Haji Ahmad Bastari (lahir dusun Campang Tiga, Ogan Komering Ulu, 1910 - meninggal 13 Oktober 1992) adalah Gubernur Sumatera Selatan untuk periode 1959-1963. Sebelum menjabat sebagai Gubernur Sumatera Selatan, Ia adalah Mayor Jendral (Inspektur jendral) Polisi dan pernah bertugas sebagai Kepala Polisi Daerah Jawa Tengah termasuk Yogyakarta (1954 - 1960).

Pendidikan

Ahmad Bastari dilahirkan di dusun Campang Tiga, dalam suku Serba Nyaman dari keturunan Golongan Pemimpin Adat dan Pemerintahan di daerah Ogan Komering Ulu. Kakeknya Mohammad Lanang gelar Alampak yang meninggal tahun 1923 dalam usia 73 tahun pada saatnya merupakan Kepala Desa Campang Tiga dan pengusaha dagang yang daerah perniagaannya sampai ke Medan dan wilayah Deli. Ayahnya Ahmad Daud gelar Nata diraja bin Krio Alampak (1885 – 1962) merupakan seorang guru yang lebih banyak dikenal dengan panggilan Guru Daud. Tercatat tanggal kelahiran Ahmad Bastari pada tanggal 3 Syawal tahun 1910 (masehi) dan ketika mulai masuk sekolah HIS (Hollands Inlandse School) di Palembang diubah menjadi tangal 3 Oktober 1912.

Berkat bantuan Ki Agus Mohammad Husein, tahun 1920 Ahmad Bastari bisa masuk HIS (Hollands Inlandse School) di daerah Kebun Duku, Palembang dan lulus bulan Juni 1927. Pada kelas tujuh, Ahmad Bastari mulai mengenal politik dengan mendirikan semacam partai dengan nama Partai Kelas Tujuh dalam rangka melawan beberapa orang keturunan Ambon di sekolah tersebut. Salah satu aktivitasnya adalah membuat semacam selembaran mingguan yang berisi bermacam-macam berita baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang selalu menyindir pihak Pemerintah Kolonial.

Selanjutnya Ahmad Bastari melanjutkan pendidikan ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Palembang. 2 tahun di MULO Palembang, Ahmad Bastari pindah ke MULO 1 Weltevreden di Jakarta. Di Jakarta, Bastari sering menghadiri rapat-rapat yang diadakan partai-partai politik di gang kenari dan tempat-tempat lainnya. Selain itu Bastari bergabung juga dengan Pandu Pemuda Sumatera (PPS), Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI) serta Indonesia Muda dan menjadi Komisaris cabang MULO.

Setelah menamatkan MULO, Bastari meneruskan sekolah AMS di jalan Hospitaalweg (Jl. Abdulrahman Saleh) dan kemudian pindah ke Mosvia, Bandung. Di Bandung, kegiatan politik terus dilanjutkan dan menjadi wakil Ketua Indonesia Muda cabang Bandung. Namun kegiatan politik tersebut harus dihentikan karena diancam dikeluarkan dari Mosvia oleh direktur Mosvia Mr. Cassutto. Dari Mosvia Bandung, Bastari pindah ke Mosvia Vereegniging di Magelang dan tamat pada bulan Mei 1935.

Pengabdian Sebagai Pegawai Negeri

Dimulai sebagai sementara di kantor Asisten Residen Baturaja bulan Juni 1935 dan kemudian akibat kegiatan politik, Bastari di mutasi kedaerah Banyuasin (daerah lapangan terbang Talang Betutu). Di akhir tahun 1941 ketika Jepang menginvasi Palembang melalui Talang Betutu, Bastari dipindahkan ke Muara Enim dan setelah Jepang mulai menduduki Palembang bulan Februari 1942, Bastari ditugaskan kembali di lapangan terbang Talang Betutu, Banyuasin.

Kemudian karier Bastari sebagai Polisi dimulai dengan mendaftarkan diri dan mendapat pangkat Keibu dan menjadi Kepala Polisi di Lahat yang selanjutnya mengikuti Dikoto Keisatsu Gakko (Sekolah Tinggi Kepolisian) untuk seluruh Sumatera di Padang.

Setelah Jepang kalah, dari Lahat Bastari kemudian menjadi Kepala Polisi seluruh Palembang Hulu sampai Lubuklinggau sampai periode sebelum perjanjian Linggarjati. Berdasarkan perintah Dokter A.K. Gani, Bastari ditunjuk sebagai Kepala Polisi Negara di Sumatera Utara dan Timur termasuk Medan guna mempersiapkan hasil perjanjian Linggarjati. Belanda ternyata melanggar perjanjian tersebut dan Bastari ditahan beserta seluruh anak buahnya dan kemudian diusir ke Palembang.

Akibat didudukinya Palembang dan desa Campang Tiga oleh NICA, Bastari terpaksa bergabung dengan perjuangan republik di Lampung dan menjalankan fungsi sebagai Kepala Polisi Negara di Lampung dan turut berjuang dengan kesatuan tentara di front depan untuk berjuang menghadapi NICA.

Dari Lampung, Bastari ditunjuk sebagai Kepala Polisi Keresidenan Jambi sampai periode Belanda merebut Yogyakarta yang menahan Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Bastari segera bergabung dengan Kolonel Abunjani mundur ke hulu Batanghari atau Muara Tebo. Didalam pengungsian, Bastari menjadi pembantu Residen dalam upaya membangun kembali Pemerintahan Keresidenan Jambi di daerah gerilya. Disanalah muncul usaha percetakan uang darurat yang sangat dikenal dengan istilah Uang Hitam dari Jambi. Bastari diangkat menjadi Administratur Keuangan dan Percetakan Negara. Usaha tersebut dilakukan sampai bulan July 1949 dan terpaksa dihentikan ketika Belanda menyerbu Muara Tebo. Dari Muara Tebo, perjuangan terpaksa dipindahkan ke Muara Bungo (2 bulan) dan kemudian pindah ke dusun Tantau Ikil di hulu sungai Jujuhan dekat dengan Sumatera Barat.

Perjuangan di Jambi dilakukan sampai tahun 1950. Bulan April 1950, Bastari mendapat jabatan sebagai Kepala Polisi Provinsi Sumatera Tengah yang terdiri dari daerah Sumatera Barat, Jambi, dan Riau. Tahun 1952 Bastari dipindahkan ke Pusat Kepolisian Negara di Jakarta dan memimpin bagian Hukum. Dilanjutkan pendidikan kepolisian di Hendon Police College London di Inggris , diteruskan studi banding ke Italia dan Skotlandia. 7 bulan kemudian pulang ke tanah air, Bastari kembali ke Palembang untuk menjabat Kepala Polisi Propinsi Sumatera Selatan sampai tahun 1954. Selanjutnya Bastari dipercaya untuk menjabat sebagai Kepala Polisi Jawa Tengah termasuk Yogyakarta selama hampir 7 tahun.

Tahun 1959 sampai 1963, Bastari menjabat Gubernur/Kepala Daerah Sumatera Selatan. Di periode kegubernuran ini Bastari telah melakukan hal-hal seperti turut memfasilitasikan pembangunan Pupuk Sriwijaya dengan membantu Ir. Ibrahim Zahir, arsitek PUSRI, menimbun seluruh areal rawa Pusri dengan mengeruk pasir sungai Musi, serta menyediakan infrastrukur pembangunan bersama dengan Haroen Sohar membangun Universitas Sriwijaya. Mengusahakan dana pembangunan jembatan di sungai Musi dengan mendesak Presiden Sukarno untuk memberikan US$ 25 juta hasil bantuan Pampasan Perang dari Pemerintah Jepang guna dibangunkan jembatan penghubung (Jembatan Ampera). Serta membangun IAIN Raden Patah di Palembang.

Setelah pensiun, beliau masih aktif di Konstituante, MPRS, dan kemudian menjabat Ketua MPI (Masyarakat Perkayuan Indonesia) (3 periode) dan Ketua Gapkindo (Gabungan Pengusaha Karet Indonesia) (3 periode).

Bastari dan istrinya Zoeriah binti Pangeran Haji Ateh dikaruniai 8 orang anak (4 laki-laki, 4 perempuan) dan 28 orang cucu. Ia meninggal dunia di Jakarta tanggal 13 Oktober 1992, lalu dimakamkan di pemakaman Puncak Sekuning, Palembang, dan saat ini namanya diabadikan sebagai nama salah satu jalan di Palembang.


Didahului oleh:
Mohtar Prabu Mangkunegara
Gubernur Sumatera Selatan
1959 - 1963
Diteruskan oleh:
Abu Yasid Bustomi