Dyah Wawa

Revisi sejak 8 November 2012 06.05 oleh MerlIwBot (bicara | kontrib) (bot Menambah: jv:Dyah Wawa)

Sri Maharaja Rakai Sumba Dyah Wawa Sri Wijayalokanamottungga adalah raja terakhir Kerajaan Medang periode Jawa Tengah (atau lazim disebut Kerajaan Mataram Kuno), yang memerintah sekitar tahun 928929.

Asal-Usul

Dyah Wawa naik takhta menggantikan Dyah Tulodhong. Nama Rakai Sumba tercatat dalam prasasti Culanggi tanggal 7 Maret 927, menjabat menjabat sebagai Sang Pamgat Momahumah, yaitu semacam pegawai pengadilan. Selain bergelar Rakai Sumba, Dyah Wawa juga bergelar Rakai Pangkaja.

Dalam prasasti Wulakan tanggal 14 Februari 928, Dyah Wawa mengaku sebagai anak Kryan Landheyan sang Lumah ri Alas (putra Kryan Landheyan yang dimakamkan di hutan). Nama ayahnya ini mirip dengan Rakryan Landhayan, yaitu ipar Rakai Kayuwangi yang melakukan penculikan dalam peristiwa Wuatan Tija.

Saudara perempuan Rakryan Landhayan yang menjadi istri Rakai Kayuwangi bernama Rakryan Manak, yang melahirkan Dyah Bhumijaya. Ibu dan anak itu suatu hari diculik Rakryan Landhayan, namun keduanya berhasil meloloskan diri di desa Tangar. Anehnya, Rakryan Manak memilih bunuh diri di desa Taas, sedangkan Dyah Bhumijaya ditemukan para pemuka desa Wuatan Tija dan diantarkan pulang ke hadapan Rakai Kayuwangi.

Makam Rakryan Landhayan sang pelaku penculikan diberitakan terdapat di tengah hutan. Mungkin ia akhirnya tertangkap oleh tentara Medang dan dibunuh di dalam hutan. Peristiwa tersebut terjadi tahun 880. Mungkin saat itu Dyah Wawa masih kecil. Jadi, Dyah Wawa merupakan sepupu dari Dyah Bhumijaya, putra Rakai Kayuwangi (raja Medang 856–890-an).

Dengan demikian, Dyah Wawa tidak memiliki hak atas takhta Dyah Tulodhong. Sejarawan Boechari berpendapat bahwa Dyah Wawa melakukan kudeta merebut takhta Kerajaan Medang.

Riwayat Pemerintahan

Kemungkinan besar kudeta yang dilakukan oleh Dyah Wawa mendapat bantuan dari Mpu Sindok, yang naik pangkat menjadi Rakryan Mapatih Hino. Sebelumnya, yaitu pada masa pemerintahan Dyah Tulodhong, Mpu Sindok menjabat sebagai Rakryan Halu, sedangkan Rakai Hino dijabat oleh Mpu Ketuwijaya.

Peninggalan sejarah Dyah Wawa berupa prasasti Sangguran tanggal 2 Agustus 928 tentang penetapan desa Sangguran sebagai sima swatantra (daerah bebas pajak) agar penduduknya ikut serta merawat bangunan suci di daerah Kajurugusalyan.

Kehancuran Istana Medang Mataram

Raja sesudah Dyah Wawa adalah Mpu Sindok yang membangun istana Kerajaan Medang baru di daerah Tamwlang, dan kemudian dipindahkan ke Watugaluh. Kedua tempat tersebut saat ini masuk wilayah Jawa Timur. Mpu Sindok mengaku bahwa Kerajaan Medang di Watugaluh adalah kelanjutan dari Kerajaan Medang di Bhumi Mataram.

Perpindahan istana Medang dari Mataram menuju Tamwlang menurut teori van Bammelen terjadi karena letusan Gunung Merapi yang sangat dahsyat. Konon sebagian puncak Merapi hancur. Kemudian lapisan tanah begeser ke arah barat daya sehingga terjadi lipatan, yang antara lain, membentuk Gunung Gendol dan lempengan Pegunungan Menoreh.

Letusan Gunung Merapi tersebut disertai gempa bumi dan hujan material vulkanik berupa abu dan batu. Konon, istana Kerajaan Medang di Mataram (dekat Yogyakarta sekarang) sampai mengalami kehancuran akibat bencana alam tersebut.

Sejarawan Boechari berpendapat bahwa bencana alam Gunung Merapi tersebut terjadi sebagai hukuman Tuhan atas perebutan takhta yang sering terjadi di antara keluarga Kerajaan Medang sejak zaman pemerintahan Rakai Pikatan.

Prasasti tertua atas nama Mpu Sindok yang sudah ditemukan ditulis tahun 929, sedangkan prasasti Dyah Wawa ditulis tahun 928. Perpindahan istana Kerajaan Medang dari Jawa Tengah menuju Jawa Timur dipastikan terjadi pada salah satu tahun tersebut.

Kepustakaan

  • Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
  • Slamet Muljana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan (terbitan ulang 1965). Yogyakarta: LKIS


Didahului oleh:
Dyah Tulodhong
Raja Kerajaan Medang
928?–929?
Diteruskan oleh:
Mpu Sindok