Ini adalah artikel yang memenuhi kriteria penghapusan cepat karena tidak diperbaiki atau duplikasi. Untuk kriteria penghapusan, lihat KPC.
Jika tidak dirapikan, artikel ini akan dihapus. Lihat KPC A10.%5B%5BWP%3ACSD%23A10%7CA10%5D%5D%3A+Artikel+yang+sudah+jatuh+tempo+perbaikan+atau+terjadi+duplikasi+-.A10
Jika artikel ini tidak memenuhi syarat KPC, atau Anda ingin memperbaikinya, silakan hapus pemberitahuan ini, tetapi tidak dibenarkan menghapus pemberitahuan ini dari halaman yang Anda buat sendiri. Jika Anda membuat halaman ini tetapi Anda tidak setuju, Anda boleh mengeklik tombol di bawah ini dan menjelaskan mengapa Anda tidak setuju halaman itu dihapus. Silakan kunjungi halaman pembicaraan untuk memeriksa jika sudah menerima tanggapan pesan Anda.
Ingat bahwa artikel ini dapat dihapus kapan saja jika sudah tidak diragukan lagi memenuhi kriteria penghapusan cepat, atau penjelasan dikirim ke halaman pembicaraan Anda tidak cukup meyakinkan kami.
- Kepada nominator: Tempatkan templat:
{{subst:nn-warn-reason|Ina-TEWS|header=1|tidak diperbaiki atau duplikasi}} ~~~~
- pada halaman pembicaraan pembuat/pengunggah.
Kepada pengurus: artikel ini memiliki isi pada halaman pembicaraannya yang harus diperiksa sebelum dihapus.
Pengurus: periksa pranala balik, riwayat (beda), dan catatan sebelum dihapus. Periksa di Google.
Halaman ini terakhir disunting oleh Eddy bf (kontribusi | log) pada 13:37, 23 Februari 2013 (UTC) (11 tahun lalu)
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara dengan tingkat aktivitas gempa bumi yang tinggi, sebagai akibat pertemuan tiga lempeng tektonik, yakni Lempeng Hindia (Samudera India – Australia di sebelah selatan), Lempeng Pasifik di sebelah Timur dan Lempeng Eurasia di Utara. Sejak tahun 1991 hingga 2008, tercatat 25 kali gempa dan 9 kali tsunami merusak. Pada 12 Desember 1991, terjadi tsunami di Flores, diikuti tsunami Jawa Timur 1994, tsunami Biak 1996, tsunami Sulawesi tahun 1998, tsunami Maluku Utara 2000, dan tsunami Aceh Desember 2004, Nias 2005, Jawa Barat 2006 serta Bengkulu 2007. Melihat data tersebut dapat disimpulkan rata-rata hampir 2 tahun sekali tsunami menghantam pantai kepulauan Indonesia.
Puncak tsunami di Indonesia terjadi di Aceh pada akhir tahun 2004 yang menelan banyak korban lebih dari 160.000 korban jiwa dan korban harta benda lainnya dengan dampak sosial yang besar. Peristiwa ini mendorong Pemerintah Indonesia untuk membangun suatu sistem peringatan dini (early warning system) gempa dan tsunami yang disebut Indonesia Tsunami Early Warning System (Ina-TEWS)
Defenisi Ina-TEWS
Ina-TEWS adalah suatu sistem peringatan dini tsunami yang komprehensif, yang di dalamnya telah diterapkan teknologi baru yang dikenal dengan Decision Support System (DSS). DSS adalah sebuah sistem yang mengumpulkan semua informasi dari hasil sistem monitoring gempa, simulasi tsunami, monitoring tsunami dan deformasi kerak bumi setelah gempa terjadi. Kumpulan informasi ini merupakan faktor-faktor pendukung untuk menyiarkan berita peringatan dini tsunami dan evaluasi peringatan dini tsunami. Dari sistem monitoring tersebut, DSS akan mengeluarkan beberapa jenis berita atau peringatan dini yang harus diambil oleh operator pada waktu yang ditentukan melalui GUI (Graphic User Interface).
Ina-TEWS mampu memberikan peringatan dini tsunami dalam waktu lima menit setelah kejadian gempa bumi yang berpotensi membangkitkan tsunami. Ina-TEWS dibangun Pemerintah Indonesia dengan melibatkan 18 institusi Pemerintah, dan didukung finansial maupun teknologi dari 5 negara donor, yaitu Jerman, Cina, Jepang, Amerika Serikat dan Perancis dan telah diresmikan pada November 2008 oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono.
Ina-TEWS merupakan proyek nasional yang melibatkan berbagai Institusi dibawah Kementrian Negara Riset dan Teknologi (RISTEK) diantaranya :
1. Institusi teknis yang melakukan operasional pengamatan unsur-unsur gempa bumi, gerakan kerak bumi dan perubahan permukaan air laut yaitu : Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Kemkokesra), Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL), Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (BAPPENAS, Kementerian Komunikasi dan Informasi (KEMKOMINFO), Tentara Nasional Indonesia (TNI), Polisi Republik Indonesia (POLRI), Kementerian Dalam Negeri (KEMDAGRI), Kementerian Luar Negeri (KEMLU), Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), dan serta dukungan tenaga-tenaga ahli dari Institut Teknologi Bandung (ITB). BMKG, BAKOSURTANAL dan BPPT
2. Institusi yang berperan dalam melaksanakan peningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan masyarakat yaitu : Kementerian Negara Ristek, LIPI, DEPDAGRI, Kemenkominfo dan BNPB
Tujuan Ina-TEWS
Ina-TEWS berfungsi untuk :
1. Mendeteksi gejala-gejala alam yang berpotensi menimbulkan tsunami
2. Mencari lokasi pusat gempa tsunami
3. Memprediksi kemungkinan kerusakan yang ditimbulkan
4. Menentukan daerah yang akan terkena dampak tsunami
5. Meminimalkan jumlah korban jiwa
Komponen Utama Ina-TEWS
Pertama adalah komponen struktural (sensor-sensor pendeteksi tsunami). Contohnya adalah seismometer, stasiun pasang surut dan tsunami buoy. Seismometer dioprasikan oleh BMKG, sedangkan stasiun pasang surut digunakan untuk mengukur keadaan muka air laut yang dipasang di pantai atau di pelabuhan. Tsunami buoy adalah sebuah alat yang dipasang di laut dalam. Di Indonesia sekarang menggunakan 4 jenis buoy yang sedang beroperasi di perairan Indonesia, yaitu Buoy Tsunami Indonesia, Deep Ocean Assessment and Reporting Tsunamis (DART) Amerika, German-Indonesian Tsunami Warning System (GITWS) dan Buoy Wavestan. Pada buoy ini terdapat OBU (Ocean Bottom Unit) dimana nantinya alat inilah yang mendeteksi adanya gelombang yang berpotensi sebagai tsunami yang lewat di atasnya.
Komponen yang kedua adalah komponen cultural. Contohnya adalah beberapa instansi seperti LIPI, Kementrian Dalam Negeri dan Kementrian Komunikasi dan Informatika yang mempunyai tugas sebagai penyalur informasi kepada masyarakat, persiapan sebelum bencana bahkan evaluasi dan mengkaji pasca bencana.
Cara kerja TEWS
Cara kerja dari TWS ini terbilang cukup rumit, karena melibatkan banyak pihak seperti badan regional, nasional, daerah, hingga internasional. Pada terjadi gempa, seismograf akan mencatat dan memberikan info tentang lokasi gempa, besaran gempa, hingga waktunya. Lalu data tersebut akan diintegrasikan pada DSS (Device Support System) sehingga dapat diketahui bahwa gempa tersebut akankah berpotensi menjadi tsunami atau tidak. Data itu pun harus disamakan dulu dengan data yang diperoleh dari buoy atau OBU. Bila data tersebut memang berpotensi menimbulkan tsunami, maka BMKG akan mengeluarkan info peringatan tsunami kepada masyarakat. Data dikirim secara aktif oleh OBU melalui underwater acoustic modem yang nantinya akan sampai ke tsunami buoy yang terpasang di permukaan laut. Kemudian, data yang diterima buoy akan ditransmisikan via satelit ke pusat pemantau tsunami Read Down Station (RDS) di BPPT. Alat inilah yang berfungsi merekam kedatangan gelombang tsunami. lalu diteruskan ke Warning Center di BMKG.
Gambar Flow Chart dari Tsunami Warning System NOAA
Dari gambar diatas merupakan mekanisme kerja dari system TWS NOAA, bisa kita lihat bahwa setiap ada gempa yang terjadi di bawah laut maka akan setiap instrument-instrument yang berkaitan akan mengirim kan data hasilnya kepada Tsunami Warnings Centre, dari data tersebut apakah akan menghasilkan tsunami atau tidak tetap di beritahukan kepada badan-badan pemerintah yang berwenang yang selanjutnya akan di analisa dan di beritahukan kepada masyarakat umum melalui sirine peringatan maupun lewat Televisi dan Radio.
Sistem Komunikasi Ina-TEWS
Sistem Ina-TEWS menggabungkan kedua jalur komunikasi yaitu: satelit dan jaringan komunikasi terestrial untuk mendukung komunikasi data secara real-time antara pusat kontrol dan sirene peringatan. Dalam keadaan darurat, pusat kendali mengirimkan perintah aktivasi baik melalui jaringan secara paralel untuk memastikan aktivasi cepat dan dapat diandalkan peringatan sirene. Selain jaringan terestrial, sistem Ina-TEWS juga didukung oleh jaringan Asia Cellular yang sudah terbukti satelit ini mencakup wilayah Asia. Sistem Ini menyediakan komunikasi satelit handal dan aman melalui satelit-1 Garuda yang menggunakan terminal, walaupun kecil tapi tetap kuat dipasang di setiap situs sirene. Alat ini (beamwidth antena), berukuran kecil: 75', memastikan komunikasi satelit tidak terganggu meskipun ada misalignments antena yang signifikan yang dapat disebabkan oleh gempa bumi atau bencana lainnya.
Sistem komunikasi dalam tsunami early warning system mencakup data komunikasi (upstream) dan komunikasi informasi (downstream). Bagian data komunikasi (upstream) adalah bagaimana sistem komunikasi ini dapat mendukung agar informasi / data dapat secara cepat dan akuran mencapai pusat pusat pengolahan data, misalnya dari peralatan monitoring ke pusat pemrosesan data. Selain itu juga bagaimana antara pusat pusat yang ada dapat saling berkomunikasi dan berbagi informasi secara cepat tampa hambatan. Bagian komunikasi informasi (dowstream), bagaimana informasi mengenai gempa dan kemungkinan terjadinya tsunami dapat dengan cepat dikomunikasikan ke instansi terkait yang berkepentingan dalam menangani bencana di daerah daerah, serta mengkomunikasikan langsung ke masyarakat yang terancam bahaya tersebut.
Harapan Pemerintah Indonesia
InaTEWS yang dibangun dengan biaya mahal tersebut tidak akan banyak bermanfaat kalau wawasan, kesadaran, perhatian, dan tingkat kesiapan masyarakat dan pemerintah masih rendah. Upaya-upaya untuk meningkatkan kepedulian dan kesiapan masyarakat harus sudah mulai dilakukan diantaranya, diseminiasi informasi melalui media cetak, media elektronik, brosur, poster, dan pamflet, serta pembuatan peta-peta bencana, penyediaan infrastruktur untuk pelatihan, seminar, workshop, ceramah, dan latihan evakuasi (tsunami evacuation drill). Selain itu, diantaranya memberdayakan masyarakat untuk membangun kapasitasnya menghadapi bencana dengan menggali dan mengeksplorasi kearifan lokal, misalnya pada konstruksi bangunan tradisional tahan gempa, penyampaian peringatan atau bahaya akan datangnya bencana dengan cara-cara tradisional.
Referensi
1. Cahanar, P. (2005). Bencana Gempa dan Tsunami Nanggroe Aceh Darussalam & Sumatera Utara. Penerbit Buku Kompas. Jakarta
2. Daryono, 2005, Prediksi dan Gejala Awal Tsunami, Balai Meteorologi dan Geofisika Wilayah, Bali.
3. Karnawati, Dwi Korita, 2001, Sistem Peringatan Dini Tanah Longsor dengan Pemberdayaan Masyarakat, Lokakarya Nasional : Pengembangan Sistem Peringatan Dini, PSBA UGM – PMI Pusat, Yogyakarta.
4. http : // www.ristek.go.id
5. http : // www.bakosurtanal.go.id
6. http : // www.kompas.com
7. http : // www.geografiana.com
8. http : // www.bppt.go.id
9. http : // www.bmg.go.id
10. http://www.antara.co.id/arc/2008/11/11/presiden-yudhoyono-resmikan-peluncuran-inatews
11. http : // www.tsunami.noaa.gov