petani-petani kaya, pedagang-pedagang sukses, perangkat nagari ataupun pegawai negeri, melainkan juga dari kalangan buruh tani, nelayan, hingga tukang jahit. III.5 MATA PENCAHARIAN PENDUDUK
Sebagian besar masyarakat Saniangbaka merupakan petani, baik itu, petani penggarap, petani ladang atau petani kebun yaitu sekitar 63% . Ini berkaitan erat dengan banyaknya lahan yang bisa digarap (lihat tabel 3.1). Lahan tersebut, yang berupa persawahan dan hutan, biasanya merupakan tanah ulayat suku, yang oleh penduduk disebut juga sebagai tanah pusako , yang hingga saat ini masih dijaga oleh kaumnya. Karena luasnya lahan ini menjadikan sawah, yang nampak sejak memasuki nagari, menjadi pemandangan yang khas. Belum lagi jika melihat ke arah barat maka nampak hutan-hutan yang sudah maupun yang belum digarap penduduk.
Para petani ini selain menggarap lahannya untuk dijadikan sawah juga menanami lahan kebunnya dengan tanaman cabe keriting, bawang merah, pisang, sirsak, rambutan bahkan juga untuk membibitkan jagung. Sementara itu lahan hutannya digarap dengan ditanami tumbuhan kayu jati, damar, tembakau, cengkeh, kopi, coklat dan kayu manis. Banyaknya lahan persawahan membuka peluang bagi usaha penggilingan padi. Adapun usaha jenis ini memberi peluang lain kepada penduduk untuk menjadi pengepul padi. Usaha perdagangan jenis ini disebut penduduk nagari sebagai karajo huller. Para pekerja huller ini membeli gabah kering dari petani, lalu gabah tersebut diproses ke tempat penggilingan hingga menjadi beras siap jual. Beras ini biasanya dijual ke pasar-pasar di luar nagari misalnya ke pasar kota Solok, Padang, Jakarta, Bandung, dan daerah lain di Indonesia. Daerah pemasaran beras ini memanfaatkan jaringan Ikatan Warga Saniangbaka (IWS) sehingga selain bisa menjual beras, beras juga dipasok ke rumah-rumah makan Padang di daerah dimana terdapat anggota IWS. Selain bidang pertanian, banyak penduduk yang menggantungkan hidupnya pada danau Singkarak yang mengandung jenis ikan yang khas tersebut. Selain menjadi nelayan, penduduk juga menjadi penjual ikan bilih dan rinuak ini, baik dalam keadaan mentah maupun setelah mengalami pengolahan menjadi berbagai jenis makanan. Mereka menjual sendiri ikannya maupun menjadi pemasok di pasar-pasar sekitar nagari, bahkan hingga ke kota Solok dan Padang.
Tabel 3.5 Mata Pencaharian Penduduk
Tahun 2006
Jenis Mata Pencaharian Jumlah
Pertanian
Perhutanan
Perkebunan
Peternakan
Perikanan (nelayan)
Perdagangan
Sopir
Tukang Bangunan
Tukang Jahit
Rumah Makan
Montir
Penggilingan Padi
Home Industri
PNS/Karyawan/Pensiunan 1.084
647
301
417
32
319
143
93
21
3
4
25
5
128
Jumlah 3.222
Sumber: Data Kantor Kenagarian SaniangbakaTahun 2006
AGAMA DAN SISTEM KEPERCAYAAN
Berdasarkan data statistik di kantor kenagarian Saniangbaka, seluruh penduduk merupakan penganut agama Islam yaitu sebanyak 5230 jiwa (100%). Ini sejalan dengan falsafah adat yang berbunyi Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah yang maksudnya adat bersendikan kepada syara’, syara bersendikan kitab Allah SWT yaitu Al-Qur’an. Sehingga pada pelaksanaannya sehari-hari diistilahkan dengan syarak mangato adat mamakai yaitu apa yang dikatakan oleh syarak, dipakai oleh masyarakat sebagai aturan adat. Dengan adanya falsafah demikian, menimbulkan pandangan pada masyarakat yang mengganggap individu yang keluar dari agama Islam sebagai bukan bagian dari masyarakat Saniangbaka atau Minangkabau pada umumnya. Suasana islami menjadi kentara ketika masuk waktu shalat lima waktu saat penduduk, terutama para orang-orang tua, berdondong-bondong sembari menggunakan mukena atau sarung mereka menuju mesjid atau surau guna melakukan ibadah shalat secara berjamaah. Perasaan demikian juga sangat terasa selama beberapa minggu sebelum dan ketika masuk bulan ramadhan. Dari setiap sudut nagari kerap terdengar alunan kaset pembacaan ayat suci Al-Qur’an, lagu-lagu kasidah atau lagu-lagu islami lainnya. Apalagi saat bulan ramadhan, anak-anak menyemarakan mesjid dan surau dengan kegiatan pendalaman agama secara rutin setiap harinya. Selain terhadap Allah SWT, sebagian penduduk, terutama orang-orang tua, juga mempercayai bahwa di salah satu bukit dari jajaran perbukitan yang ada di Saniangbaka dihuni oleh “sesuatu” yang oleh penduduk disebut sebagai Inyiak Tampek.
Sarana Peribadatan
Semua sarana peribadatan ini digunakan penduduk setempat untuk melaksanakan berbagai aktivitas peribadatan, seperti shalat berjamaah, mengaji dan mengkaji al-qur’an, ceramah-ceramah umum dan penyelenggaraan peringatan hari besar agama islam. Sarana ibadah ini juga biasanya digunakan untuk pertemuan yang membahas suatu kegiatan atau masalah yang melibatkan seluruh penduduk. Pada awalnya pertemuan diadakan di mesjid raya, yang terletak di balai batingkah, kemudian untuk pembahasan secara rincinya dilakukan di surau-surau. Dengan banyaknya sarana peribadatan yang letaknya menyebar di wilayah pemukiman penduduk, beberapa tempat biasanya menjadi identik dengan suatu suku. Contohnya surau bungo yang juga dikenal sebagai surau suku balai mansiang karena terletak di di pemukiman suku balai mansiang. Menurut pengakuan Amrius (43), selain memperdalam ilmu agama islam di tempat peribadatan, beberapa penduduk yang berniat meningkatkan kemampuan ilmu kebatinan biasanya mendatangi bukit dimana inyiak tampek berada. Mereka bersemedi untuk beberapa waktu.
Praktek keagamaan dan kepercayaan
Selain praktek keagamaan yang bersifat personal seperti shalat wajib 5 waktu, mengaji dan mengkaji al-quran, saat ini di Saniangbaka terdapat beberapa kegiatan yang biasa dilakukan oleh penduduk. Biasanya kegiatan tersebut berkaitan dengan siklus hidup manusia, seperti kelahiran, perkawinan dan kematian. Hal ini menyangkut tahapan masa kanak-kanak, masa akil baliq dan masa dewasa. Adapun praktek tersebut terdiri atas: 1. Upacara turun mandi, yaitu suatu upacara selamatan atas kelahiran bayi, yang biasanya dilakukan saat sang bayi belum berumur 40 hari. Upacara ini ditandai dengan pemotongan rambut bayi dan biasanya diselenggarakan bersamaan dengan pemotongan kambing sebagai tanda akikah. 2. Upacara khatam Qur’an, yaitu suatu upacara selamatan yang dilakukan saat seorang anak menyelesaikan membaca Al-Qur’an. Pada upacara ini anak yang khatam didandani layaknya pengantin untuk kemudian diarak keliling nagari. Arak-arak biasanya dilakukan bersama-sama dengan anak lain dari satu surau yang sama diiring oleh kawan-kawan sepengajiannya dan tabuhan alat-alat musik. 3. Upacara pernikahan. Masyarakat Saniangbaka biasanya melaksanakan akad pada hari jum’at karena dianggap sebagai hari suci dibandingkan hari-hari yang lain. Baralek nya sendiri biasanya dilakukan 2 kali, yaitu dirumah keluarga istri dan dirumah keluarga laki-laki. Memang tidak banyak upacara yang dilakukan penduduk untuk menandakan suatu kejadian, termasuk kejadian kematian seseorang, mendirikan atau pindah rumah, sunatan, dan lain-lain. Bagi penduduk yang mampu, kejadian tersebut hanya ditandai dengan digelarnya acara mendo’a. Acara mendo’a dilakukan dengan mengundang ninik mamak dan tetangga terdekat untuk makan bersama lalu dilanjutkan dengan membacakan doa (biasanya doa selamat) yang dipimpin oleh pandito suku penyelenggara. Selain itu, terdapat satu tradisi di Saniangbaka yang dilakukan pada 10 hari terakhir bulan ramadhan yaitu latur. Pada masa yang dikenal sebagai lailatul qadar itu, banyak surau maupun perorangan mengadakan latur. Pada masa lalu tradisi ini biasanya dilakukan pemotongan kambing akikah yang dilakukan secara kolektif di surau. Semua persiapan acara dilakukan oleh penduduk/jamaah surau tersebut. Menjelang berbuka penduduk berdatangan dari berbagai penjuru nagari untuk berbuka bersama. Mereka duduk berkelompok 4-5 orang mengelilingi nampan besar berisi nasi dan gulai. Begitu adzan berkumandang, penduduk berbuka dengan minuman yang dibawa masing-masing, lalu serentak makan hidangan yang tersedia. Mereka melaksanakan shalat begitu latur selesai, baik dirumah masing-masing maupun di surau tersebut setelah membereskan tempat.
TRANSPORTASI DAN KOMUNIKASI
Nagari Saniangbaka dengan nagari-nagari tetangganya dihubungkan dengan jalan utamanya yang sudah beraspal, sementara jalan setapak dan berbatunya menghubungkan wilayah-wilayah sekitar dalam nagari, hutan maupun ladang. Dengan adanya jalan aspal tersebut akses penduduk nagari ke daerah lain atau sebaliknya, baik itu ke nagari tetangga hingga ke luar daerah seperti kota Solok atau Padang, menjadi mudah. Jalan utama, mulai masuk daerah nagari hingga tengah pemukiman sudah beraspal hotmix dan dilanjutkan ke belakangyan dengan jalan aspal biasa. Dari jalan utama, juga terdapat jalan tanah yang menghubungkan pemukiman penduduk. Sementara untuk menuju hutan di bukit penduduk harus melewati jalan berbatu yang cukup curam.
Jalan aspal inilah yang pada umumnya dipakai penduduk untuk bepergian ke pasar yang berjarak 4.5 km di nagari Sumani. Kebanyakan penduduk biasanya pergi ke pasar hanya pada hari minggu karena bertepatan dengan hari pasar. Pada hari pasar ini, menurut Asmaniar (65), memang hampir semua ibu-ibu rumah tangga pergi ke balai-balai . Hal ini dikarenakan pada hari tersebut biasanya warga bebas dari aktivitas pekerjaan rutin, selain itu jumlah pedagang sangat banyak sehingga dagangan menjadi lebih lengkap dengan harga yang juga lebih rendah dari hari-hari biasa. Di pasar ini penduduk biasanya berbelanja bahan makanan dan barang-barang untuk keperluan sehari-hari. Jika penduduk biasanya membeli bahan makanan di pasar Sumani, maka untuk membeli pakaian dan peralatan rumah biasanya dilakukan di Pasar Raya Kota Solok bahkan tak jarang hingga ke kota Padang. Penduduk berbelanja di pasar Solok dengan alasan bahwa pakaian dan peralatan rumah yang dijual disana lebih beragam baik bentuk, model hingga harganya daripada yang tersedia di pasar Sumani. Untuk bepergian, biasanya penduduk menggunakan jasa angkutan sejenis angkot jurusan Saniangbaka-Sumani, bis umum roda 4 jurusan Solok-Saniangbaka, ojek atau kendaraan pribadi seperti mobil dan motor. Meski terdapat 2 angkutan dengan trayek yang tetap tetapi di nagari ini tidak terdapat terminal, sehingga setiap angkutan yang ada hanya beroperasi hingga ujung pemukiman nagari untuk kemudian berputar kembali ke arah sebelumnya. Jika hari menjelang senja atau dalam keadaan terdesak, jasa ojek selalu siap mengantar ke tujuan. Kendaraan ojek ini ada sepanjang waktu, dan jumlahnya meningkat menjelang senja. Pangkalan ojeknya sendiri terletak di Sumani, tetapi tak jarang ojek ini berkeliling nagari mencari penumpang. Meski jumlah ojek yang beroperasi banyak, tetapi jarang pengojek yang berasal dari nagari Saniangbaka sendiri. Mereka kebanyakan merupakan penduduk Sumani atau Tanjung Bingkung. Jasa ojek juga terutama digunakan untuk mencapai medan yang sulit seperti saat penduduk harus ke hutan, baik untuk mencari kayu maupun untuk menengok ladang mereka di atas bukit. Mengingat sulitnya medan untuk menuju atas bukit dan hutan, para tukang ojek cenderung lebih banyak menggunakan kendaraan Honda GL PRO atau Yamaha RX King, meski tak jarang juga yang menggunakan motor bebek biasa. Bagi petani penggarap perladangan di hutan di atas bukit, ojek juga menjadi angkutan utama. Untuk mencapai ujung jalan berbatu diatas bukit para pengojek memasang tarif Rp.25.000,00 dari pasar Sumani.
Sarana informasi dan komunikasi yang banyak dimiliki dan dipergunakan penduduk nagari adalah televisi yaitu sekitar 75,75%. Selain yang dimiliki secara pribadi, di Saniangbakajuga terdapat televisi milik nagari yang bisa digunakan oleh seluruh penduduk nagari. Televisi umum ini terletak di tempat-tempat umum yang biasa menjadi tempat berkumpul penduduk, misalnya di depan balai adat, dibawah pohon besar atau sengaja diletaktan di tempat terbuka sehingga banyak penduduk yang bisa menikmati acara televisi. Meski diletakan di tempat umum, bukan berarti televisi tersebut bisa bebas digunakan. Terdapat peraturan yang dibuat oleh nagari tentang penggunaan televisi umum ini. Peraturannya menyatakan bahwa televisi tidak boleh dinyalakan saat masuk waktu shalat. Televisi juga harus dimatikan selama rentang waktu antara shalat magrib dan isya. Pada rentang waktu tersebut penduduk disarankan untuk meramaikan mesjid dengan kegiatan peribadatan, seperti mengaji dan mengkaji Al-Qur’an serta memperluas wawasan keagamaan melalui kegiatan diskusi. Televisi umum ini jarang sekali dinyalakan di pagi hari atau siang hari. Penduduk biasanya menyalakan televisi pada sore hari sekitar jam 3 atau 4 sore. Ini biasanya disebabkan pada pagi dan siang hari penduduk masih menjalankan aktivitas rutinnya yaitu melakukan pekerjaan mereka atau bersekolah. Adanya pesawat televisi dan radio, selain mendapatkan hiburan penduduk juga mendapatkan informasi tentang kejadian yang terjadi di Indonesia dan mancanegara. Harga pasaran hasil bumi juga diperoleh melalui media tersebut. Ditambah dengan adanya telepon dan faximili membuat proses tukar menukar informasi harga ini menjadi lebih mudah dan cepat.