Sri Kesari Warmadewa
artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia. |
Sri Kesari Warmadewa adalah Wangsa Warmadewa yang pernah berkuasa di Pulau Bali, Indonesia dari Tahun 882 M s/d 914 M.
Didalam sebuah kitab kuna yang bernama "Raja Purana", tersebutlah seorang raja di Bali yang bernama Sri Wira Dalem Kesari dan keberadaan beliau dapat juga diketahui pada prasati ( piagam ) yang ada di Pura Belanjong di Desa Sanur, Denpasar, Bali. Di pura itu terdapat sebuah batu besar yang kedua belah mukanya terdapat tulisan kuna, sebagian mempergunakan bahasa Bali kuna dan sebagian lagi mempergunakan bahasa Sansekerta. Tulisan-tulisan itu menyebutkan nama seorang raja bernama "Kesari Warmadewa", beristana di Singhadwala. Tersebut juga didalam tulisan bilangan tahun Isaka dengan mempergunakan "Candra Sengkala" yang berbunyi : "Kecara Wahni Murti". Kecara berarti angka 9, Wahni berarti angka 3 dan Murti berarti angka 8. Jadi Candra Sekala itu menunjukan bilangan tahun Isaka 839 ( 917 M ). Ada pula bebrapa ahli sejarah yang membaca bahwa Candra Sengkala itu berbunyi "Sara Wahni Murti", sehingga menunjukan bilangan tahun Isaka 835 ( 913 M ). Pendapat yang belakangan ini dibenarkan oleh kebanyakan para ahli sejarah.
Dengan terdapatnya piagam tersebut, dapatlah dipastikan bahwa Sri Wira Dalem Kesari tiada lain adalah Kesari Warmadewa yang terletak dilingkungan desa Besakih. Beliau memerintah di Bali kira-kira dari tahun 882 M s/d 914 M, seperti tersebut didalam prasasti-prasasti yang kini masih tersimpan didesa Sukawana, Bebetin, Terunyan, Bangli ( di Pura Kehen ), Gobleg dan Angsari. Memperhatikan gelar beliau yang mempergunakan sebutan Warmadewa, para ahli sejarah menduga bahwa beliau adalah keturunan raja-raja Syailendra di Kerajaan Sriwijaya ( Palembang ), yang datang ke Bali untuk mengembangan Agama Budha Mahayana. Sebaimana diketahui Kerajaan Sriwijaya adalah menjadi pusat Agama Budha Mahayana di Asia Tenggara kala itu.
Beliau mendirikan istana dilingkungan desa Besakih, yang bernama Singhadwala, Baginda amat tekun beribadat, memuja dewa-dewa yang berkahyangan di Gunung Agung. Tempat pemujaan beliau terdapat disitu bernama "Pemerajan Selonding". Ada peninggalan beliau sebuah benda besar yang terbuat dari perunggu, yang merupakan "lonceng", yang didatangkan dari Kamboja. Lonceng itu digunakan untuk memberikan isyarat agar para Biksu-Biksu Budha dapat serentak melakukan kewajibannya beribadat di biaranya masing-masing. Benda itu kini disimpan di Desa Pejeng, Gianyar pada sebuah pura yang bernama "Pura Penataran Sasih"
Pada jaman pemerintahaan beliau penduduk Pulau Bali merasa aman, damai dan makmur. Kebudayaan berkembang dengan pesat. Beliau memeperbesar dan memperluas Pura Penataran Besakih, yang ketika itu bentuknya masih amat sederhana. Keindahan dan kemegahan Pura Besakih hingga sekarang tetap dikagumi oleh dunia.
Sumber
- Buku “Riwayat Pulau Bali Dari Djaman Ke Djaman”, Disusun oleh: I Made Subaga, Gianyar - Bali
- Sejarah Bali. Nyoka, Penerbit & Toko Buku Ria, Denpasar, 1990.