Saudagar Minangkabau
Pedagang Minangkabau merujuk pada profesi sekelompok masyarakat yang berasal dari ranah Minangkabau. Disamping profesi dokter, guru, dan ulama, menjadi pedagang merupakan mata pencarian bagi sebagian besar masyarakat Minangkabau. Biasanya profesi ini menjadi batu loncatan bagi perantau Minangkabau setibanya di perantauan.
Sejarah
Selama berabad-abad, perdagangan hasil tambang dan pertanian Minangkabau telah menjadi sumber utama dalam kemajuan ekonomi Samudera Hindia yang dinamis. Pedagang-pedagang besar Minangkabau telah melakukan perdagangan sejak abad ke-7.[1] Mereka menjadi pedagang berpengaruh yang beroperasi di pantai barat dan pantai timur Sumatra. Perdagangan emas pada mulanya menjadi perdagangan utama masyarakat Minang. Lembah Tanah Datar merupakan tempat penting sebagai penghasil emas untuk ekonomi Minangkabau.[2] Upaya mencari emas kadang-kadang mendorong terjadinya perpindahan penduduk. Keberadaan orang Minangkabau di barat laut Jambi, disebabkan oleh upaya pencarian emas.[3] Diundang oleh Raja Regale dan para pendahulunya, banyak orang Minang menyeberang Selat Malaka menuju Johor untuk mengumpulkan debu emas dan bongkahannya. Pedagang emas Minangkabau sering adalah wiraswastawan terkemuka, yang mengandalkan sistem politik Tanah Datar untuk memberikan perlindungan apabila ia membawa kafilahnya yang terdiri atas seratus orang lebih berjalan menuruni lereng berbatu Bukit Barisan menuju pelabuhan di pantai barat. Pada akhir abad ke-18, tambang-tambang emas mulai habis dan perdagangannya mencapai titik nadir.
Setelah cadangan emas mengalami penurunan, perdagangan komoditi menjadi basis utama bisnis orang-orang Minang. Perdagangan lada, akasia, dan gambir berkembang pesat pada abad ke-15 hingga abad 18. Dilanjutkan dengan perdagangan kopi pada abad ke-18 hingga 19. Mereka membawa barang dagangan dari pedalaman Minangkabau ke Selat Malaka atau Samudera Hindia untuk dijualkan kepada pedagang-pedagang asing. Ke pantai timur, perdagangan banyak dilakukan melalui sungai-sungai besar seperti Kampar, Siak, Indragiri, dan Batang Hari. Dari kegiatan perdagangan ini, banyak pedagang Minang yang bermigrasi dan mendirikan koloni di sepanjang pesisir barat dan timur Sumatra, bahkan hingga ke semenanjung Malaysia. Di pantai barat mereka mendirikan pos-pos dagang di Meulaboh, Barus, Sorkam, Natal, Tiku, Pariaman, Padang, hingga Bengkulu. Di pesisir timur, koloni dagang mereka terbentang dari Batubara, Pelalawan, hingga Jambi.
Sejak kemunculan Kerajaan Sriwijaya dan dilanjutkan dengan Kesultanan Malaka, banyak pedagang Minangkabau yang bekerja untuk kerajaan. Peranan pedagang Minangkabau mulai menurun sejak dikuasainya pantai barat Sumatra oleh Kesultanan Aceh, kemudian oleh Belanda.[4]. Dibukanya Penang dan Singapura di Selat Malaka, menggairahkan kembali perdagangan antara Minangkabau dengan dunia luar. Dari perdagangan komoditi dengan kota-kota tersebut, banyak desa-desa di dataran tinggi Minangkabau yang mendadak kaya raya. Disamping menjadi pedagang perantara, pedagang Minang juga banyak yang menjadi pedagang lintas selat. Dimana peran ini banyak dimainkan oleh pengusaha Minang yang bermukim di Batubara. Dengan kapal-kapal mereka, pedagang ini mengangkut aneka komoditi yang datang dari pedalaman untuk dijual di pasaran Singapura.[5] Selain berdagang di Selat Malaka, para pebisnis lintas selat ini juga beroperasi di pantai barat Sumatera, Kepulauan Karimata, Selat Sunda, Laut Jawa, Laut Sulu, hingga Kepulauan Maluku. Nakhoda Mangkuto, yang kemudian dilanjutkan oleh putranya Nakhoda Muda, merupakan beberapa pedagang lintas selat yang sukses berdagang komoditi.[6]
Pada paruh kedua abad ke-18, tanaman dan industri baru berkembang pesat di Minangkabau. Hal ini segera merangsang para pengusaha dan pedagang untuk meraih kekayaan yang lebih. Kekayaan inilah kemudian yang meletakkan jalan serta fondasi bagi berkembangnya gerakan Paderi, sebuah gerakan pembaruan keagamaan yang dipelopori oleh Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik. Di pantai muncul tambak-tambak garam, di daerah Agam budidaya kapas maju dengan pesat dan menyediakan bahan untuk penenunan katun yang makin lama makin giat. Di Limapuluh Kota ditanam pohon gambir yang pada waktu itu dipakai sebagai obat, yang kemudian menjadi komoditas ekspor.[7]
Awal abad ke-19, pedagang-pedagang Eropa terutama Belanda, mulai mendominasi perdagangan Minangkabau. Perang Paderi yang berlangsung selama 30 tahun lebih berusaha untuk mengusir pedagang-pedagang Belanda yang banyak beroperasi di daerah pedalaman. Mereka berusaha untuk memonopoli semua komoditas dagang yang dihasilkan ranah Minangkabau. Kekalahan pasukan Paderi, telah meluluhlantakan perdagangan Minangkabau sekaligus penguasaan wilayah ini dibawah pemerintahan Hindia-Belanda.[8]
Kebangkitan pedagang Minang terjadi kembali pasca-kemerdekaan. Di antara tahun 1950-1970, banyak pengusaha Minangkabau yang sukses berbisnis. Antara lain Hasyim Ning, Rahman Tamin, Sidi Tando, dan Rukmini Zainal Abidin. Pada masa itu, mereka termasuk kelompok masyarakat yang paling besar kekayaannya di Indonesia.[9] Di zaman Orde Baru, kebijakan pemerintah yang berpihak kepada pedagang Tionghoa sangat merugikan pedagang Minangkabau. Kesulitan berusaha dialami oleh pedagang Minang pada saat itu, terutama masalah pinjaman modal di bank serta pengurusan izin usaha.
Kultur
Berdagang merupakan salah satu kultur yang menonjol dalam masyarakat Minangkabau. Bagi masyarakat Minang, berdagang tidak hanya sekedar mencari nafkah dan mengejar kekayaan, tetapi juga sebagai bentuk eksistensi diri untuk menjadi seorang yang merdeka. Dalam budaya Minang yang egaliter, setiap orang akan berusaha untuk menjadi seorang pemimpin. Menjadi sub-ordinat orang lain, sehingga siap untuk diperintah-perintah, bukanlah sebuah pilihan yang tepat. Prinsip "lebih baik menjadi pemimpin kelompok kecil daripada menjadi anak buah organisasi besar" (elok jadi kapalo samuik daripado ikua gajah) merupakan prinsip sebagian besar masyarakat Minang. Menjadi seorang pedagang merupakan salah satu cara memenuhi prinsip tersebut, sekaligus menjadi orang yang merdeka. Dengan berdagang, orang Minang bisa memenuhi ambisinya, dapat menjalankan kehidupan sesuai dengan keinginannya, hidup bebas tanpa ada pihak yang mengekang. Sehingga banyak perantau muda Minangkabau lebih memilih berpanas-panas terik di pinggir jalan, berteriak berjualan kaos kaki, daripada harus kerja kantoran, yang acap kali di suruh dan di marah-marahi.
Berkembangnya kultur dagang dalam masyarakat Minang, disebabkan adanya harta pusaka tinggi yang menjamin kepemilikan tanah dan keberlangsungannya bagi setiap kaum di Minangkabau. Dengan kepemilikan tanah tersebut, posisi masyarakat Minang tidak hanya sebagai pihak penggarap saja, melainkan juga menjadi pedagang langsung yang menjual hasil-hasilnya ke pasaran.
Selain itu, kultur merantau yang menanamkan budaya mandiri, menjadikan profesi berdagang sebagai pekerjaan pemula untuk memenuhi kebutuhan hidup. Oleh karenanya menjadi pedagang kaki lima sering menjadi pekerjaan awal bagi banyak perantau Minang.
Jenis usaha
Restoran
Usaha rumah makan merupakan jenis usaha yang banyak digeluti oleh pedagang Minang. Jaringan restoran Minang atau yang biasa dikenal dengan restoran Padang tersebar ke seluruh kota-kota di Indonesia, bahkan hingga ke Malaysia dan Singapura. Disamping itu terdapat juga usaha restoran yang memiliki ciri khas dan merek dagang yang dijalani oleh pedagang dari daerah tertentu. Pedagang asal Kapau, Agam biasanya menjual nasi ramas yang dikenal dengan Nasi Kapau. Pedagang Pariaman banyak yang menjual Sate Padang. Sedangkan pedagang asal Kubang, Lima Puluh Kota menjadi penjual martabak, dengan merek dagangnya Martabak Kubang. Restoran Sederhana yang dirintis oleh Bustamam menjadi jaringan restoran Padang terbesar dengan lebih dari 60 cabang yang tersebar di seluruh Indonesia.[10] Di Malaysia, Restoran Sari Ratu yang didirikan oleh Auwines, salah satu restoran Padang yang sukses.
Nama Restoran | Jumlah | Lokasi |
---|---|---|
Sederhana | 60 | Jabotabek, Bandung, Semarang, Denpasar, Surabaya, Makassar |
Simpang Raya | 30 | Jabotabek, Bandung, Balikpapan, Cianjur |
Sederhana Bintaro | 24 | Jabotabek, Cimahi[12] |
Sari Ratu | 17 | Jabotabek, Kuala Lumpur, Genting Highlands[13] |
Garuda | 16 | Medan, Jabotabek, Bandar Lampung, Singapura[14] |
Pagi Sore | 8 | Palembang, Jakarta, Singapura |
Natrabu | 7 | Jakarta, Denpasar[15] |
Sarimande Metropolitan | 5 | Jabotabek |
Martabak Kubang | 4 | Jabotabek, Padang |
Sate Padang Mak Sukur | 4 | Padang Panjang, Jakarta |
Kerajinan
Orang Minang banyak melakukan perdagangan dari hasil kerajinan. Para pedagang ini banyak yang menggeluti kerajinan perak dan kulit. Kebanyakan dari mereka berasal dari Silungkang, Sawahlunto dan Pandai Sikek, Tanah Datar. Sedangkan kerajinan emas biasa digeluti oleh masyarakat Sungai Garingging, Pariaman dan Guguak Tabek Sarojo, Agam.
Disamping juga banyak yang menggeluti usaha jual-beli barang-barang antik, dimana usaha ini biasanya digeluti oleh pedagang asal Sungai Puar, Agam.[16] Pedagang barang antik Minangkabau banyak ditemui di Cikini, Jakarta Pusat dan Ciputat, Tangerang Selatan. Jaringan pedagang antik Minang yang telah terbentuk sejak dekade 1930-an itu, banyak mengambil benda-benda keramik zaman dinasti Ming atau Qing dari wilayah Sulawesi atau Maluku.
Percetakan
Bisnis percetakan merupakan jenis usaha yang banyak dijalankan oleh pedagang Minang. Usaha percetakan yang mereka jalani meliputi percetakan undangan dan buku. Bahkan dari usaha percetakan ini berkembang menjadi usaha penerbitan buku dan toko buku. Usaha percetakan banyak digeluti oleh pedagang asal Sulit Air, Solok. Salah satu tokoh sukses yang menggeluti bisnis percetakan ini ialah Muhammad Arbie yang berbasis di kota Medan.[17]
Hotel dan Travel
Bisnis pariwisata terutama jaringan perhotelan dan travel juga banyak digeluti oleh pengusaha Minangkabau. Di Jakarta, hotel-hotel kelas menengah banyak yang dimiliki oleh pengusaha Minang. Amir Rasydin Datuk Basa merupakan salah seorang pengusaha hotel yang memiliki jaringan cukup besar. Hotel milik pengusaha Minang yang cukup terkenal antara lain Hotel Ambhara, Hotel Sofyan, Hotel Grand Menteng, Hotel Sentral, Hotel Maharani, Oasis Amir Hotel, dan Hotel Mega. Di Pekan Baru, disamping Best Western Hotel milik Basrizal Koto, ada Hotel Pangeran yang dimiliki oleh Datuk Pangeran. Bisnis travel di geluti oleh pengusaha asal Payakumbuh, Rahimi Sutan di bawah bendera Natrabu Tour.[18]
Pendidikan
Bisnis pendidikan juga menjadi pilihan bagi orang Minang. Usaha ini biasanya digeluti oleh para pendidik yang pada mulanya bekerja pada sekolah negeri atau swasta. Dari pengalaman tersebut, mereka bisa mengembangkan sekolah, universitas, atau tempat kursus sendiri yang akhirnya berkembang secara profesional. Di Jakarta, setidaknya terdapat tiga universitas milik orang Minang, yaitu Universitas Jayabaya didirikan oleh Moeslim Taher, Universitas Persada Indonesia YAI didirkan oleh Julius Sukur, dan Universitas Borobudur didirikan oleh Basir Barthos.
Media
Bakat menulis dan ilmu jurnalistik yang dimiliki oleh orang Minang, telah melahirkan beberapa perusahaan media besar di Indonesia. Antara lain ialah koran Oetoesan Melajoe yang didirikan oleh Sutan Maharaja pada tahun 1915, majalah Panji Masyarakat yang didirikan oleh Hamka, koran Pedoman yang didirikan oleh Rosihan Anwar, koran Waspada yang didirikan oleh Ani Idrus, majalah Kartini dan Sarinah yang didirikan oleh Lukman Umar, majalah Femina yang didirikan oleh putra-putri Sutan Takdir Alisjahbana, dan jaringan televisi TV One yang didirikan oleh Abdul Latief.
Tekstil
Etnis | Jumlah | Persentase |
---|---|---|
Tionghoa | 80 | 56,74 |
Minangkabau | 40 | 28,37 |
Sunda | 18 | 12,76 |
India | 2 | 1,42 |
Jawa | 1 | 0,71 |
Di pasar tradisional kota-kota besar Indonesia, pedagang Minangkabau banyak yang menggeluti perdagangan tekstil. Di Jakarta, pedagang Minangkabau mendominasi pusat-pusat perdagangan tradisional, seperti Pasar Tanah Abang, Pasar Senen, Pasar Blok M, Pasar Jatinegara, dan Pasar Bendungan Hilir. Dominansi pedagang tekstil Minangkabau juga terjadi di Medan dan Pekan Baru. Jika di Medan pedagang Minangkabau mendominasi Pasar Sukaramai, maka di Pekan Baru mereka dominan di Pasar Pusat dan Pasar Bawah. Di Surabaya, pedagang tekstil asal Minang banyak dijumpai di Pasar Turi. Sedangkan di Bandung, para pedagang Minang banyak menempati Pasar Kota Kembang. Pada masa Orde Lama, Rahman Tamin merupakan salah seorang pengusaha tekstil terbesar di Indonesia.
Keuangan
Bisnis di industri keuangan, seperti perbankan, sekuritas, dan asuransi juga merupakan pilihan bagi pengusaha Minang. Bahkan pengusaha Minang, Sutan Sjahsam yang juga adik perdana menteri pertama Indonesia Sutan Sjahrir, merupakan perintis pasar modal di Indonesia. Sjahsam juga seorang pialang saham dan mendirikan perusahaan sekuritas, Perdanas. Disamping Sjahsam, ekonom Syahrir juga aktif dalam bisnis sekuritas dengan mendirikan perusahaan Syahrir Securities. Di bisnis perbankan, ada pengusaha Minang lainnya, Anwar Sutan Saidi, yang mendirikan Bank Nasional pada tahun 1930.[20]
Farmasi dan Kesehatan
Industri farmasi juga merupakan bidang yang banyak digeluti oleh pengusaha Minang. Beberapa nama wirausaha yang terjun ke industri obat-obatan adalah Rukmini Zainal Abidin [21]. Selain itu, dokter-dokter dari kalangan Minangkabau juga banyak yang membuka rumah sakit serta rumah bersalin yang tersebar di kota-kota besar Indonesia, diantaranya adalah Rizal Sini yang mendirikan RSIA Bunda.
Silaturahmi pedagang
Untuk membangun jaringan dan silaturahmi antar pedagang Minangkabau, maka diadakanlah pertemuan yang dikenal dengan Silaturahmi Saudagar Minang. Silaturahmi ini pertama kali diadakan di Padang pada tahun 2007 yang dihadiri tak kurang dari 700 pengusaha Minang dari seluruh dunia.[22]
Pedagang sukses
- Djohor Soetan Perpatih, menjadi seorang pedagang sukses di tahun 1930-an. Bersama saudaranya Djohan Soetan Soelaiman, dia mendirikan toko Djohan Djohor yang terkenal dengan aksi mendiskon barang yang menyebabkan toko-toko Tionghoa di Pasar Senen, Pasar Baru, dan Kramat (ketiganya berada di Jakarta) menurunkan harga dagangannya.[23]
- Hasyim Ning merupakan pengusaha Minang sejak era Orde Lama. Bisnisnya bergerak di bidang otomotif, yaitu sebagai agen tunggal pemegang merek mobil-mobil asal Eropa dan Amerika Serikat. Dia juga merupakan pendiri Lippobank. Hasyim pernah dijuluki pers sebagai "Raja Mobil dan Henry Ford Indonesia". Dia sempat dituding sebagai boneka kapitalis ketika pada tahun 1954 perusahan yang dipimpinnya, Indonesia Service Company, mendapat kredit lunak sebesar 2,6 juta dollar AS dari Development Loan Fund.[24] Selain itu bisnis Hasyim juga merambah perhotelan dan biro perjalanan.[25]
- Abdul Latief merupakan sosok sukses pengusaha Minangkabau di Jakarta. Bisnis Abdul Latief meliputi properti dan media dibawah bendera ALatief Corporation. Pasaraya dan TV One merupakan perusahaan terbesar milik Latief. Selain sukses sebagai pengusaha, Latief juga menjabat sebagai menteri Tenaga Kerja di pemerintahan Orde Baru.
- Basrizal Koto merupakan pengusaha asal Pariaman yang menggeluti bisnis media, hotel, pertambangan, dan peternakan. Basrizal yang dikenal dengan Basko memiliki hotel yang berbasis di Pekan Baru dan Padang. Selain itu dia memiliki peternakan sapi terbesar di Asia Tenggara.[26]
- Datuk Hakim Thantawi, merupakan pengusaha yang bergerak di bidang pertambangan dan perdagangan di bawah bendera Grup Thaha.
- Fahmi Idris merupakan salah satu pengusaha Minang yang juga seorang politisi. Fahmi mendirikan grup bisnis Kodel yang bergerak dibidang perdagangan, industri, dan investasi. Fahmi yang telah berbisnis sejak tahun 1967, sempat berhenti kuliah dari FEUI untuk mulai berwirausaha.[27]
- Muhammad Saleh adalah seorang nakhoda Minangkabau, yang memulai bisnisnya dengan membawa barang serta aneka komoditi dari satu kota ke kota lainnya di pantai barat Sumatra. Kemudian Saleh memperluas bisnisnya dengan menjadi kontraktor garam, serta komoditi untuk pasaran pedalaman Minangkabau.[28]
- Rahimi Sutan, pengusaha Minangkabau yang sukses menggeluti bisnis travel, biro perjalanan, dan rumah makan. Saat ini Natrabu Tour, perusahaan travel miliknya, bertebaran di seluruh daerah tujuan wisata di Indonesia, Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat.[29]
- Tunku Tan Sri Abdullah, merupakan pengusaha Minang-Malaysia yang cukup sukses. Dibawah bendera Melewar Corporation, bisnisnya meliputi produksi baja dan manufaktur.
Lihat pula
Referensi
- ^ http://www.minangforum.com/showthread.php?t=2288
- ^ Dobbin, Christine. Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Paderi.
- ^ Marsden, William (1966). History of Sumatra. London: Oxford University Press. hlm. 79.
- ^ Reid, Anthony. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680.
- ^ Dobbin, Christine. Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Paderi.
- ^ GWJ Drewes, De Biografie van een Minangkabausen Peperhandelaar in de Lampongs, 1961
- ^ Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia, p. 106
- ^ Dobbin, Christine. Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Paderi.
- ^ Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya : Jaringan Asia, p. 107
- ^ http://ranahminang.web.id/modules/news/article.php?storyid=93
- ^ Mila Rachmawati, Sukses Bisnis Rumah Makan Padang, 2009
- ^ http://www.majalahfranchise.com/?link=berita&id=222 Rumah Makan Sederhana Bintaro, Berbeda dengan Rumah Makan Padang Lainnya Info Franchise Indonesia
- ^ http://www.sariratu.com/about/historical.html Sari Ratu Official Website
- ^ http://www.restorangaruda.com/branch/ Restoran Garuda Official Website
- ^ http://www.antara-sumbar.com/eng/index.php?mod=pariwisata&j=2&hal=3 LKBN Antara Sumbar
- ^ Naim, Mochtar. Merantau.
- ^ http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0307/08/dikbud/415150.htm
- ^ http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0305/25/latar/331202.htm
- ^ Naim, Mochtar. Merantau.
- ^ http://www.cimbuak.net/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=1076
- ^ Sebuah Hacienda Di Salemba, Majalah Tempo, 27 Oktober 1973
- ^ http:///www.saudagarminang.com
- ^ majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2002/08/12/LK/mbm.20020812.LK79822.id.html - 30k -
- ^ Navis, Ali Akbar (1986). Pasang Surut Pengusaha Pejuang-Hasyim Ning.
- ^ http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1973/12/15/PT/mbm.19731215.PT63546.id.html
- ^ http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-minggu/profil/1id70615.html
- ^ http://kepustakaan-presiden.pnri.go.id/ministers/popup_biodata_pejabat.asp?id=782
- ^ Tsuyoshi Kato, Indonesia Dalam Kajian Sarjana Jepang, Bab III : Rantau Pariaman, Dunia Saudagar Pesisir Minangkabau Abad XIX
- ^ http://kompas.com