Wayang kulit Gagrag Banyumasan

Revisi sejak 22 Februari 2007 04.41 oleh Sutan Tan (bicara | kontrib)

Sejarah Pedalangan Gagrag Banyumasan

Wayang kulit Gagrag Banyumasan ,merupakan salah satu ragam/gaya pedhalangan di tanah Jawa, yang lebih dikenal dengan istilah pakeliran , dan berperan sebagai bentuk seni klangenan serta dijadikan wahana untuk mempertahankan nilai etika, devosional dan hiburan, yang kualitasnya selalu terjaga dan ditangani sungguh-sungguh oleh para pakar yang memahami benar. Pakeliran ini mencakup unsur-unsur yaitu :lakon wayang ( penyajian alur cerita dan maknanya) , sabet ( seluruh gerak wayang), catur ( narasi dan cakapan) , karawitan ( gendhing, sulukan dan properti panggung ) .

Pakeliran Gagrag Banyumasan, mempunyai nuansa kerakyatan yang kental sebagaimana karakter masyarakatnya , jujur dan terus terang , dan hidup serta berkembang di daerah eks Karesidenan Banyumas , merupakan ekspresi dan sifatnya lebih bebas, sederhana, serta lugas dan mampu bertahan sampai saat ini dalam menghadapi perubahan jaman, karena memperoleh simpati dan dicintai masyarakatnya.

Hal ini berbeda dengan pakeliran gaya kerakyatan daerah lain, yang cenderung punah – terutama didaerah yang dekat dengan pusat kekuasaan Keraton, misalkan saja Wonogiri, Sragen dan Karanganyar , dimana pengaruh pedalangan Keraton seperti Kasultanan Yogyakarta dengan pendirian seni pedalangan Hambiwarakake Rancangan Andhalang ( Habirandha – 1925 ) , Kasunanan Surakarta dengan Pasinaoun Dhalang Surakarta ( Padhasuka – 1923) dan awal tahun 1920 – Mangkunegaran mendirikan Pasinaon Dhalang Mangkunegaran (PMDN), cenderung menekan pakeliran gaya kerakyatan sekitarnya , dan mejadikan pelestariannya merupakan tantangan tersendiri .

Pedalangan Gagrag Banyumasan, memperoleh pengaruh serta memiliki tatanan/ pakem dari seni pedalangan Surakarta dan Yogyakarta, akan tetapi mempunyai ciri khas tersendiri dengan penokohan Bawor dengan lagu Kembang Lepang serta Gendhing Banyumasan. Seni pedhalangan Gagrag Banyumasan ini kemudian dibakukan dan dilestarikan oleh para pakar pedhalangan Banyumas dalam paguyuban ganasidi / pedalangan eks karesidenan Banyumas, yang diselenggarakan di Kawedanan Bukateja tanggal 21 April 1979.

Perkembangan Pedalangan Gagrak Banyumasan

Seperti juga seni pedalangan Indonesia yang lain, berkembang semenjak pengaruh Hindu , dengan berdirinya Mataram Hindu dengan serat Ramayana, era 898 M dalam bahasa Sansekerta dengan pengaruh India yang kuat, kemudian berkembang sejalan dengan penggunaan bahasa Jawa kuno atau bahasa Kawi. Seni pedhalangan memasuki jaman keemasan pada era Kediri (1042-1222) dalam pemerintahan Raja Jayabaya (1135-1157), berkembangnya penulisan dan karya sastra seperti serat Bharatayudha , serat Hariwangsa , serat Gathutkacasraya oleh Mpu Panuluh dan Wayang Purwa yang merupakan cikal bakal dan perkembangan seni pedhalangan di Nusantara. Pengaruh kuat lainnya pada pedhalangan Banyumasan, yaitu pada jaman kesultanan Demak (1478 - 1546), kemudian Kesultanan Pajang (1546 – 1587), sampai dengan pengaruh Mataram pada jaman Plered (1645-1677) era Amangkurat Tegalarum yang secara khusus mempunyai perhatian besar untuk karesidenan Banyumas , dan mengutus dhalang Ki Lebdajiwa ke Ajibarang ,untuk lebih mengembangkan seni pedhalangan Gagrag Banyumasan.

Pengaruh gagrag Mataram ( Surakarta dan Yogjakarta ) lebih kuat, terutama melalui kawasan pesisir kidul, dan dikenal dengan seni pedhalangan Banyumas pesisiran atau Gagrag Kidul Gunung , pengaruhnya dapat diketahui sampai dengan kisaran tahun 1920, dan terus berkembang melalui dhalang trah Gombong ,yaitu Ki Cerma sampai dengan Ki Dhalang Menganti.

Sedangkan kawasan depan Banyumas ( dari Purbalingga kemudian menyusuri Sungai Serayu , menuju kearah Barat ), mempunyai pakeliran tersendiri dan dikenal dengan Gagrag Lor Gunung, seperti berkembang melalui dhalang trah Kesugihan ( aslinya dari pengembangan pesisiran) diantaranya Ki Dhalang Tutur , dan terus berkembang samapai dengan era Ki Dalang Parsa , Ki Dalang Sugih . Akan tetapi yang cenderung tidak terpengaruh dhalang pesisiran adalah Ki Dhalang Waryan dari Kalimanah.

Sehingga sampai sekarang tetap dikenal dan lestari seni tradisionil : Pedahlangan Gagrag Banyumasan Kidul Gunung dan Pedahlangan Gagrag Banyumasan Lor Gunung ( Redi Kendeng).

Referensi

Patokan Pedhalangan Gagrag Banyumasan, Sek.Nas.Pewayangan Indonesia - Senawangi, PN Balai Pustaka, Jakarta, 1983

Pratiwimba Adhiluhung-Sejarah dan Perkembangan Wayang, S. Haryanto, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1988